BAB 4

1074 Kata
Ruang kantor bagian IT siang itu terasa cukup lengang. Denting keyboard dan dengung halus CPU menjadi irama rutin yang menemani pekerjaan. Lampu neon putih terang membuat setiap sudut ruangan terasa steril, sementara pendingin ruangan bekerja dengan stabil. Di salah satu sudut ruangan, seorang pria dengan tatapan tajam tengah menunduk menatap layar laptopnya. Dialah Elvano Demian, pewaris tahta mafia yang sedang menjalankan penyamaran sebagai karyawan IT. Jas rapi dan jam tangan mewah yang biasa melekat di tubuhnya kini terganti dengan kemeja abu-abu sederhana dan celana kain hitam. Wajahnya tetap menunjukkan wibawa, tetapi ia menekan aura dominannya agar tampak seperti karyawan biasa. Tangan Elvano cekatan, jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard. Ia sedang melacak beberapa jalur server perusahaan itu, berusaha menemukan celah yang bisa menjadi informasi berguna bagi ayahnya, Giovano Moretti, sang Don besar. Matanya fokus, tak sekalipun menoleh ke kanan atau kiri. Namun tiba-tiba, bunyi ringan terdengar. Kletak. Sebuah cangkir kopi diletakkan di atas meja kerjanya. Elvano sempat mengerutkan kening, lalu mendongak. Di hadapannya berdiri seorang perempuan muda dengan senyum selebar matahari. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, bibir tipisnya merona, dan matanya berkilau penuh semangat. “Untukmu,” ucapnya ceria. Elvano mengerjap sekali, ekspresi wajahnya nyaris datar. Ia tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. “Terima kasih,” jawabnya singkat, nyaris berupa gumaman. Setelah itu, ia kembali menunduk, matanya menempel lagi pada layar laptop. Alih-alih pergi, perempuan itu menarik kursi kosong di sebelah Elvano dan duduk begitu saja. Ia menyilangkan kaki, bersandar santai, lalu meletakkan dagu di telapak tangan. “Kamu serius banget, sih. Dari tadi kerja terus, kayak dunia ini bakal kiamat kalau kamu berhenti sebentar.” Elvano menghela napas tipis. “Aku sedang bekerja. Dan seharusnya kamu juga.” Perempuan itu adalah Evana, salah satu staf administrasi yang cukup populer di kantor. Ia terkenal ramah, cerewet, dan selalu punya cara untuk menarik perhatian. Hampir semua orang tahu sifatnya yang gampang akrab. Tapi ada satu hal yang membuatnya berbeda kali ini: ketertarikannya yang begitu jelas pada Elvano. “Kerja terus bikin stres, lho. Sesekali harus ditemani kopi biar nggak tegang.” Evana menunjuk cangkir yang tadi ia bawa. “Aku beliin spesial, favoritku. Siapa tahu kamu suka juga.” Elvano melirik singkat, lalu kembali mengetik. Dalam hati, ia menimbang—menerima perhatian itu bisa berbahaya. Ia tidak boleh terlalu dekat dengan siapa pun. Penyamarannya harus tetap terjaga. Tapi ada sesuatu dalam nada suara Evana yang terdengar… tulus. Sementara itu, dari meja yang tidak terlalu jauh, seorang perempuan lain hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat adegan itu. Sinta, sahabat dekat Evana sekaligus rekan kerjanya, menahan tawa sambil menepuk jidat. “Astaga, cewek ini, ya. Mana ada orang seberani kamu nyamperin cowok kayak Elvano?” gumamnya pelan. Evana menoleh cepat, seolah mendengar bisikan sahabatnya. “Eh, Sin, diam aja deh. Aku lagi berusaha di sini,” katanya sambil melotot manja. “Berusaha bikin dia risih, maksudmu,” sahut Sinta enteng. Evana terkekeh kecil, lalu kembali menatap Elvano. “Kamu nggak keberatan aku duduk di sini, kan?” tanyanya pura-pura polos. Elvano melepas tatapannya dari laptop untuk sejenak, menoleh penuh kali ini. Tatapannya tajam, menusuk. Banyak orang akan segera ciut bila dipandang seperti itu. Tapi Evana justru