Happy Reading ♥️
Plissss ramein cerita ini biar rajin update selalu. Bagikan ke temen-temen kalian biar pada kepo??
Semoga kalian suka dan kalian puas dengan kisah yang aku sajikan kali ini?Sebelum membaca kalian bisa pencet love atau follow terlebih dahulu, karena pencet love dan follow itu gratis gaiss, gratisss tiss tisss
Ayo pencet sekarang, aku tunggu sampai lima menit yaa...
.
.
.
.
.
Sudah lima menit, kuyy sekarang nikmati kisah Daffa dan Raya yang menggemaskan?
****
???
Setelah memastikan Raya sudah tertidur lelap, Daffa mengambil jaket hitam yang tersampir di lemari.
Ia keluar kamar dengan perlahan agar Raya tak terbangun. Rencanannya ia akan mengunjungi rumah kakak laki-lakinya untuk sekedar meminta solusi. Meskipun watak kakaknya yang cuek dan terkadang tak acuh, tapi hanya dia lah satu-satunya keluarga yang bisa ia ajak bicara serius.
Daffa mengemudikan mobilnya kencang membelah jalan raya. Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam, dan ia harus cepat sebelum kakak nya tidur.
Malam ini juga ia harus sudah mendapat solusi yang terbaik, agar ia bisa secepatnya bertindak. Karena Raya harus ia nikahi secepatnya.
Dengan tak sabaran Daffa terus memencet bell yang berada di sisi pintu.
Pintu terbuka, Dea— istri kakaknya, menyambutnya dengan senyum ramah.
"Daffa, tumben malam-malam kesini, yuk masuk."
Keduanya lantas memasuki rumah besar itu dan duduk di ruang tamu.
"Mas, ada Daffa nih!" Teriak Dea memanggil suaminya.
"Haduh nggak dengar lagi. Bentar ya Daf, panggil kakakmu sama buatin minum." Dea beranjak pergi meninggalkan Daffa yang terduduk tak begitu nyaman di sofa.
Sangat jarang, bahkan tak pernah Daffa menginjakkan kaki di rumah besar kakaknya ini. Sesekali, Dea dan Alfa lah yang mengunjunginya ke Kafe.
"Tumben, ada masalah apa?" Kakaknya memang anti basa basi dan langsung ke inti masalah.
Namun, tiba-tiba bibirnya kelu untuk memulai obrolan dengan kakak lelakinya yang kaku itu.
"Mas, tunggu sampai kamu mau bicara!" Tatapan Deva tak beralih dari Daffa yang tampak bingung memilih kata.
Meskipun Daffa memiliki kebencian tersendiri, namun hubungan persaudaraan mereka masih baik-baik saja. Hanya saja mereka jarang berhubungan, jadi sangat canggung bila di tempatkan pada situasi ini.
"Raya hamil, dan aku harus nikahi dia." Akhirnya kata itu terucap. Jangan tanya seberapa kencang deguban jantungnya kini.
Payah memang, pengakuan ini belum seberapa. Ia masih harus menghadapi kegarangan Papi Raya yang bisa saja mematahkan lengannya, dan juga Papanya yang siap mencibirnys dengan beribu kata pedas.
"Daffa! Serius?" Ini bukan suara kakaknya, melainkan suara Dea— kakak iparnya yang datang dengan nampan yang berisi 2 kopi s**u.
Sedangkan Deva masih tetap pada ekspresi datarnya. Tak merespon apa-apa.
"Aku kesini mau minta bantuan kalian. Papa sudah habisi semua usaha aku jadi aku sudah nggak punya apa-apa lagi karena semua aset sudah aku jual."
Kini ekspresi kakaknya mulai berubah mendengar aduannya tentang kelakuan Papanya.
"Papa? Lakuin itu?" Hanya itu yang terlontar dari bibir kakaknya.
"Semua aset yang aku punya udah habis. Apartemen, kafe, restoran, mobil, semua habis! Papa kamu emang jagonya kalau urusan rusak merusak!" Daffa berbicara dengan nada penuh kebencian pada sosok lelaki yang sudah menghadirkan dirinya ke dunia yang kejam ini.
"Terus kamu tinggal di mana Daf, keadaan Raya gimana, kalian baik-baik aja kan?" Bahkan, Dea yang hanya kakak iparnya sangat mengkhawatirkan keadaannya.
"Aku tinggal di rumah peninggalan Kakek, jangan bilang siapa-siapa terlebih sama mertua kakak," ucapnya pada Dea.
Deva berdeham sebelum akhirnya berbicara, "Daf, kesalahan apa yang kamu buat sampai Papa berbuat seperti itu?"
"Kesalahan? Apapun yang aku lakukan emang pernah benar di mata Papa?!" Seperti sudah tersetting, saat ada pembicaraan mengenai Papanya, emosinya akan langsung meninggi begitu saja.
"Papa cuma pengen yang terbaik buat kamu. Oke, mas tau kamu nggak suka berada di kantor, tapi apa salahnya sekali aja kamu turutin apa mau Papa."
Baru kali ini rasanya Kakaknya yang super kaku berbicara banyak padanya. Tapi, walau bagaimanapun ia tak akan sudi menuruti permintaan Papanya. Karena itu bukan passion nya.
"Mas yakin kalau kamu mau ikuti kemauan Papa buat ikut ngurus kantor, urusan menikahi Raya akan sangat mudah karena kehidupan kamu dan Raya akan terjamin."
Kali ini Daffa diam tak menjawab. Memang sih ada benarnya, karena Papanya yang gila harta tahta itu akan langsung merestui hubungan nya, dan Papi Raya yang juga memandang harta dan martabat juga akan menyetujui hubungan nya.
Tapi tidak! Ia tak suka bermain bisnis seperti Papa dan Kakaknya kalau ia memaksakan untuk terjun ke profesi itu takutnya dirinya akan malah merusak bisnis yang tengah ia kelola dan ia terkena masalah lagi dan lagi. Lebih baik dirinya bertahan pada passion-nya dalam kuliner dan berusaha bangkit kembali.
"Nggak Mas, bukan itu yang aku mau! Tujuan ku kesini bukan untuk membicarakan Papa dan semua bisnisnya, aku kesini mau minta bantuan." Kalau tidak segera di hentikan, ia takut lepas kendali dan ribut dengan kakaknya.
Dea yang duduk di samping suaminya tampak mengusap lengan suaminya agar mengikuti kemauan Daffa.
"Apa yang kamu butuhkan?"
"Nikahkan aku sama Raya!"
"Gila kamu! Gimana caranya, Papa belum tau, orangtua Raya juga." Sergah Deva kesal dengan kelakuan adik yang tingkat keras kepalanya di atas rata-rata.
"Kita bisa nikah siri dulu."
"Kamu pikir nikah siri tinggal nikah? Kamu juga butuh restu, besok datang ke rumah Papa sama Raya." Putus Deva.
"Nggak, percuma! yang ada kita di hina-hina, kasihan Raya!"
"Mas bantu!"
Akhirnya Daffa mengangguk. Tak ada salahnya dia menuruti ucapan Deva, karena ucapan Deva akan lebih di dengar daripada dirinya.
"Daffa, kalau boleh kakak tau udah berapa bulan?" Tanya Dea penasaran. Ia sudah tau sebenarnya bagaimana gaya pacaran Daffa dan Raya, jadi tak heran kalau Raya sampai kebobolan.
"Jalan 10 Minggu kak, mornigsicknes berat." Keluh Daffa.
Dari tatapannya Dea tampak perihatin. Dirinya tau bagaimana tersiksanya mengahadapi trimester pertama.
"Makanya gimana?"
"Agak susah, tapi setiap hari aku bikin masakan bergizi buat dia."
Dea bersorak bangga pada Daffa yang kelewat perhatian. Beda dengan suaminya yang datar, dan tak peka.
"Bagus Daf, buah-buahan nya juga. Jangan seperti kakakmu, istri hamil di tinggal kerja!" ucapnya sambil melirik sinis Deva yang tampak tak peduli.
"Kak, kalau misal aku tinggal kerja, Raya boleh nggak kesini, nggak setiap hari kok biar dia nggak bosen aku kurung di rumah terus."
"Nggak apa-apa Daf, kakak malah seneng." Jawab Dea melegakan Daffa
"Kamu kerja? Dimana?" Tanya Deva setelah beberapa saat hening.
"Di Amora bakery."
Deva berdecak, "Kenapa sih kamu keras kepala banget! dapat uang berapa kamu dari sana?!"
"Nggak banyak, tapi cukup!"
"Kalau mas bantu kamu aktifin satu kafe kamu, mau terima?" Tawar Deva yang di jawab gelengan Daffa. Karena percuma, Papanya akan tetap mengancurkan nya.
"Kalau kakak mau bantu, tolong beli Kafe yang di daerah Jayabaya aja."
"Nggak salah?"
"Setelah itu aku bakal pergi dari kota ini nama kafeku sudah jelek dimata demua costumer. Aku mau memulai.semuanya dari 0 lagi dengan Raya.
"Terserah, yang penting besok jangan lupa ke rumah Papa," ucap Deva menyerah menghadapi kepala batu adiknya.
"Yaudah aku pulang." Pamit Daffa sebelum keluar dari kediaman kakaknya.
***
Ia memasuki rumahnya sudah pukul 11 malam. Raya sempat uring-uringan karena terbangun dan ditinggal sendirian.
"Nasi gorengnya mana?" Pintanya dengan wajah masam karena tak terima ditinggal begitu saja. Sebelumnya ia memang sudah menelepon Daffa dan meminta nasi goreng.
"Jangan marah dong." Daffa mendekati Ray yang duduk selonjoran di atas karpet dan menciumi pipinya sambil mengucap maaf berkali-kali.
"Iya deh iya, aku ambil sendok bentar."
Daffa mencegah Raya yang akan beranjak, "kamu duduk aja." Setelah itu dirinya lah yang beranjak ke dapur mengambil sendok.
"Loh kok satu kamu nggak makan?" Protesnya saat Daffa baru saja duduk.
"Aku suapin." Daffa membuka bungkusan nasi goreng dan menyuapi Raya dengan senang hati.
"Kamu kan belum makan tadi, kenapa belinya cuma satu?"
"Aku udah makan kok." Padahal kenyataannya belum. Nafsu makannya benar-benar turun akhir-akhir ini.
"Awas kalua bohong!"
"Udah ah, kalau makan jangan sambil ngomong." Daffa kembali menyuapi Raya yang tampak lahap sampai nasi dalam bungkusan kertas minyak itu habis.
"Tumben ke rumah kak Deva, ngapain?" Tanya Raya penasaran, karena Daffa yang tak menjelaskan maksud dan tujuannya ke sana.
"Kangen sama Alfa, besok kamu mau kan main ke sana?"
"Beneran?" ucap Raya antusias. Sudah sangat lama dirinya tak bertemu bocah kecil itu.
"Iya, besok pagi aku anterin kesana, sekarang kamu tidur lagi sana."
"Gendong." Raya merentangkan tangannya manja.
Daffa gemas dengan wajah yang di buat sok imut oleh Raya. Wanitanya itu memang selalu bisa membuatnya tenang di tengah ribuan masalah yang menghimpitnya.
Sampai kapanpun ia tak akan berani-beraninya menyakiti hati wanita sebaik Raya.
Raya adalah motivasi terbesarnya untuk menjadi sukses dan membuktikan pada dunia bahwa dirinya bisa.
Daffa bukan lelaki romantis seperti lelaki di luar sana, ia hanya lelaki biasa dengan segala kesederhanaan nya, karena Daffa lebih suka dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Sebelum mengenal Raya, Daffa hanyalah sosok lelaki yang pendiam. Setiap hari dirinya tertekan dengan segala tuntutan yang orangtuanya beri. Sampai akhirnya dirinya bertemu dengan Raya, Daffa yang selalu pasrah kini berubah menjadi Daffa yang mampu menyuarakan isi kepalanya.
Raya juga tak jauh berbeda dengannya, dirinya juga korban broken home. Ibunya sudah meninggal saat dirinya masih kecil, dan ayahnya yang jarang memberinya perhatian.
Pekerjaan Raya setiap hari tak pernah jauh-jauh dari Club dan Mall untuk sekedar mencari keramaian dan mengahbiskan uang Papanya.
***
Vote dan komen yang banyak ♥️
Jangan lupa kasih tau teman-teman buat baca cerita Daffa dan Raya, di jamin seruuuu♥️
Ini baru pembukaan guys, belum masuk konflik