“Sebentar.” Wuri berjalan pelan menuju pintu yang baru saja terketuk berkali-kali. Menarik handel pintu, wanita itu mengernyit melihat seorang pria muda berdiri di depan pintu rumahnya. Wanita dengan sepasang mata sembab karena menangis terus menerus itu, menarik langkah ke belakang—berniat untuk kembali menutup pintu, karena takut yang datang hanya orang yang ingin mencaci putri sulungnya. Namun, gerakan tangan mendorong pintu tersebut terhenti ketika orang yang bertamu menahannya. “Bu Wuri … saya Tama.” “Pergi. Aku nggak kenal kamu.” “Saya … um, teman—” Tama mendesah. “Saya teman Rendra, dan saya kenal Naira.” Wuri menggeleng. “Kami nggak ada hubungan sama Rendra. Naira nggak pernah pacaran sama Rendra. Jangan nyalahin putriku—” “Saya ke sini karena Naira, bukan Rendra.” Tama yang