tersenyum makin lebar. “Aku hanya butuh ruang untuk bekerja,” jawab Elvano datar. “Aku janji nggak ganggu. Cuma nemenin aja. Kan kadang kerja sendirian itu sepi. Setidaknya ada aku di sini.” Keheningan menyergap sebentar. Elvano kembali menekuri laptop, pura-pura tidak peduli. Namun jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia tidak mengerti mengapa perempuan ini bisa bertahan menghadapi sikap dinginnya. Sebagian dirinya ingin mengusir, tapi sebagian kecil yang lain… menikmati kehadirannya. Waktu berjalan. Evana benar-benar duduk diam beberapa menit, hanya mengamati layar Elvano. Tapi lama-lama ia tak tahan. “Aku nggak ngerti kamu ngetik apa, tapi kayaknya keren banget. Apa kamu lagi nge-hack gitu, ya?” tanyanya dengan nada menggoda. Kalimat itu hampir membuat Elvano tersedak napas. Untung saja ia cepat menguasai diri. “Aku hanya perbaiki server,” katanya singkat. Evana mengangguk-angguk pura-pura paham. “Oh… aku kira kayak di film-film gitu, yang ngetik cepet terus tiba-tiba pintu rahasia kebuka.” Ia tertawa kecil. Sinta dari kejauhan hampir menjerit frustasi. “Ev, please, jangan bikin malu.” Tapi Evana cuek. Ia merapatkan kursi lebih dekat ke meja Elvano. “Eh, by the way, kamu udah makan siang belum? Kalau belum, kita bisa makan bareng. Aku tahu tempat enak deket sini.” “Aku tidak terbiasa makan bersama orang lain.” Jawaban Elvano dingin, seperti pintu baja yang sulit ditembus. Evana tak menyerah. “Nggak terbiasa bukan berarti nggak boleh dicoba. Lagi pula, aku nggak gigit, kok. Aku temen yang asik, percaya deh.” Elvano mengetik lagi, seolah tidak mendengar. Tapi di balik sorot matanya, ada gelombang kecil yang mulai mengusik. Ia jarang sekali menghadapi orang seperti ini. Biasanya orang akan menjaga jarak, segan, bahkan takut padanya. Tapi Evana… tidak. Beberapa menit kemudian, Sinta akhirnya tak tahan. Ia bangkit, berjalan mendekat, lalu berdiri di belakang Evana. “Ev, kamu nggak ada kerjaan lain? Jangan ganggu orang serius kerja, deh.” Evana menoleh, manyun. “Aku nggak ganggu. Aku kan cuma duduk.” “Duduk sambil ngoceh panjang lebar,” balas Sinta. Elvano menutup laptopnya perlahan, menghela napas. “Aku tidak keberatan,” katanya tiba-tiba. Dua pasang mata perempuan langsung terbelalak. Sinta kaget setengah mati, sementara Evana bersinar penuh kemenangan. “Tuh, denger kan, Sin? Dia nggak keberatan!” “Serius, Mas?” tanya Sinta setengah tak percaya. Elvano menatapnya sebentar, lalu kembali pada pekerjaannya. “Selama dia bisa diam.” Evana langsung menepuk tangan girang. “Deal! Aku bisa diam. Aku bakal duduk manis di sini.” Tapi lima detik kemudian, ia sudah bicara lagi. “Eh, by the way, kamu tinggal di mana? Kos di sekitar sini, atau udah punya apartemen sendiri?” Sinta hanya bisa mendesah. “Aku nyerah.” Waktu itu berlalu dengan penuh interaksi kecil yang membuat suasana kerja tidak lagi terasa monoton. Evana dengan segala tingkahnya, Sinta dengan komentar pedasnya, dan Elvano yang tetap dingin namun perlahan tidak lagi sepenuhnya acuh. Evana berdiri, merapikan rambutnya. “Oke, aku balik ke meja. Tapi ingat, kalau besok kamu butuh kopi lagi, bilang aja. Aku bakal bawain.” Elvano hanya mengangguk kecil. Namun setelah perempuan itu pergi, matanya sempat mengikuti langkahnya sebentar. Ada senyum tipis yang nyaris tidak terlihat di sudut bibirnya. Untuk pertama kalinya sejak menjalani penyamaran ini, Elvano merasa pekerjaannya tidak hanya tentang kode-kode dingin di layar, melainkan juga harus menghadapi gilanya seorang wanita yang begitu berani menggodanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN