Semoga kalian suka dan kalian puas dengan kisah yang aku sajikan kali ini?Sebelum membaca kalian bisa pencet love atau follow terlebih dahulu, karena pencet love dan follow itu gratis gaiss, gratisss tiss tisss
Ayo pencet sekarang, aku tunggu sampai lima menit yaa...
.
.
.
.
.
Sudah lima menit, kuyy sekarang nikmati kisah Daffa dan Raya yang menggemaskan?
****
"Ini masih jam 3 pagi sayang, tidur lagi yuk." Dengan mata yang setengah terbuka Daffa melihat Raya yang tengah duduk melamunn di atas ranjang.
Melihat tak ada respon yang Raya beri, Daffa bangun dan duduk di samping Raya.
"Sayang?" Daffa berucap lembut sambil mengusap rambut hitamnya penuh kasih sayang.
Raya mengembuskan nafasnya berat dan langsung memeluk tubuh Daffa. Ia memang tidak bisa tidur nyenyak malam ini, sedikit-sedikit ia terbangun dan sulit untuk tidur kembali.
Ia merasa gelisah yang berlebihan dan banyak perasaan takut yang menghampirinya akhir-akhir ini.
"Kamu kenapa?"
Raya menggeleng. "Aku nggak tau."
"Kamu tenang aja ya, ada aku disini."
Perlahan usapan dan kecupan lembut yang Daffa berikan sedikit bisa menenangkan hatinya. Setidaknya, rasa gelisahnya sudah berkurang.
"Tidur lagi yuk," ucap Daffa.
Raya kembali berbaring dengan posisi berhadapan dengan Daffa. Senyum hangat Daffa memang selalu menjadi favoritnya sampai saat ini.
"Kita udah lama nggak pillow talk," ucap Raya mengingatkan kegiatan mereka selama ini, mengobrol santai sebelum tidur ketika tengah tidur bersama.
"Huh, kita terlalu terlarut dalam masalah. Aku lagi stres banget, mungkin kalau nggak ada kamu sama calon bayi kita, aku udah gila sekarang," ucap Daffa sambil tertawa. Memang benar sebenarnya, karena Raya dan calon bayinya ia berusaha mengendalikan dirinya sendiri dan pantang untuk tumbang.
Jiwanya benar-benar terguncang saat semua usaha yang ia rintis sendiri dari nol bisa hancur dengan mudah di tangan Papanya sendiri.
"Kamu memang pria paling hebat." Raya mengecup sebentar bibir Daffa dan menjauhkan wajahnya kembali sebelum mengundang nafsu Daffa.
"Bagaimanapun kondisi aku kamu bakal terima kan?"
"Kenapa tidak?"
Daffa terdiam sejenak, ia mulai berfikir tentang beberapa planing yang sudah tersusun dalam kepalanya. Mungkin sudah saatnya ia memberi tau Raya.
"Setelah menikah aku ingin kita pindah dari kota ini, aku ingin kita hidup damai jauh dari perkotaan dan memulai semuanya dari 0."
"Kita mau tinggal di mana?" Sudah jelas Raya bingung. Karena semua kerabat Daffa berada di kota ini.
"Kita ngontrak atau beli rumah kecil-kecilan."
"Kenapa harus pindah, disini kamu sudah ada kerjaan dan tempat tinggal. Kalau kita pindah kita harus keluar dana banyak." Sebenarnya Raya tak begitu setuju dengan keputusan Daffa. Meskipun ia bisa memulai hidup baru dengan nyaman, namun, dana yang akan di keluarkan juga akan banyak.
"Aku jual satu-satunya Kafe yang tersisa, nggak ada pilihan lain selain jual Kafe itu."
"Kamu pernah bilang nggak akan jual Kafe itu sampai kapanpun, jangan sampai kamu menyesal nanti," ucap Raya memperingatkan. Kafe itu adalah bukti kerja kerasnya, salah satu Kafe yang sangat ia banggakan hingga kini meskipun sudah tutup total.
"Keadaannya sudah beda sayang. Hanya Kafe itu yang bisa bantu aku."
"Aku harus bilang apa kalau itu sudah menjadi keputusan kamu. Apapun itu, semoga menjadi yang terbaik aku bakal selalu dukung kamu." Dari dulu memang itu tugas Raya, selalu mendukung apapun keputusan yang Daffa ambil dan membantunya bangkit saat ada seseorang yang mencoba menjatuhkannya.
"Terimakasih, kamu nggak pergi meskipun aku sedang jatuh. Aku janji secepatnya akan nikahi kamu," ucap Daffa benar-benar tulus.
Raya hanya tersenyum. Ia juga berharap agar hubungannya dengan Daffa secepatnya jelas.
"Sekarang tidur ya," Daffa merapatkan tubuhnya dan memeluk tubuh Raya erat. Acara pillow talk sudah berakhir.
****
Sudah sejak pagi Daffa sudah aktif di dapur. Tangannya lincah mengolah beberapa sayuran yang ia mix dengan ayam. Semenjak kehamilan Raya, ia kembali aktif memasak dan bereksperimen dengan resep-resep.
Ia memang bukan lulusan tata boga yang sudah pasti ahli, namun, beberapa temannya adalah seorang chef besar dari situlah dirinya mulai mendalami dunia kuliner.
Dan masakannya pun tak kalah lezat dengan koki hebat, buktinya Raya selalu ketagihan dengan masakannya.
Meskipun setiap hari dirinya yang memasak bukan berarti Raya tak bisa memasak. Raya bisa memasak, namun ia tak begitu telaten mencari resep-resep masakan sehat dan lebih memilih resep yang simpel dan mudah dibuat.
Selain itu, setiap paginya Raya rutin bolak balik kamar mandi karena mornig sicknes yang parah.
"Kok kamu banget?" Sapanya saat Raya baru saja keluar dari kamar mandi dan duduk di kursi tak jauh darinya.
Pagi ini kondisinya memang lebih buruk dari biasanya. Meskipun biasanya juga seperti itu, namun, kali ini tampak lebih parah.
Daffa langsung mendekati Raya dan menggantikan tangan Raya yang memijat tengkuk nya sendiri.
"Nanti kita ke dokter ya."
Raya menggeleng dan memeluk tubuh Daffa yang berdiri di hadapannya. "Aku nggak apa-apa, kan udah biasa kaya gini."
"Tapi kamu sakit."
"Nanti juga sembuh kok, aku bantu masak ya."
Daffa mendudukkan kembali Raya, saat dirinya mencoba beranjak dari kursinya.
"Udah selesai kamu duduk aja."
Raya mencebikan bibirnya kesal. Lama-lama ia juga tak enak saat hampir semua Daffa lakukan sendiri, meskipun tanpa ada paksaan.
"Sekali-kali biar aku yang lakuin itu semua, ini tugas aku, tugas kamu hanya cari uang dan pulang dengan selamat!"
"Nanti kamu capek, kamu harus banyak istirahat."
Raya yang jengah hanya memutar bola matanya saja. Saat ini ia hanya bisa menurut saja karena dengan berdebat dengan Daffa akan semakin memperburuk moodnya.
"Kamu mandi dulu, jangan lupa bawa baju ganti buat nanti malam." Pesan Daffa sebelum menghampiri kompornya yang masih menyala.
"Kamu serius mau ke rumah orangtua kamu?" Raya benar-benar ragu dengan keputusan Daffa kali ini. Ia tau persis watak Ayah Daffa yang keras.
"Kamu tenang aja." Daffa menggenggam erat tangan Raya dan berusaha meyakinkan nya bahwa semua akan baik-baik saja nantinya.
"Daffa, aku belum siap." Rengek nya.
"Kamu mau tetap hidup seperti ini? Kamu tenang aja semua aku yang urus, kalau kamu nggak mau ikut yaudah biar aku sendiri!" Daffa sudah benar-benar optimis bahwa Papanya akan menerima Raya dan calon cucu nya, terlebih Deva sekarang berada di belakangnya.
"Apapun yang terjadi aku akan temani kamu," ucap Raya pelan sebelum meninggalkan Daffa sendiri di dapur.
Ia tau ketakutan Raya saat ini, namun, ia harus bisa lebih kuat dari Raya karena masih banyak serangan-serangan yang akan ia terima nantinya.
"Semoga kita selalu diberi kekuatan," gumam Daffa sambil menatap punggung Raya yang semakin menjauh.
Daffa membereskan dapurnya yang berantakan dan menyapu sisa-sisa kotoran yang ia timbulkan saat memasak tadi.
Setelah selesai Daffa mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja makan dan membuka aplikasi video dan memutar video-video konspirasi atau true crime sambil menunggu Raya selesai mandi dan bersiap untuk sarapan.
Setelah Daffa menyelesaikan satu video yang ia putar Raya keluar dari kamar dengan daster rumah dan rambut basah.
Raya mengambil nasi untuk Daffa juga untuk dirinya sendiri. Setelah itu keduanya makan bersama dengan hening.
Selesai makan Raya membawa semua wadah kotor ke dapur dan mencuci-nya.
Meski kini kondisi Raya tengah tak baik, tapi Daffa tak bisa mencegah Raya untuk melakukan tugas itu karena Raya pasti akan kesal dan marah padanya.
"Abis ini kamu duduk aja di depan jangan ngapa-ngapain, kondisi kamu lagi nggak baik," ucap Daffa dengan nada sedikit paksaan dan menggiring Raya ke sofa depan televisi.
Sedangkan dirinya langsung bergegas ke kamar mandi karena sebentar lagi dirinya harus berangkat kerja.
****
Hargai tulisan author dengan memberi vote dan komen yang membangun??