Diculik Mafia

1063 Kata
Di tengah kemelut hati imbas pertengkarannya dengan Fin, ponsel milik Jade bergetar hebat pertanda sebuah panggilan masuk. Dalam layar tertera panggilan berasal dari nomor rahasia, menandakan seorang klien yang hendak menyewa jasa assasin Jade. Ponsel mode bertugas Jade sudah dimodifikasi sedemikian hingga oleh Bee, sahabat sekaligus seorang peretas atau hacker profesional. "Baguslah! Kebetulan aku sedang dalam mood iblis saat ini," gerutu Jade seraya menyunggingkan smirk bengis. Sang puan pun segera mengangkat panggilan tersebut. "The Midnight di sini. Nama target, alamat, dan harga." Singkat, padat, dan jelas. Begitulah cara para assasin dalam dunia gelap berkomunikasi dengan klien. Jade lantas menutup telepon karena penawaran sudah mencapai deal. Sisanya akan diurus oleh Bee sebagai pelacak identitas target dan penyusun rencana. Selanjutnya, Jade yang akan beraksi mengeksekusi tepat di tengah malam sesuai dengan julukan assasin-nya yaitu The Midnight. "Ergh! akan kuurus masalah Fin nanti." Jade bermonolog kesal seraya meninggalkan apartmen untuk kembali ke rumah Bee yang juga sebagai markas tim assasin-nya. *** Keesokan harinya. Bee tertidur di bangku kerja miliknya yang berhadapan dengan beberapa layar monitor berjejer serupa ruangan sistem IT. Sementara itu, Jade masih termenung tepat di sebelah Bee. Bukan merasa bersalah atas misi pembunuhan yang baru saja di lakukannya, melainkan pikirannya sibuk bergulat mengingat Fin yang tak kunjung berubah. Padahal, Jade ingin sekali memulai bahtera rumah tangga dengan pria itu. Bahkan mungkin Jade akan jujur padanya perihal pekerjaan asli sang puan selama ini jika Fin benar-benar berubah seperti dahulu. "Hey! Kau masih kepikiran Fin?" tanya suara Bee yang baru saja terbangun. Jade tak langsung menjawab, ia hanya begeming diiringi semburat kecewa tergambar jelas di wajah cantiknya. "Aku tidak ingin men-judge mu, Jade. Tapi hubunganmu dengan Fin sudah menjadi toxic sejak lama," simpul Bee. "Bee benar, tapi bagaimana dengan hutang budi dan nyawa padanya? Bahkan Fin selalu ada dalam masa terpurukku dulu. Rasanya tidak adil jika aku tidak bersama Fin dalam masa sulitnya sekarang." Jade semakin larut dalam angan semu. Isi kepalanya sangat bising saat ini serupa sarang lebah. Tak berapa lama, ponsel Jade tiba-tiba berdering menginterupsi. "Siapa, Jade?" tanya Bee penasaran. "Fin," jawab Jade ragu seraya menilik Bee sesaat. "Oh, aku pikir misi lagi. Aku belum sanggup karena masih lelah dan mengantuk saat begadang tadi." Bee merentangkan kedua tangannya untuk melakukan peregangan imbas pegalnya tidur di atas kursi. Tubuh rampingnya lalu melengos ke arah dapur untuk membuat kopi favoritnya. Sementara itu, Jade segera menggeser tombol hijau pada layar ponsel. "Fin." "Maaf, aku bukan Fin." "Hey, kenapa ponsel Fin ada padamu? Siapa kau?" tanya Jade meninggikan nada setengah emosi. "Apakah pemilik ponsel ini bernama Fin?" tanya lawan bicara bersuara pria di seberang sana. "Jangan bertele-tele. Katakan di mana Fin?" "Maaf, bukan maksudku bertele-tele. Tapi sepertinya ini adalah ponsel pria yang telibat keributan malam tadi di Bar milikku." Suara pria itu kemudian menjelaskan kronologi singkat yang ia ketahui bahwa semalam telah terjadi keributan di Bar milik si penelepon. Fin selaku pemilik ponsel dibawa oleh beberapa orang berpakaian dan berkacamata serba hitam karena disinyalir bermasalah dengan mereka. "Kau yakin itu, Fin?" "Aku tidak tahu siapa namanya tapi aku melihat sewaktu pria itu digiring, ia menjatuhkan ponsel ini." "Kau tau siapa yang menggiring Fin?" "Aku tidak berani menyebutnya, Nona. Mereka kelompok berbahaya di negara ini." Pria itu seketika merendahkan suaranya. Ia terdengar seperti ketakutan dan menolak menyebutkan nama kelompok yang membawa Fin. "Baiklah. Dimana bar milikmu?" "Moon Bar." "Ok. Terima kasih." "Apakah kau—" Jade memutus sambungan telepon sepihak meskipun si pemilik Bar masih ingin berbicara. "BEE!" teriak Jade memanggil Bee. "Hey, kenapa berteriak?" protesnya seraya bejalan terpogoh-pogoh ke arah Jade. "Aku butuh bantuanmu meretas CCTV Moon Bar semalam dan juga ponsel Fin." "What! ? Memangnya kenapa dengan pria benalu itu?" Gadis berambut ungu itu tak segan menyindir Fin terang-terangan. "Bee, aku serius. Dia dibawa oleh sekelompok orang." Jade melipat kedua tangan di depan d**a. "Kau pikir aku sedang melawak, hah?" Baik Bee dan Jade sama-sama beradu argumen kecil, memicingkan alis untuk sesaat. "Ergh! Baiklah. Aku akan melacaknya dalam sekejap." Bee menyerah. Gadis itu segera melangkah dengan gelagat gontai menuju komputernya karena jujur saja kalau bukan Jade yang meminta, gadis itu malas berurusan dengan pria yang selalu memanfaatkan Jade. Jemari Bee lantas mulai menari indah di atas tuts keyboard komputer, melacak informasi perihal keberadaan Fin semalam. Sementara Jade berdiri di sebelah Bee untuk turut memantau. "Jade, lihatlah!" pinta Bee seraya memperbesar hasil penelusuran CCTV dari monitor. Benda kotak berlayar datar itu memperlihatkan adegan Fin yang dibawa paksa oleh sekelompok pria berbaju serba hitam sesuai keterangan pemilik Bar. "Siapa mereka? Apa tujuan membawa Fin?" gumam Jade dengan netra yang masih terpaku ke layar monitor. "Apa mereka salah satu kelompok yang mengicarku? Tapi penyamaranku belum pernah sekalipun terbongkar," terka Jade kali ini. "Sepertinya ini bukan tentangmu, Jade. Aku yakin Fin yang bermasalah dengan kelompok ini." Bee menyimpulkan dengan air muka penuh kekhawatiran. "Dan sialnya ... aku tau kelompok ini." Bee selanjutnya menghela napas resah. "Mereka kelompok yang sangat kuat dan berbahaya." "Hey, kau lupa kalau aku tak takut pada kelompok manapun atau siapapun," sombong Jade. "Ergh, baiklah Jade si Pemberani." Bee memutar bola mata dengan malas sebelum melanjutkan penelusuran. "Tapi kali ini kau sepertinya harus berhati-hati, Jade." Bee memperingatkan Jade sekali lagi dengan nada penuh keseriusan. "Ergh, kenapa kau jadi bertele-tele. Cepat katakan padaku ... siapa yang berani mengusik Fin?" Jade merespon tak sabaran. "Woah, relax! Sebelum itu, aku mau bertanya dulu padamu." "Katakanlah!" "Apa selama menjalankan misi, kau pernah bersinggungan dengan kelompok mafia?" "Tentu saja tidak, Bee. Kau kan tau semua detail misi. Kita hanya menerima single target yang tidak ada hubungannya dengan kelompok apapun termasuk mafia," terang Jade kembali me-refresh ingatan Bee. Jade dan Bee merupakan tim assasin yang tidak terikat dengan kelompok atau siapapun. Sudah banyak para mafia yang ingin menggunakan jasa The Midnight, bahkan di antaranya ada yang ingin mempekerjakan sebagai assasin pribadi kelompok mafia tertentu. Namun, selalu berakhir dengan penolakan oleh Jade. Bukan tanpa alasan puan itu menolak. Jade tahu betul seluk beluk dan cara kerja mafia yang penuh persaingan dan keserakahan antar kelompok. Gadis itu hanya tidak suka diperintah oleh kubu mana pun. "Aku pernah menyelidiki beberapa kelompok mafia. Tidak salah lagi, tato yang tersemat di leher mereka merupakan lambang Mafia Black Skull, salah satu kelompok mafia terkuat dan tersadis di negara ini." Bee kembali menghela napas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Berdoalah, Jade. Semoga Fin masih bernyawa di tangan mereka," ringkas Bee diikuti semburat panik dari wajahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN