Perempuan dengan hidung mancung itu tampak menyapu pandangan sebelum menaikkan masker hingga hanya terlihat kedua bola mata, mesin mobil masih menyala ketika tangan meraih kacamata hitam untuk dikenakan. Rambut berombak terikat rapi, mematut diri pada kaca spion. Lalu, sekali lagi memindai lokasi sekitar. Aman.
Desi Afriani, wanita dengan tinggi 170 senti meter tersebut turun dari mobil. Melenggang santai ke arah apartemen di kawasan elite, gedung pencakar langit yang hanya ditempati orang-orang kalangan atas. Gerakan kaki melambat, kelebat di seberang jalan memaksa dirinya mengubah haluan.
Sinar silau buatan merupakan kode rahasia yang hanya dimengerti oleh para anggota, Desi melihat sinar kecil terpantul di jendela pintu masuk apartemen. Urung, memilih berjalan menuju tempat lain. Namun, tangan kanannya bergerak pelan ke arah kepala, berpura-pura merapikan rambut sebelum menekan tombol pada benda kecik yang terpasang di lubang telinga.
“Jangan mendekat pada Afriz, polisi menjaga area begitu ketat. Siti sudah menemukan lokasi empat target lainnya. Sebaiknya kamu pergi, temui Anggrek. Jadikan dia pengecoh para b*****h berseragam itu!”
Desi terus melangkah, ia tak perlu menimpali. Panggilan telah terputus begitu saja. Hanya perlu mematuhi perintah, menemukan keberadaan Anggrek. Penulis lain yang saat ini tengah viral dengan tulisan dengan tema Woman's Life.
“Semakin menarik, Demon memang yang terbaik.” Dia berdesis dari balik masker yang dikenakan, mempercepat langkah sembari ekor mata mengamati para polisi di berbagai sudut. Penyamaran yang menggelikan.
[Kita ubah jadwal pertemuan, lokasi biar aku yang menentukan. Tempatmu penuh sampah busuk!]
Desi mengirim pesan pada Afriz, pria dengan kontroversi perihal lukisan yang dibuat. Tak ingin terjebak pada kesulitan lain, polisi tergerak pada nama-nama yang diprediksi oleh Demon. Menargetkan para penulis wanita memang cukup seru, tidak terlacak, dan menyenangkan ketika melihat penderitaan di ujung maut.
Saat ini, Juli yang senggang. Demon pun memberikan izin untuk menyeret nama-nama lain sebagai target baru. Para penulis viral yang mulai dielu-elukan warga KPO, mereka akan dihebohkan oleh berita besar. Tunggu saja! Akan ada banyak kejutan, berburu mangsa populer jauh lebih menarik dibanding membunuh warga dengan profesi tertentu.
Mencoba menyaingi rekor sang Demon, ia tak hanya akan membuat gebrakan dengan menghabisi Anggrek. Ada beberapa nama lain yang cukup terkenal, menjadi perbincangan hangat hingga kehebohan terjadi. Tiga orang sebagai pengecoh tentu keren, para polisi akan tampak bodoh ketika kembali kecolongan.
Mereka menjaga dengan ketat para target yang diincar Demon, tentu saja ... Desi akan berkolaborasi bersama Siti untuk melenyapkan tiga nama baru. Tidak lengkap jika hanya berdua, segera menghubungi nama lain melalui panggilan seluler.
Menutup pintu sambil melepas masker, terdengar bunyi sambungan. Kedua netra cukup awas, seringai puas terbit ketika para polisi terlihat kelelahan. Pekerjaan sia-sia, mengamati Afriz hingga kiamat pun tak akan menuntun pada pelaku. Bodoh!
“Kita akan bergerak besok. Masing-masing satu target, bebas menghabisi tanpa perlu metode khusus. Nanti malam, Demon akan memberikan penampung darah, hisap habis tanpa sisa.” Pernyataan dingin yang diikuti tawa disambut cekikikan dari seberang, mereka begitu bersemangat.
Menunggu kesempatan untuk bergerak serentak, akan sangat keren jika membunuh di waktu bersamaan. Akan menuai hasil yang begitu mengagumkan, tentu saja semakin membuat semangat mengganda. Rekor manis bagi para psikopat!
***
Noi menunggui Dirga yang mulai tenang, duduk di sisi tempat tidur sang suami. Tampaknya belum ada tanda-tanda teringat pada dirinya. Mengesalkan, tetapi ia berupaya berhenti bersikap kekanakan. Pria ini butuh perhatian lebih, dirinya adalah istri. Bakti pertama yang wajib dilakukan ialah merawat laki-laki tersebut.
“Jangan langsung bangun, kembalikan kesadaranmu secara utuh dulu.” Noi bergerak cepat, mendekat ke arah tempat tidur Dirga yang mulai menarik diri untuk duduk.
Pria tersebut sedikit heran dengan keberadaan sang kakak ipar, tetapi lebih memilih diam. Ada hal lain yang mengganggu, mimpi aneh tentang suatu kondisi mengerikan. Dia mulai merasa sedikit bingung, ditambah pusing di kepala yang sangat mengganggu.
“Apa aku mengalami penyekapan sebelumnya?” tanya Dirga pelan, ada sedikit keraguan yang memaksa Noi duduk di sisinya.
Memperhatikan ekspresi sang suami, ada gundah. Terlihat ragu, tetapi ketakutan terbaca cukup tegas. Apa dia sedang baik-baik saja sekarang?
“Kamu mengingat sesuatu?” tanya Noi mencoba menemukan jawaban terbaik, tatap serius ia arahkan untuk mengawasi sang suami sah.
Dirga menggeleng, tak ada ingatan penting apa pun. Namun, mimpi aneh yang baru dialami memang mengusik ketenangan, dirinya berada pada satu ruang tertutup. Gelap, hanya bau anyir tertangkap indra penciuman. Suasana mencekam, mengerikan hingga kini masih menyisakan bekas ketakutan dalam diri.
Terkurung tanpa cahaya, lengket dan basah. Di mana sebenarnya dia berada? Apa sekadar mimpi buruk? Namun, kenapa terasa nyata? Pria itu memeriksa sesuatu, mengamati jari-jari miliknya. Mulut itu terbuka lebar, bekas luka. Lengan pun memiliki bekas serupa.
“Jadi, yang kulihat bukan mimpi buruk? Benar-benar ada kolektor darah, makhluk terkutu yang mengoleksi cairan anyir.” Dirga terlihat pucat, tangannya gemetar.
Noi mengamati dengan serius, kepala sang suami bergerak cepat ke kanan dan kiri. Menghalau rasa takut. Namun, tetap saja masih terlihat begitu cemas.
Dirga melihatnya, cairan-cairan merah dalam tempat serupa stoples. Berjejer rapi, terdapat ruang khusus. Terasa begitu dingin, menusuk hingga tulang. Benar, dalam mimpi, semua terpapar jelas. Tempat bening dengan kode dan nama-nama asing.
“Florencia … ada nama dia di sana, dalam ruang pendingin. Darah Flo di sana, ada pula ... akh!” Dirga menjerit, kepalanya terasa sangat sakit.
Sang suami menjambak rambut begitu kuat, menarik begitu saja. Hal ini memicu refleks Noi tergerak tanpa sadar, memeluk suaminya. Menenangkan.
Mereka dalam keadaan berpelukan ketika pintu kamar dibuka, Adrian diikuti lima anak buah serta mantan kekasih. Terusik rasa penasaran oleh suara Dirga, mereka berlari menuju kamar tersebut. Namun, pemandangan tak biasa memicu praduga menyabotase benak masing-masing.
Adrian menyadari ketidakberesan semua orang, bergegas mendekat. Menarik pelan tubuh sang istri yang menautkan alis, heran dengan sikap sang kakak ipar. Namun, segera paham ketika menyaksikan banyak orang hadir di kamar tersebut.
“Ada apa dengannya?” tanya Adrian memperhatikan Dirga yang kembali tak sadarkan diri, kali kedua hari ini.
Ayahnya bisa murka jika mengetahui hal tersebut, sang adik ditempatkan di sisi Noi agar bisa terurus. Bukan dibuat pingsan berulang-ulang. Namun, yang terjadi justru hal paling tidak diinginkan, ingatan Dirga kembali.
Noi tak segera menjawab, mustahil mengatakan kebenaran tentang cerita Dirga di depan semua orang. Hanya akan menambah spekulasi aneh, ditambah tim rahasia belum benar-benar terbentuk. Tidak bisa percaya begitu saja, enggan terkecoh ke sekian kali.
“Dia tetap bereaksi panik setiap mendengar nama Flo.” Jawaban yang terdengar sedikit janggal, ada nada sebal yang begitu jelas.
“Kamu masih membahasnya?” balas Adrian dengan nada kesal, merasa mulai tak mengerti dengan sikap Noi. Kenapa membahas nama Samira di depan sang adik? Keributan akan terus berlangsung jika semua orang masih mengungkit nama mantan kekasih Dirga yang telah menjadi korban kebrutalan pembunuh berantai.
“Dia bisa mengingat p*****r itu, tapi tidak dengan istrinya.” Noi berucap pelan sembari melipat muka, “Kakak juga, jangan meninggikan suara padaku. Kita bukan pasangan sungguhan.”
Adrian membeku, mencoba meminta maaf dengan tatap penuh rasa bersalah. Namun, Noi melengos, berlalu begitu saja. Melewati semua orang dengan muka ditekuk, kekesalan mencapai puncak. Semua orang begitu menyebalkan.
Ia menendang udara kosong, menjauh dari semua orang. Mencerna ulang kalimat demi kalimat yang terdengar dari mulut suaminya. Kolektor darah? Jadi, semua darah diambil oleh si pembunuh, tetapi buat apa?
Selalu ada hal tak masuk akal dari isi kepala para pembunuh berantai, mereka terkadang mengoleksi organ tubuh para korban yang memiliki kesamaan usia. Lalu, Tato mengumpulkan darah? Kenapa selama ini penyelidikan tidak membahas cairan kental tersebut?
Apa pelaku benar-benar bangsa Drakula? Jika bukan, tentu klan Vampir seperti di serial televisi. Kalau tidak keduanya, pasti orang gila. Manusia normal mana yang akan mengoleksi darah orang lain?
***