******
Setiap anak pasti selalu mendamba keluarga yang utuh dan selalu baik-baik saja. Begitupun Daffa, sekeras-kerasnya terkadang rasa iri selalu mengahampiri hatinya kala melihat sebuah keluarga hangat dan bahagia.
Keluarga seharusnya bisa menjadi rumah untuk dirinya kembali pulang. Namun, pada kenyataanya orang yang ia sebut sebagai keluarga lah, yang kini berhasil menghancurkan hidupnya.
Kenapa hidupnya tak seberuntung kakaknya, bisa mendapatkan seluruh kasih sayang dari kedua orangtuanya. Sedangkan dirinya selalu di anak tirikan karena sering membantah peraturan dari Papanya.
Daffa dan Deva memang satu kandung, tapi mereka memiliki kepribadian yang berbeda.
Deva yang sejak kecil sudah di setting oleh Papa nya untuk selalu menurut layaknya robot. Sedangkan dirinya, semenjak kecil hidup dengan kakek dan neneknya yang selalu di beri ajaran tentang kesederhanaan.
Yang Daffa butuhkan hanyalah dukungan dari kedua orangtuanya, ia tak butuh harta yang berlimpah ruah.
Tapi, harta lah yang sudah membutakan mata keduanya sampai tega menghancurkan anak kandung mereka sendiri.
Kalau boleh dirinya menyesal, sekarang ia sangat menyesal lahir dari keluarga Miller yang arogan dan tak memiliki hati. Di kepala mereka hanya ada uang uang uang dan uang.
Mereka pikir semuanya akan cukup dengan uang?
Andai tak ada Raya di rumah ini, mungkin sudah banyak teriakan yang keluar dari mulutnya. Setiap kali dirinya mengingat kelakuan orangtuanya emosi nya tak bisa di kendalikan.
****
Dengan gerakan pelan Raya membuka pintu kamar. Kakinya berjalan pelan menghampiri Daffa yang kini tengah meringkuk di atas ranjang.
Raya naik ke atas ranjang dan berbaring di samping Daffa, memeluk tubuh atletis kekasihnya dari belakang.
"Maaf," ucapnya sangat pelan.
"Maafin aku," ucapnya lagi, dengan diiringi isakan tangis. Meskipun Daffa memiliki sifat yang keras kepalanya, dirinya sangat jarang marah padanya, bahkan tidak pernah. Setiap amarahnya selalu ia tahan seorang diri.
Daffa bergerak pelan dari posisinya. Ia melepas tangan Raya yang melingkar di perutnya dan beringsut bangun.
Malam ini ia memang kesal dengan Raya. Tak seharusnya kekasihnya ikut campur soal keuangan nya, biarkan semua menjadi tanggungannya sendiri. Karena itu sudah menjadi kewajibannya.
"Aku memang miskin sekarang. Tapi aku terus berusaha buat penuhin semua kebutuhan kamu dengan uang aku sendiri!"
Nada nya terdengar sangat dingin, membuat tangis Raya seakan tak mau berhenti. Semenjak hamil perasaannya memang lebih sensitif.
"Besok aku kembalikan uang yang kamu transfer tadi. Jangan khawatir, aku masih bisa berusaha."
Raya menahan tangan Daffa yang akan beranjak pergi.
"Oke, kalau kamu balikin uang aku, besok aku bakal pergi dari sini. Aku nggak mau jadi beban buat kamu."
Mendengar ucapan Raya, kilatan amarah kini terpancar kembali di mata Daffa. Meskipun belum ada ikatan pernikahan, namun, Daffa sudah menganggap Raya lebih dari seorang istri karena kini sudah mengandung anaknya.
"Sampai kapanpun aku nggak bakal lepasin kamu buat pergi!"
"NIKAHI AKU KALAU KAMU NGGAK MAU AKU PERGI! AKU SUDAH MUAK SEPERTI INI, AKU HAMIL ANAK KAMU TAPI KAMU NGGAK PERNAH KASIH AKU KEPASTIAN!" Raya benar-benar lepas kendali. Hatinya yang semuala terasa sangat sesak karena menahan semua kata-kata ini, kini terasa lega karena sudah berhasil mengatakan hal ini, meskipun dengan amarah.
Daffa diam mematung, ia tak memberi respon apapun. Ia tau, Raya butuh kepastian. Namun, percuma saja Papi nya tak akan memberinya izin menikahi putri semata wayangnya.
"Perutku makin lama makin besar, apa kamu mau terus-terusan kurung aku disini? Apa kamu ngerasain gimana bosannya aku? Maaf aku harus bilang, aku tersiksa dengan keadaan ini!" Raya semakin histeris, bahkan kata-katanya mampu melukai hati Daffa seketika.
Ia sadar, sudah hampir satu bulan dirinya mengurung Raya di sini tanpa melakukan kegiatan apapun. Bahkan ia tak pernah berfikir sebelumnya bagaimana tersiksanya Raya saat seharian ia tinggal bekerja.
"Aku nggak pernah keberatan kamu ajak hidup susah asal kita selalu bersama. "
"Nikahi aku Daf," ucapnya sangat pelan tertutup isak tangis yang memilukan.
Hati Daffa seakan diremas-remas, sakit rasanya melihat wanita yang paling ia cintai tersiksa seperti ini.
Daffa memeluk tubuh Raya yang bergetar karena tangisannya.
"Anterin aku pulang, untuk sementara kita sendiri-sendiri dulu."
"Nggak! kamu tetap disini sama aku." Daffa semakin mengeratkan pelukannya seakan tak mau Raya pergi dari sisinya.
"Aku nggak bermaksud rendahin kamu, aku cuma mau ringanin beban kamu," ucap Raya.
"Aku bakal jual Kafe, setelah itu aku janji bakal temuin Papi kamu."
Raya mendongakan kepalanya terkejut. Kenapa harus Kafe yang harus Daffa korbankan, itu aset satu-satunya saat ini.
"Daffa jangan! Kita nikah biasa aja asal sah, kalau Kafe kamu jual pendapatan kamu dari mana lagi?"
Daffa mengembuskan nafas berat. Setelah ini akan banyak kemungkinan-kemungkinan yang akan menimpa hubungan nya dengan Raya. Terlebih dari pihak keluarga Daffa maupun Raya adalah orang-orang yang sulit, dan berbeda dari keluarga lain.
"Kamu keberatan kalau misal kita nikah siri?" Tanya Daffa.
Raya mengernyit bingung, dengan pertanyaan Daffa. Kenapa harus menikah siri, sedangkan Papinya masih ada.
"Maksud kamu apa sih, Papiku masih ada kalau kamu lupa!"
"Masih yakin Papi kamu bakal kasih restu dan mau jadi wali nikah kamu?" Daffa tersenyum miring. Ia sudah tau bagaimana watak tuan Reza Alendra, ayah kandung Raya. Lelaki yang tegas dan kejam.
"Papi kamu benci sama aku, Papi kamu anggap aku lelaki bodoh dan miskin, dan Papi kamu ingin kamu nikah sama Antonio Jhonson, kalau kamu lupa!"
Mulut Raya terkatup sempurna. Ucapan Daffa benar-benar menyadarkan nya dari kenyataan-kenyataan pahit yang terjadi dalam hubungannya dan Daffa.
Perjalanan nya tidak akan mulis sebelum mendapatkan restu dari Papinya. Terlebih, Papinya sudah berniat menjodohkannya.
"Sekarang kamu tau apa alasan aku terus main kucing-kucingan?"
Air mata Raya semakin meluncur deras. Kepalanya tiba-tiba sangat pening. Ia kira saat dirinya hamil, Papinya akan dengan mudah memberikannya restu padanya dan Daffa.
"Kalau orangtua kita nggak kasih restu, terpaksa aku bakal ambil jalan nikah siri bagaimanapun kita harus nikah." Tangan Daffa terkepal erat.
"Orangtua kamu lebih baik dari pada Papi ku Daf, kita bisa minta tolong."
Lagi-lagi Daffa tersenyum miris. Bahkan orangtuanya sama kejamnya dengan Papi Raya. Orangtuanya juga menentang hubungannya dengan Raya, bagaimana bisa disebut lebih baik.
"Nggak ada yang di harapin dari orangtua ku. Kita sama-sama memiliki keluarga yang transparan!"
Kepalanya sudah tak mampu lagi untuk berfikir. Sekarang, Raya sama pusingnya dengan Daffa.
"Besok kita ke rumah orangtua ku minta restu, diberi atau tidak aku bakal tetap nikahi kamu." Wajah Daffa sudah tak setegang tadi. Bahkan tatapannya sudah kembali lembut seperti semula.
Raya kembali memeluk erat tubuh kekasihnya dari samping. Semenjak dirinya hamil, Daffa berubah menjadi sosok yang sangat lembut dan selalu memanjakan nya. Sifat keras kepalanya perlahan mulai hilang, dan lebih sabar menghadapinya.
"Kamu jangan mikir macam-macam, aku bakal perjuangin kamu dan kita bakal nikah." Daffa mencium lembut kening Raya.
***
Hihihiiii, maaf lama nggak update ?
Soalnya lagi represing otak.
Jangan lupa vote dan komen
Semakin rame cerita ini, semakin sering aku update ♥️