T U J U H

1636 Kata
**** Sudah lebih dari satu Minggu Daffa dan Raya tak bertemu dan saling komunikasi. Daffa pikir Raya mungkin masih kecewa dengannya dan memilih untuk menghindar untuk sementara waktu agar perasaannya bisa lebih tenang. Meskipun tak saling berkomunikasi Daffa tetap memberi kabar bahwa dirinya sudah tak tinggal di apartemennya lagi dan mengirimi alamat tempat tinggalnya yang baru. Kehidupan mewahnya harus terpaksa ia tinggalakan dan belajar hidup dengan serba sederhana. Ia terus berusaha sabar dan ikhlas menerima keadaannya saat ini. Sekuruh aset-asetnya sudah ia jual untuk menutupi kerugian. Hanya ada satu Kafe yang tersisa, namun, Kafe itu sudah sepi pengunjung karena kerusuhan yang dibuat Papanya. Saat itu papanya menyewa orang untuk melamar pegawai di kafe-nya dan diam-diam orang itu mulai mengacaukan kafenya dengan membuat beberapa makanan dan minuman menjadi tidak enak dan terlihat jorok. Daffa heran, bisa-bisanya ia lalai dalam mempekerjakan seseorang, terlebih di kafe utamannya dan memiliki omset paling tinggi dibanding dengan kafe-nya yang lain. Dari pada dirinya hanya bisa berdiam diri di rumah dan meratapi nasib yang ada. Daffa berusaha memutar pikiran untuk kembali merintis usahanya yang sudah porak porandak. Ia harus bisa mengembalikan lagi usahanya dan harus memiliki pemasukan lebih. Sementara waktu mungkin dirinya akan berhenti kuliah dan bekerja di toko roti milik temannya. Sebuah toko roti besar dan cukup terkenal. Ia akan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk modal dan akan membangun usahanya kembali. Ia akan buktikan pada dunia bahwa ia tak akan bisa di hancurkan, bahkan oleh orangtuanya sendiri. Ya ... dirinya harus bisa bangkit kembali meskipun sudah dibabat habis-habisan. ***** Hari ini Daffa sudah mulai bekerja di toko roti milik temannya. Meski dirinya termasuk pelayan baru, namun dirinya sudah di tempatkan di bagian dapur, tentu saja dengan bayaran dan pekerjaan yang berbeda. Meski dirinya bukan berasal dari jurusan patiseri namun keahliannya dalam kuliner tak bisa di ragukan. Daffa sudah cukup menguasai beberapa resep roti lokal maupun modern yang ia pelajari secara otodidak bersama beberapa chef serta teman-teman komunitasnya. Ya ... Daffa memiliki komunitas yang berisi pebisnis-pebisnis kuliner yang sudah cukup melebarkan sayapnya. Dari sana Daffa benar-benar banyak belajar. "Daf, setelah closing kamu naik ya," ucap Gandi— bos sekaligus teman seperjuangannya yang kini sudah berumur 27 tahun. "Siap, Mas." Toko di tutup pukul 8 malam, dan ini adonan terakhir yang ia dan rekannya buat. Setelah adonan selesai rekannya yang lain mengambil alih dan menyuruh ya menghadap bos-nya terlebih dahulu. "Ada apa, Mas?" Tanya Daffa setelah dipersilahkan duduk oleh Gandi. "Sebenarnya apa yang terjadi dengan usaha kamu?" Tanya Gandi. Daffa masih berusaha tersenyum dan tak memperlihatkan beban terberatnya. "Gulung tikar, mas." "Nggak mungkin usaha sebesar itu bisa kukut begitu saja, saya tahu bagaimana usaha kamu." "Kenyataannya sudah seperti itu, Mas." Jawab Daffa. "Kamu sudah seperti adik ku sendiri, Daf dan saya nggak tega lihat kamu seharian kerja pontang-panting di dapur. Kamu mau saya modali dan membangun usaha kamu lagi?" Daffa terkejut dengan tawaran pria di depannya ini. Iya memang, Gandi adalah pria paling dermawan yang ia kenal selama ini. "Maaf, mas tapi itu berlebihan." Gandi tertawa dan menegakkan punggungnya. "Kamu lupa 2 tahun lalu toko ini hampir kolaps? siapa orang yang batu nyangga?" Daffa hanya terdiam. Ia ingat betul, dirinya lah yang membantu menyangga dan memulihkan kembali toko ini sampai sebesar dan seterkenal ini. "Saya hanya mau membalas budi, Daf." "Tapi, nama saya udah jelek mas di kalangan costumer." "Kamu bisa pakai nama saya." "Maaf, mas bukannya aku nggak menghargai bantuan mas Gandi, tapi aku masih mau berusaha dulu dan melatih kemampuan ku lebih dalam lagi " Gandi mengangguk-angguk dan berusaha memahami maksud Daffa. "Yasudah kalau keputusan kamu seperti itu, tapi jangan pernah sungkan untuk minta bantuan saya Daf." Daffa tersenyum cerah, "terimakasih banyak, Mas." "Iya, Daf kamu juga sudah banyak membantu saya." "Kalau begitu aku permisi dulu, mau bantu anak-anak beres-beres." Daffa segera undur diri setelah Gandi mempersilahkannya. Pukul 9 malam Daffa keluar dari Amorra Bakery tempatnya bekerja. Masih dengan seragam hitam khas pegawai ia berjalan menuju mobil yang dulunya mewah ia tukar dengan mobil sedan biasa. Jarak tempat tinggalnya sekarang dengan kerjaan nya memang cukup jauh, jadi harus menempuh perjalanan cukup lama. Sesampainya di tempat tinggalnya, Daffa di sambut oleh senyum hangat Raya. Sungguh, lelah yang sebelumnya menggerogoti tubuhnya, kini telah sirna hanya karena kedatangan Raya. "Kok malam-malam kesini?" Tanya Daffa. "Nggak boleh nih aku kesini?" Raya mencebikan mulutnya pura-pura ngambek, membuat Daffa gemas sendiri. "Boleh banget sayang, tapi kenapa malam-malam begini?" "Aku udah disini dari jam 8 kok, kamu aja yang nggak pulang-pulang!" ucapnya mulai merajuk. "Maaf ya tadi aku bantu beres-beres dulu makanya lama. Yaudah masuk yuk." Daffa menggiring Raya untuk masuk kedalam rumahnya yang sederhana. Ia pikir Raya akan merasa tak nyaman dengan suasana rumah klasik ini. Ternyata jauh dari prediksi Raya malah bersorak senang. "Wah beneran ini rumah kamu? Aku suka, bosan tau lihat tembok putih mulu." Rumah ini memang di d******i warna coklat dan serba serbi barang antik dari bambu. "Kamu suka?" Raya mengangguk penuh antusias dan mulai berkeliling ke sekitar melihat barang-barang yang menarik di matanya. "Aku mandi dulu ya, kalau capek langsung ke kamar aja." Daffa menujukkan dimana kamar keduannya, setelah itu berjalan ke belakang untuk membersihkan diri terlebih dahulu setelah seharian beraktivitas. Setelah mandi Daffa mengahampiri Raya yang sudah duduk selonjoran di atas ranjangnya. Ia mengecup kening dan bibir Raya berkali-kali, seminggu tak bertemu rindunya sudah benar-benar menumpuk tinggi. "Udah nggak marah kan?" Tanya Daffa memastikan. "Kalau kamu gitu lagi aku bakal marah lagi." Ancam Raya. "Oke, itu yang terakhir." Raya memeluk tubuh kekasihnya dari samping. Setiap bersama Daffa, ia merasa menjadi perempuan paling sempurna. "Aku punya sesuatu buat kamu, aku yakin kamu pasti bahagiain lihat ini." "Apa?" Tanya Daffa bingung. Raya merogoh isi tasnya dan mengambil sebuah benda yang membuat nafas Daffa tercekat, dan dadanya bergemuruh kencang. "Aku hamil." Tanpa sedikitpun beban di wajahnya Raya mengungkapkan musibah itu pada Daffa. Iya, ini musibah. Karena Daffa yang kini di dera ujian yang cukup berat, di tambah dengan hadirnya bayi di dalam rahim Raya. Mungkin bagi Raya itu sebuah kebahagiaan yang tak terkira karena akan memiliki seorang anak dan berharap Daffa bisa segera menikahi nya. Namun, Daffa belum benar-benar siap dengan keadaan ini. Daffa menggeleng kuat sambil merebut alat tes kehamilan itu dari tangan Raya. Dan bener, di sana Raya dinyatakan positif hamil. Dunia Daffa benar-benar runtuh malam ini. Kondisinya belum siap untuk menanggung tanggung jawab yang akan bertambah berat. "Kamu kenapa, kok kelihatan nggak suka? Kamu nggak suka aku hamil?" Raya bisa melihat raut wajah Daffa yang berubah drastis. "Kamu harusnya senang Daf kita bisa secepatnya nikah." Lanjutnya masih dengan suara yang antusias. "Tidak semudah itu sayang." Batin Daffa menjerit kuat. Karena tak mudah untuk menembus keluarganya bahkan keluarga Raya yang sangat membeci dirinya. "Jadi kamu benar-benar nggak suka aku hamil anak kamu?" Ekspresi Raya yang semua sumringah kini mulai berkaca-kaca dan bersiap menangis. Namun, Daffa tak membiarkan itu. "Senang dong, kamu bakal jadi Mama aku bakal jadi Papa." Daffa kembali merengkuh Raya kedalam pelukannya agar bisa lebih tenang. "Terus kapan kamu nikahin aku, keburu besar perut aku." Tanya Raya dengan entengnya. "Secepatnya sayang, sementara waktu kita seperti ini dulu aku pikir jalan keluarnya." Daffa mengusap lembut kepala Raya yang bersandar nyaman di bahunya. "Kamu aneh ya, biasanya kalau kebobolan pada panik nangis-nangis depresi. Lha kamu, malah bahagia banget tanpa beban." Ungkap Daffa. Raya tertawa pelan. Ia tak terkejut ataupun takut karena ia hamil sudah jelas bapaknya juga agar secepatnya bisa menikah dengan Daffa. "Ini tuh rejeki buat kita, kenapa harus di tangisi harusnya kita bersyukur." Daffa hanya tersenyum dan mengiyakan saja. Biarkan ia yang memikirkan semua masalah ini, ia tak mau terjadi apa-apa dengan Raya dan janin nya. **** Keesokan paginya Daffa sudah dibuat panik karena Raya yang terus-terusan mutah sampai lemas. Daffa menggendong Raya kembali ke kamarnya. Wajahnya sangat pucat saat ini. "Kita ke rumah sakit ya?" Raya tersenyum dan menggeleng pelan. Kemarin aku udah periksa ke dokter. "Tapi kamu mutah terus, aku takut." "Nggak apa-apa yang, ini wajah kok. Kata dokter kemarin anak kita sehat disini." Raya membawa tangan kanan Daffa menuju perutnya yang masih rata. Kini ketakutannya seakan sirna setelah mengusap lembut perut rata Raya. Seperti sudah ada ikatan batin antara ayah dan anak. "Udah berapa usianya?" Tanya Daffa tanpa mengalihkan tangannya dari perut Raya. "Baru 2 Minggu." Daffa tersenyum pada Raya. "Jaga dia baik-baik ya." "Kita jaga sama-sama." "Ray, aku panggilin Karin ya biar dia jaga kamu aku mau kerja." Raya menggeleng kuat dan langsung memeluk lengan Daffa erat. "Nggak boleh! Temenin aku disini." Katanya seperti anak kecil yang merajuk. Daffa bisa paham sebenarnya, namun ia juga memiliki kewajiban untuk bekerja. "Sekarang aku udah nggak kayak dulu, aku kerja di tempat orang jadi nggak bisa seenaknya." Daffa mencoba memberi pengertian pada Raya yang tetap menggelendotinya. Namun, Raya malah mengekuarkan jurus tangisnya membuat Daffa jelas tak tega. "Yaudah hari ini aku izin, jangan nangis lagi." Raya mengusap air matanya dan tersenyum pada Daffa. Sungguh, kalau posisinya sedang tidak seburuk ini ia akan sangat bahagia mendengar kabar kehamilan Raya. Tak usah menunggu sampai Raya hamil kalau ia sudah benar-benar matang, ia akan langsung menikahinya. "Aku mau tidur," ucap Raya. "Yaudah tidur, aku temani." "Tapi sambil pengang 'itu' kamu." Mata Raya menunjuk ke arah d**a Daffa. "Apa sih Ray?" Tanya Daffa masih dengan kebingungan nya. "Buka baju kamu." Daffa menurut dan membuka kaos yang ia kenakan. Begitupun dengan Raya yang juga membuka kaosnya dan menyisakan bra hitam yang menutupi buah dadanya yang berukuran pas. "Loh-loh mau apa, jangan aneh-aneh kamu hamil!" Ucap Daffa memperingati. "Apa sih! Aku gerah makanya buka baju." Seakan tak peduli, Raya menyuruh Daffa memiringkan tubuhnya dan mulai memilin p****g kecil Daffa. "Ray, geli lepas!" "Nggak mau, aku pengen pegang ini sampai tidur." Kali ini Daffa benar2 menahan hasratnya. Raya keterlaluan memang, tak tau apa kalau dirinya sangat tersiksa terlebih Raya yang hanya mengenakan bra dan celana pendeknya. **** Gaisss jangan pernah lupa untuk pencet love dan follow akunku yaaaaa
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN