Mereka berempat mengangguk kompak, serentak membuka pintu mobil. Menuju gang sempit, butuh pergerakan rahasia. Langkah cepat tanpa terbaca oleh siapa pun. Sebab, saat ini sangat sulit membedakan antara kawan dan lawan.
Adrian memutuskan sepenuhnya percaya pada Noi, memberikan peluang pada hati untuk merekrut istri sah sang adik sebagai bagian penting dari tim rahasia. Kini, mereka akan menemui salah seorang kenalan sang wanita yang dianggap kompeten di bidangnya. Melacak tiga nama yang keberadaannya tak ditemukan.
Noi berjalan tegap di bagian depan, diikuti tiga pria lainnya. Jalan kecil yang sepi, sedikit gelap tanpa penerangan memadai. Bau apak mulai mengganggu indra penciuman semua orang, memasuki kawasan berbahaya. Beberapa orang mulai terlihat sedang bergerombol, duduk mengitari meja sambil bermain domino.
Mereka menghentikan aksi, memperhatikan empat orang yang baru datang. Satu per satu berdiri, bersiaga di masing-masing titik. Hal tersebut memaksa Adrian memberikan isyarat pada yang lain untuk bersiap, segala kemungkinan bisa saja terjadi mengingat kunjungan kali ini memiliki tujuan tak biasa. Sarang penguasa jalanan.
“Marabunta!” Noi menyebut salah satu nama semut terganas dan mematikan dengan lantang, tujuh pria bertubuh kekar langsung berubah ekspresi. Menjadi ramah, aneh sekali. Adrian dan dua rekannya hanya mampu saling pandang.
Wanita itu maju lebih dulu, mengamati tujuh orang yang sudah mempersilakan untuk duduk di kursi yang semula mereka tempati. Tak ada sosok yang dicari, di mana ketua mereka? Marabunta merupakan kode paling disegani, mengartikan jika pengguna sandi tersebut adalah petinggi di komunitas.
“Apa Anda Bell?” tanya salah seorang dari mereka, mengurungkan niat Adrian untuk duduk santai.
Melirik Noi yang hanya mengangguk tanpa keraguan, ia memilih berdiri di sisi wanitanya. Merasa mulai kesulitan membedakan identitas saat ini, teman masa kecilnya atau istri titipan? Sungguh satu kerumitan yang susah dijelaskan.
“Di mana Labidus?” balas Noi dingin, menatap satu per satu wajah yang mulai menunduk. Mereka selama ini hanya mendengar nama, rupanya memang ada sosok bernama Bell. Satu-satunya pimpinan wanita dalam komunitas.
Menyebut ketua dengan sebutan akrab tentu bukan pengakuan semata, wanita ini pasti memiliki pengaruh besar. Namun, siapa tiga laki-laki yang mengawal? Mereka bukan dari kelompok dikenal, wajah-wajah baru dengan postur atletik.
“Ketua sedang beristirahat, apa ...?”
“Bangunkan!” potong Noi sekali lagi, tak ada nada bersahabat.
Hal ini semakin memicu tanya dalam benak Adrian, apa wanita di sampingnya adalah Bell? Namun, sejak kapan mereka berganti peran? Ini membingungkan.
Tidak ada yang berani bergerak, menunduk kompak dengan dua tangan terkunci di depan tubuh masing-masing. Noi tertawa halus, dia berdiri untuk masuk ke dalam rumah. Namun, Adrian menarik pergelangan tangannya. Memberikan satu tatap serius, meminta penjelasan.
“Ini aku, Kakak tunggu saja di sini. Orang di dalam sana sama sekali tak berbahaya,” jelasnya menarik pelan tangan dari cengkeraman halus sang kekasih, tersenyum meyakinkan sambil tetap bersikukuh masuk.
Adrian tak bisa membiarkan begitu saja, tetapi tujuh laki-laki tadi membentuk pagar. Menghalangi dirinya dan Noi masuk. Hal yang sangat mengganggu, wanita itu menghadiahkan tatap kesal pada sang polisi yang hanya mengangkat kedua bahu.
“Dirly!” teriak Noi kesal dengan ulah semua pria yang terlalu takut untuk mematuhi perintahnya, “keluar sekarang atau kubakar rumah ini!”
Baik tujuh laki-laki asing maupun tiga polisi itu bengong, ancaman paling aneh. Lebih pada luapan kesal terhadap kekasih yang enggan menemui, Adrian tertawa tipis melihat tingkah laku Noi. Rupanya bukan Bell, tak mungkin wanita itu bertingkah kekanakan seperti ini.
Keributan terjadi, Noi terus berteriak meskipun ada peringatan dari para anak buah Labidus. Salah seorang dari mereka mencoba mendorong sang wanita, tetapi gerakan cepat Adrian menepis, dan memukul. Tak terelakkan, mereka memasang kuda-kuda, bersiap untuk bertarung.
Alvin dan Akbar langsung melakukan hal serupa, mengikuti Adrian mengeluarkan pistol. Tiga polisi itu mengarahkan senjata pada tujuh orang yang terbeliak, tak menyangka jika mereka bersenjata. Noi menarik rambut ke belakang, benar-benar kesal dengan situasi saat ini.
Beruntung suara pintu terdengar, terbuka diikuti kemunculan wajah yang ditunggu. Labidus keluar, tampak berantakan dengan rambut acak-acakan. Akhirnya, Noi bisa bernapas lega. Ia melambaikan tangan, pria yang merasa terganggu oleh suara berisik itu membolakan netra. Tak percaya.
“Bell!” serunya surprise, mendekat dengan satu senyum lebar. Menghalau para anak buah yang siap baku hantam, menuju Noi.
Namun, Adrian dengan sigap melindungi sang wanita. Berdiri di depannya dengan moncong pistol di arahkan pada kepala Dirly, otomatis niat memeluk Noi urung. Bukan karena merasa ada tanda bahaya, tetapi enggan melihat wanitanya berada di dekapan laki-laki lain.
Noi hanya tertawa, menarik pelan tangan Adrian. Mengapitnya dengan mesra sebelum menyalami Dirly, situasi terkendali. Alvin dan Akbar menyarungkan kembali senjata api masing-masing.
“Ada keperluan apa kamu mencariku?” tanya Dirly bersahabat sembari menarik kursi untuk wanita yang segera duduk, “membawa para polisi segala.”
Kalimat terakhir ini membuat ketujuh anak buahnya terkejut, polisi datang ke tempat mereka. Bukan situasi aman, tetapi melihat sang bos santai. Tampaknya hanya tentang negosiasi antar para petinggi komunitas.
“Kita bicara di dalam saja, ini tentang Demon. Kamu mengenalnya?” tanya Noi membekukan wajah Dirly, laki-laki yang dikenal oleh Bell ini tampak memucat. Sikap santai tak terlihat lagi, ekspresi ragu kembali menyabotase wajah tampannya.
“Jadi, benar, Demon di balik kematian para wanita itu?” balasnya masih belum begitu yakin pada pembahasan, “kita masuk!”
Dirly berdiri, diikuti Noi. Adrian kembali meraih pergelangan tangannya, menggeleng pelan. Ada rasa takut, bagaimana jika laki-laki asing itu hanya sedang berakting baik? Waspada terhadap segala kemungkinan, karena keadaan sekitar bukan tempat aman.
“Aku kenal Dirly, dia akan berdiri di pihak Bell.” Noi berbisik sebelum menarik pelan sang kekasih, mengikuti Labidus yang sudah membuka pintu.
Dua orang lainnya tampak menunggu perintah, mereka akan melakukan apa pun sesuai arahan. Adrian memandang Noi sekali lagi, mencoba menemukan solusi untuk para anak buah. Membiarkan mereka bersama tujuh preman bukan pilihan tepat, bagaimana jika terjadi keributan sekali lagi? Sebab, melihat bentuk tubuh kekar, menandakan mereka merupakan anak buah pilihan. Terlatih dengan baik.
“Kalian akan aman bersama mereka, berbaurlah.” Noi seolah paham akan kecemasan sang kekasih, “Dirly akan membantai siapa pun yang berani mengarahkan telunjuk pada kalian, aku menjamin itu dengan nyawa!”
Dua orang polisi itu melebarkan senyum, mengangguk setuju. Tak akan terjadi hal buruk jika Noi sudah berkata demikian, mereka percaya. Kembali duduk santai untuk menunggu, tidak perlu lagi ada rasa cemas.
Adrian hanya tergelak melihat anak buahnya begitu patuh, “Mereka menjadi jauh lebih patuh padamu dan itu sangat menyebalkan.”
“Kakak sedang cemburu sekarang?” goda Noi yang hanya tersenyum sambil mengulurkan tangan, “ayo, masuk dan tangkap para penjagal manusia itu.”
***