BAB 7

1041 Kata
Suara deru mesin pendingin di rooftop gedung hanya terdengar samar ketika Elvano mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya yang panjang dan tegas menekan nomor cepat. Butuh beberapa detik sebelum sambungan tersambung. “Dario,” ucapnya datar, penuh wibawa. “Bawakan satu set perhiasan untuk lamaran ke alamat—” Ucapannya terhenti. Tatapan matanya bergeser pada Evana yang masih terpaku di tempat, wajahnya kaget tak percaya dengan apa yang ia dengar. Seolah lewat sorot mata saja, Elvano mengajukan pertanyaan tanpa suara: Di mana rumahmu? Evana menelan ludah. Jantungnya seakan berpacu di luar kendali. Rasanya aneh sekali, memberi tahu alamat rumahnya kepada seorang pria yang baru saja setuju dengan lamaran spontan di atas rooftop kantor. Tapi entah mengapa, tatapan Elvano terlalu sulit ditolak. “Jalan Melati Indah nomor 17,” lirihnya, nyaris berbisik. Elvano mengangguk tipis, lalu kembali bicara di telepon. “Dario, catat alamatnya. Jalan Melati Indah nomor 17. Aku ingin kau ke sana sekarang dengan membawa set perhiasan terbaik. Tidak ada keterlambatan, mengerti?” Dari seberang terdengar suara berat penuh hormat. “Baik, Tuan Muda.” Panggilan diakhiri. Elvano menyelipkan ponselnya ke saku jas lalu menoleh pada Evana, suaranya singkat tapi tajam. “Ayo!” Evana berkedip bingung. “Ke mana?” “Rumahmu.” Alis Evana terangkat tinggi. “Untuk apa?” Elvano berjalan tanpa menoleh, suaranya terdengar jelas di sela langkahnya yang mantap. “Ng... lamar kamu.” Mulut Evana ternganga. Kata-kata itu menghantam kepalanya seperti palu. Ia berdiri kaku beberapa detik sebelum akhirnya buru-buru mengejar langkah cepat Elvano. “Elvano! Kamu serius?” serunya setengah panik. Pria itu tidak menjawab, hanya menekan tombol lift dan masuk begitu pintu terbuka. Tanpa pilihan lain, Evana pun ikut masuk. Jantungnya terus berdegup, sementara pikirannya penuh dengan pertanyaan, Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa aku tiba-tiba menyerahkan hidupku pada pria ini? Mereka berjalan cepat menuju area parkir. Evana masih setengah berlari mengikuti langkah Elvano yang panjang. Hingga akhirnya pria itu berhenti di depan sebuah mobil berwarna hitam mengilap. Evana spontan membelalak. Mobil itu bukan mobil biasa. Ia mengenalnya. Ia sering melihat model itu hanya di pameran otomotif dan artikel majalah gaya hidup. Mobil mewah dengan harga yang jelas bisa membeli satu rumah besar. “Ini mobilmu?” tanya Evana tak percaya. Elvano menoleh singkat. “Kenapa? Tidak pantas?” “Bukan... aku... aku cuma... ini... ini gila.” Bagi Elvano, mobil itu justru mobil termurah dari deretan koleksinya di garasi rumah. Namun ia tahu, bagi orang kebanyakan, nilai mobil itu sudah bisa membuat seseorang dikatai sultan. “Masuk.” Suara Elvano datar, nyaris terdengar seperti titah. Evana menatapnya sejenak. Ada rasa ragu, ada rasa takut, namun juga ada sesuatu yang menuntunnya untuk mengikuti. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang. Aroma kulit asli langsung menyeruak, bercampur dengan wangi maskulin khas Elvano. Ketika pintu ditutup dan mesin mobil dinyalakan, Evana benar-benar merasa terjebak. Siapa sebenarnya pria ini? pikirnya. Ia mengenal Elvano hanya sebagai staf IT baru yang dingin, pendiam, dan cuek. Tapi mobil ini... caranya memerintah orang melalui telepon... aura wibawa yang melekat di setiap tindak-tanduknya... semua itu terlalu berbeda dari sosok sederhana yang selama ini ia lihat di kantor. Evana menelan ludah. Aku... aku benar-benar sudah masuk ke dalam jebakan yang kubuat sendiri. ••• Perjalanan menuju rumah Evana berlangsung dalam keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menambah nuansa misterius sore itu. Evana beberapa kali melirik Elvano. Wajah pria itu tetap tenang, seakan tidak ada yang luar biasa dari semua yang terjadi. Kedua tangannya mantap memegang setir, tatapannya fokus pada jalan. Sesekali cahaya lampu jalan menerpa wajahnya, mempertegas garis rahang tegas dan sorot mata tajamnya. “Kenapa kamu tiba-tiba begini?” akhirnya Evana memberanikan diri bertanya. Elvano tidak langsung menjawab. Ia menyalakan lampu sein, mengubah jalur, lalu baru menoleh sekilas. “Karena kau memintanya.” “Tapi... aku tidak benar-benar serius, El! Aku cuma—” “Tidak ada ‘cuma’,” potong Elvano dingin. “Kau bilang ‘ayo kita menikah’. Dan aku menerima. Kau pikir hidup ini hanya main-main?” Evana tercekat. Kata-katanya hilang. Ia ingin membantah, tapi bibirnya terkunci rapat. Elvano kembali fokus pada jalan. “Kau tertekan karena ibumu menerima lamaran pria itu, bukan? Kau tidak mau menikah dengannya. Jadi sekarang, aku menawarkan jalan keluar. Menikahlah denganku. Masalah selesai.” Evana menoleh cepat, matanya membelalak. “Kamu bicara seolah-olah pernikahan itu hanya... hanya sekadar kontrak bisnis!” “Bukankah memang begitu adanya?” sahut Elvano santai. “Dunia ini penuh dengan transaksi. Kau butuh keluar dari masalah, aku butuh... sesuatu yang belum bisa kuceritakan padamu. Jadi kita saling menguntungkan.” Ya, Elvano memang sengaja ingin menikahi Evana hanya untuk membuat sang mama bahagia. Setidaknya, ada sesuatu yang dapat ia lakukan demi kebahagiaan wanita yang sangat ia cinta, wanita yang telah melahirkannya ke dunia dan wanita itu adalah ibunya. Evana terdiam. Kata-kata Elvano memang terdengar dingin, tapi entah mengapa, ia bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam di balik kalimat itu. Ada misteri besar yang sengaja disembunyikan pria ini. ••• Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya sederhana di Jalan Melati Indah. Hati Evana berdegup kencang. Ia bahkan belum percaya kalau benar-benar membawa Elvano ke rumahnya. “Elvano...” panggilnya pelan. “Kamu... kamu serius akan masuk dan melamar sekarang?” Pria itu mematikan mesin mobil, lalu menoleh padanya dengan sorot mata yang tak terbaca. “Bukankah itu yang kau inginkan?” Evana menggigit bibir. “Tapi... ibu dan ayahku pasti kaget,” ucapnya lirih sembari menggigit bibirnya. “Biarkan aku yang bicara.” Kalimat itu keluar dengan penuh keyakinan. Tidak ada keraguan sedikit pun. Belum sempat Evana berkata lagi, ponsel Elvano bergetar. Ia mengangkatnya. Suara Dario terdengar di seberang. “Tuan Muda, saya sudah sampai dan ada di belakang mobil Anda. Perhiasan juga sudah siap saya bawa.” “Bagus.” Elvano menutup telepon lalu menatap Evana. “Ayo.” Pintu mobil terbuka. Angin malam Jakarta masuk, membawa aroma tanah basah setelah hujan sebentar tadi. Evana masih ternganga, tapi tekad Elvano yang mantap memaksa Evana ikut keluar dari dalam mobil yang ditumpanginya. Ia benar-benar merasa terjebak. Tapi anehnya, ada secuil rasa aman yang menyusup ke hatinya. Siapa sebenarnya pria ini? Mengapa dia begitu yakin? Dan... bagaimana kalau ini benar-benar awal dari kehidupan baru yang tak pernah ia bayangkan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN