"Astaghfirullah!" Pekik Abi Ali saat dia berdiri di ambang pagar pesantren. Matanya tajam, menelisik wanita yang tengah bersembunyi di d**a Rasya putranya. Alisnya mengerut, napasnya naik turun, tapi tatapannya seolah membakar siapapun yang dia lihat.
“Rasya.”
Suara serak itu cukup untuk melepaskan tangan Rasya dari bahu Naila. Lelaki itu menoleh cepat. Napasnya memburu. Jantungnya seolah keluar dari tubuhnya.
Naila buru-buru menjauhkan diri, menunduk begitu dalam sambil meremas kerudungnya hingga ujung kerudungnya itu hampir sobek .
“Abi…” Rasya berusaha tersenyum tipis seolah takut menghadapi kenyataan yang ada di hadapannya.
Abi Ali melangkah maju. Tongkat kayunya menjejak kerikil halaman, suaranya menggema ke serambi pesantren yang perlahan mulai dipenuhi tatapan penasaran para santri.
“Siapa wanita itu, Rasya?” suara Abi Ali membelah senja. “Apa kau sudah lupa adab? Lupa syariat agama? Di depan mata para santrimu kau memeluk wanita yang bukan mahrammu? Bagaimana jika para santrimu nanti mencontoh kelakuanmu?!”
Jantung Naila berdebar kencang. Wanita itu meremas kedua jemarinya karena takut pada mantan mertuanya. Melihat kakeknya menunjuk ibunya, Ilham merapat di samping ibunya seolah ingin melindungi ibunya sambil memeluk tas kecilnya. Mata hazelnya menatap tajam sang kakek yang belum pernah ia tahu.
Tatapan Abi Ali jatuh ke Ilham. Mata tua itu menelusuri wajah bocah itu, menelisik detil rahang kecilnya, tatapan matanya, pipi tirusnya. Seketika tatapannya beralih ke Rasya, seolah menemukan jawaban yang tak pernah dia sangka.
“Dan siapa anak ini?” suara Abi Ali turun satu nada, tapi lebih dingin daripada teriakan barusan. “Kenapa wajahnya … kenapa wajahnya begitu mirip denganmu waktu kecil?”
Beberapa santri yang berdiri di serambi pesantren mulai berbisik. Rasya tahu jika aib ini bisa meledak kapan saja kalau satu kata saja salah terucap dari bibirnya di depan umum.
Pelipis Rasya basah keringat. Ia menunduk sedikit, lalu cepat meraih lengan Abi Ali.
“Abi…” katanya perlahan, berusaha meredam nada suara. “Tolong Abi … jangan di sini. Kita masuk dulu, Abi. Kita bicarakan di dalam rumah. Tolong, Abi.”
Abi Ali menatap tajam, matanya berkaca-kaca marah. “Jawab aku di sini, Rasya! Siapa anak ini? Siapa wanita ini?!”
“Abi, ini bukan tempatnya…” Rasya menunduk, menahan nafas. Jemarinya gemetar memegang tongkat kayu ayahnya. “Lihatlah! Semua santri bisa mendengar, orang lain yang lewat juga bisa melihat … Tolong, Abi. Masuklah ke rumah dulu. Biar saya jelaskan semuanya di dalam.”
Abi Ali membuang napas panjang, sorot matanya masih menatap tajam wajah Naila. Sesaat, tatapannya kembali jatuh pada Ilham, yang balas menatapnya dengan mata polos, mata yang sama dengan Rasya puluhan tahun lalu.
Hening sejenak. Lalu Abi Ali menarik tongkatnya, menepis pegangan Rasya. Ia menggerakkan bahu, mendesah berat.
“Baik.” Suaranya pelan, tapi dinginnya menusuk. “Bawa mereka masuk. Kalau kata-katamu tak masuk akal, Rasya, mulai malam ini, kau bukan Gus Rasya di pesantren ini lagi.”
Rasya menunduk. “Baik, Abi.”
Ia meraih bahu Naila, membisik pelan. “Ayo, Nai. Masuk dulu.”
Setelah keempat orang itu masuk me dalam, tak ada satupun dari mereka yang bersuara. Hanya detak jam dinding yang terdengar membuat napas Rasya dan Naila tertahan di udara.
Naila duduk di kursi rotan tua, meremas tangan Ilham yang setengah mengantuk di pangkuannya. Rasya duduk di depan Abi Ali, menunduk, menahan getar di d**a yang semakin liar memukul tulang rusuknya.
Abi Ali bersandar di sandaran kursi, tongkat kayu bertumpu di paha, matanya menatap Rasya seperti musuh yang ingin dia habisi.
“Sekarang jelaskan, Rasya,” suara Abi Ali dingin. “Siapa anak itu? Siapa wanita itu? Jangan main-main lagi dengan nama baik keluarga ini. Apalagi sampai memiliki anak di luar nikah!”
Rasya menarik napas panjang. Dadanya naik turun, tangan kirinya meremas ujung sorban di bahu.
“Abi…” Ia menatap ayahnya perlahan, matanya bergetar. “Ilham … Ilham adalah putra kandung saya. Dan Naila … dia … dia istri saya. Istri sah saya.”
Naila menunduk makin dalam. Ilham hanya menatap Rasya dengan mata polos, seolah berusaha mengerti arti kata-kata yang diucapkan oleh ayahnya itu.
Abi Ali mengetukkan tongkat ke lantai. Tok! Tok! Tok! Gema kayu itu membuat d**a Naila makin berdesir. Sorot mata Abi Ali pindah ke Naila seolah menelanjangi tubuhnya meski sudah tertutup rapat.
“Jadi kamu …” Abi Ali mendesis. “Kamu wanita malam itu? Wanita yang mampu membuat putraku melanggar syariat agama?!”
Naila tak mampu menjawab. Bahunya bergetar, tapi tak ada suara keluar. Rasya segera bicara, menangkup tangannya di depan d**a.
“Abi, jangan salahkan Naila. Rasya tidak pernah sekalipun melanggar syariat. Rasya menikahi Naila, Abi. Memang hanya secara diam-diam … hanya ijab qabul, tapi dengan penghulu resmi. Dan itu sah, Abi. Sah di mata Allah. Tidak ada perzinahan. Tidak ada aib seperti yang Abi kira.”
Abi Ali mendesis, tangannya menepuk sandaran kursi. “Berani kamu melawan Abi, Rasya! Kalau kau memang sudah menikahi dia, kenapa kau tinggalkan dia dulu? Kenapa anak ini tak pernah kau bawa pulang?”
Rasya menunduk. Suaranya pecah, matanya berkaca. “Karena Abi yang melarang saya … Abi tak mau nama pesantren ini tercemar. Abi takut nama baik Abi jatuh hanya karena memiliki menantu yang punya masa lalu kelam. Rasya lemah waktu itu, Abi. Rasya meninggalkan Naila demi restu Abi. Tapi lihat sekarang … Ilham butuh Rasya. Dan Rasya juga butuh Naila.”
Abi Ali berdiri. Tongkatnya nyaris jatuh, tangannya bergetar menahan amarah yang mendidih di ubun-ubun.
“Kalau kau mau menebus salahmu, tinggalkan wanita ini, Rasya!” Suaranya menggema, menusuk gendang telinga Naila yang makin menunduk. “Tinggalkan dia di tempat dia pantas berada! Bawa anakmu ke pendopo. Biar dia tinggal bersamaku. Biar aku didik dia jadi penerusmu, tanpa bau aib ibunya!”
Rasya menggeleng pelan, tapi pasti. Suaranya lirih, tapi menggigit, menembus ruangan kecil itu seperti pisau tajam.
“Tidak, Abi. Rasya tidak akan meninggalkan Naila lagi. Tidak untuk kedua kalinya.”
Abi Ali terdiam. Matanya menyala, tapi Rasya terus bicara, nadanya rendah, nyaris tak terdengar.
“Bukankah Allah menilai seseorang dari hati dan ibadahnya, Abi? Bukan masa lalunya. Bukan aibnya. Naila sudah berubah. Saya bersaksi dia lebih mulia dari banyak orang di luar sana. Lalu kenapa Abi jadi seperti ini? Kenapa Abi menutup pintu taubat seseorang? Bukankah pesantren ini mengajarkan rahmat, Abi?”