D E L A P A N

1623 Kata
"Telur lagi telur lagi! kamu tau kan aku nggak suka telur!" Omel Raya dari kursi kayu yang ia duduki. Semenjak beberapa menit yang lalu mulutnya tak berhenti mengomel karena Daffa selalu memasak makanan yang tidak ia sukai. "Sayur, ikan, ati, telur, gitu aja terus!!" "Ini baik buat ibu hamil, biar kuat kandungannya. Kamu jangan ngeluh terus dong." Sahut Daffa tak memperdulikan sedikitpun omelan Raya karena Raya butuh nutrisi lebih dari biasanya. "Besok biar aku yang masak sendiri," ucapnya dengan mulut cemberut. Daffa menggeleng tak setuju. Kalau Raya dibiarkan memasak sendiri, ia akan memasak apapun yang ia suka tanpa tau gizi yang terkandung. Setiap hari sebelum berangkat kerja, Daffa selalu memasak dan mempersiapkan apa saja yang harus Raya makan. Ia harus memastikan bahwa Raya memakan asupan gizi yang dibutuhkan di kehamilannya yang kini sudah masuk 4 minggu. "Kamu tuh bandel, udah nurut aja sama aku," ucap Daffa. Raya mencebikan bibirnya kesal dan beranjak meninggalkan Daffa yang masih sibuk di dapurnya. Entah harus senang atau kesal saat Daffa selalu memilih-milih makanan yang akan masuk ke mulutnya. Ia tau ini demi kesehatannya dan bayi di dalam kandungannya, tapi kalau seperti ini terus ia juga bosan sendiri. Bahkan saat Daffa datang dengan nampan yang berisi sup dengan berbagai sayuran, buah, dan s**u hamil, Raya hanya diam dan fokus pada tayangan televisi yang ia lihat karena ia tak selera sama sekali dengan semua makanan itu. "Kok marah, kamu mau ya anak kita nggak sehat di sini?" Dengan lembut Daffa mengusap perut datar Raya. Meski Raya yang sekarang sangat sensitif dan sangat sering marah-marah tidak jelas padanya, Daffa selalu menghadapinya dengan sabar karena ia paham orang hamil memang sering seperti itu. "Aku nggak pernah asal-asalan loh pas masakin kamu. Setiap hari aku cari tau di internet, biar kamu sama anak kita sehat, biar kamu nggak mual terus," ucapnya sangat lembut. Mungkin siapa saja yang mendengar akan langsung luluh lantak. Raya beringsut dari tempat duduknya dan memeluk Daffa erat. Ia merasa sangat beruntung memiliki Daffa yang kelewat sabar dan perhatian padanya. Air matanya sudah tak bisa di bendung lagi. Ia menangis bukan karena sedih, ia menangis karena terharu bisa memiliki pria sesabar Daffa. "Udah nggak usah nangis, besok aku cari resep lagi biar kamu nggak bosen makan sup terus." Daffa cukup memahami sikap Raya yang sangat sensitif itu. Dikit-dikit marah, dan dikit-dikit menangis. "Makasih ya." Raya mendongakkan kepalanya menatap Daffa yang selalu tersenyum. "Sekarang makan ya, aku suapin." Raya menggeleng, dari pagi Daffa sudah repot karena dirinya. "Kamu siap-siap aja, habis ini berangkat kerja kan?" "Nggak apa-apa, aku berangkat jam 10 masih ada waktu." "Nanti pulang malam lagi?" Tanya Raya. Daffa tersenyum dan menggeleng. Karena tak tega meninggalkan Raya lama-lama ia mengurangi jam kerjanya, yang pasti juga gajinya. Binar bahagia langsung terpancar dari mata Raya, biasanya ia sampai ketiduran menunggu Daffa pulang saking malamnya. "Yeyy!! nanti malam kita jalan-jalan ya." "Iya sayang. Sini makan dulu." Daffa menyendokan sup buatannya dan memberikan pada Raya sampai tandas. "Makasih ya, maaf kalau akhir-akhir ini aku ngeselin," ucap Raya yang sadar betul bagaimana kesalahannya. Daffa hanya mengangguk dan sibuk mengupas apel merah untuk Raya. "Dimakan, aku mandi dulu." Daffa menyerahkan 2 apel yang sudah ia kupas dan di potong-potong siap makan. **** Setelah Daffa berangkat kerja, seperti biasa, Raya selalu bersih-bersih dan melakukan apapun yang bisa mengurangi rasa bosan nya. Selama disini ia tak pernah keluar rumah, karena Daffa sudah mewanti-wantinya. Pintu dan jendela selalu ia tutup layaknya rumah yang kosong. Alasan di balik itu semua adalah, agar mereka tidak di grebek karena satu atap tanpa ada ikatan pernikahan. Karena lingkungan yang ia tempati tak seperti apartemennya yang bebas. Dia tinggal di pemukiman warga yang ada masalah sedikit saja langsung dibesar-besarkan. Raya sih senang-senang saja bila nanti mereka digrebek lalu nikahkan paksa, karena tak membutuhkan waktu lama untuk dirinya menjadi istri Daffa. Namun, papinya akan sangat marah padanya bila sampai itu terjadi. Jujur, Raya sudah sangat muak terus sembunyi-sembunyi seperti ini. Ia tau akan banyak rintangan nantinya, namun, sebagai perempuan dirinya juga ingin diikat bukan seperti ini. Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Nama Papi♥️ tertera di layar ponselnya. "Iya, Pi?" "Dimana kamu?!" Suara Papinya terdengar sangat marah. "Apartemen." "Bohong! apartemen kamu sepi, kamu juga sering nggak masuk kuliah!" Kalau sudah begini tandanya papinya sudah mulai memata-matainya kembali, itu artinya ia harus berhati-hati jangan sampai Papinya tau ia bersembunyi disini. "Raya udah besar Pi. Raya butuh kebebasan, harusnya Papi ngerti itu!" "Papi tau kamu masih bersama lelaki tak jelas itu kan? Raya, tinggalkan dia setelah ini kamu bakal Papi kirim ke Australia buat ambil S2!" "Bagaimana aku mau meninggalkannya kalau sekarang aku sedang mengandung anaknya". Batin Raya. "Sudah ya Pi, Raya lagi sakit butuh istirahat." Alibinya agar pembicaraan ini segera berakhir. "Jaga kesehatan kamu, Papi pulang bulan depan!" Raya hanya menjawab dengan gumam dan langsung menutup sambungan telefon nya. Ia benar-benar muak dengan semua perintah Papinya yang selalu menuntut ini dan itu. Selama ini ia dibiarkan hidup sendiri, tanpa tau apa yang dirinya inginkan. Sampai-sampai ia berfikir, lebih enak tidak punya memiliki siapa-siapa sekalian daripada memiliki orangtua yang tak pernah berada di sisi kita dan tak bisa memahami kita. Ia tak butuh milyaran uang Papinya, ia hanya mau Papinya selalu ada saat dirinya butuh. Andai saja Maminya masih ada, mungkin dirinya tak menjadi seliar ini. Raya melempar sapunya begitu saja dan menangis sesenggukan di atas karpet depan tv. Tak ada yang bisa menguatkan dirinya selain Daffa. Hanya Daffa yang mampu menggantikan peran kedua orangtuanya. Begitupun sebaliknya, hanya Raya yang mampu menggantikan sosok penguat di kehidupan Daffa. Mereka adalah sepasang manusia yang haus akan kasih sayang dan perhatian orang tua. Setelah puas menangis, Raya berniat untuk merapikan kamarnya yang berantakan karena ulah Daffa semalam. Badcover dan bantal berada di tempat yang tak semestinya. Mereka memang melakukan nya semalam, karena Daffa yang sangat sulit menahan dan Raya yang tak mampu menolak. Baru lima menit dirinya membereskan kamar, tubuhnya sudah terasa sangat lelah dan berakhir duduk di atas ranjang dengan nafas ngos-ngosan. Matanya menangkap tas milik Daffa. Ia mencoba mengambilnya dan melihat isinya. Tak ada yang menarik, hanya ada rokok dan beberapa kertas yang ia tak ketahui isinya. Saat melihat buku tabungan Daffa, ia tertarik untuk membukanya. Semenjak Daffa bangkrut ia belum pernah melihat berapa tabungan Daffa karena hal seperti ini sudah biasa keduanya selalu saling terbuka termasuk masalah keuangan. Matanya membulat saat mengetahui berapa nominal yang tertera dalam buku tabungan itu. Awalnya Raya kira salah melihat, namun setelah ia hitung kembali nol nya, ternyata benar. Hanya ada 10 juta di dalam tabungan Daffa. Ia tak masalah Daffa akan jatuh miskin, ia hanya kasian saat Daffa harus mengatur pengeluaran nya setiap hari. Mungkin nanti ia akan mengirimkan uang ke rekening Daffa untuk membantu. Karena setiap belanja, Daffa tak pernah mengeluh tentang keuangan. Saat semua orang berfikir Daffa adalah sosok yang tak memiliki masa depan, hanya Raya yang mampu melihat Daffa sebagai lelaki yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Raya mengambil ponselnya dan memindahkan uangnya ke rekening milik Daffa. Mungkin ini bisa meringankan beban Daffa. *** Pukul 5 sore Daffa sudah pulang. Ini jauh lebih awal, biasanya pukul 9 malam dirinya baru keluar dari toko roti. Ia merasa tak tega mengurung Raya setiap hari di dalam rumah, meski kekasihnya tak mengeluh, namun, Raya juga butuh udara segar. Sebelumnya ia sudah mampir dulu ke supermarket untuk membeli persediaan makanan mereka yang sudah mulai menipis. Tak seperti biasanya yang asal comot, sekarang dirinya lebih jeli untuk memilih yang diskonan. Sebisa mungkin ia harus mengatur keuangan sampai tanggal gajian tiba, karena hanya itu pemasukan satu-satunya. Sesampainya di rumah, Raya tengah menonton TV sambil memangku beberapa snack. Senyumnya mengembang dan segera menghampirinya untuk membantu membawa belanjaan yang Daffa bawa. "Aku bawa ke belakang sebentar." Raya segera bergegas ke dapur untuk menyimpan semua belanja Daffa, sebagian ia masukkan ke dalam kulkas. Setelah semua selesai ia kembali ke tempatnya. Disana Daffa sudah membaringkan tubuhnya di atas karpet, masih dengan seragam kerjanya. "Mau makan dulu apa mandi dulu?" "Duduk sini dulu." Daffa menepuk tempat di sampingnya. Raya pun mengikuti kemauan kekasihnya dan duduk disampingnya. Dengan cepat Daffa memindahkan kepalanya ke pangkuan Raya dan mulai mendusel ke arah perutnya. Kebiasaan baru yang rutin Daffa lakukan saat dia merasa lelah. Menurutnya, setelah melakukan itu rasa lelahnya akan langsung terobati. "Besok jadwalnya aku cek up kandungan," ucap Raya sambil mengusap kepala Daffa lembut. "Vitamin aku juga habis hari ini." Lanjutnya lagi. Daffa terdiam cukup lama. Hanya ada 10 juta di tabungan, rencananya uang itu tak akan ia gunakan terlebih dahulu. Sedangkan gajiannya masih 2 Minggu lagi. "Kalau 2 Minggu lagi gimana? aku belum gajian, vitamin kamu juga mahal." Bukannya Daffa ingin mengeluh tapi keadaan yang mengharuskan dia berbicara seperti itu. "Aku udah transfer uang ke rekening kamu tadi." Seketika Daffa langsung bangun dari posisinya. Matanya memandang Raya tak suka. "Maaf, aku cuma mau bantu kamu," ucap Raya lagi. "Itu nggak perlu! kamu itu tanggungan aku, jadi nggak usah mikir keuangan aku!!" Suara Daffa mulai meninggi dan ekspresi marahnya mulai menguar. "Tapi aku cuma mau ringanin beban kamu," "NGGAK PERLU! Aku masih cukup kuat untuk dikasihani!" Daffa beranjak pergi meninggalkan Raya yang masih mematung setelah mendapat bentakan dari Daffa. Sungguh, ia tak bermaksud menjatuhkan harga diri Daffa sebagai laki-laki. Ia hanya ingin membantu Daffa, dengan sedikit uang yang ia miliki. Bukankah sebagai pasangan harus saling membantu satu sama lain. Raya hanya ingin melakukan itu. Pintu kamar ditutup dengan sangat kasar sampai menimbulkan suara debaman cukup kuat. Sedangkan Raya hanya bisa menangis sambil menatap pintu kamar dengan sendu. Ia merasa bersalah juga merasa kesal karena sifat keras kepala yang Daffa miliki. ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN