“Dari mana saja kau dan Mama? Kenapa baru pulang?” tanya Lutfi dengan tatapan sinis begitu Aleana menutup pintu. Pria itu masih mengenakan setelan kantornya tengah duduk di sofa ruang tamu seraya bersedekap.
“Mas,” sapa Aleana seraya tersenyum. Ia lalu melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul 8 malam. “Kenapa tidak menyalakan lampu? Oh, iya. Mas sudah makan malam? Kalau belum Alea bu-”
“Dari mana kau?” potong Lutfi.
“Aku dan Mama hanya jalan-jalan dan membeli beberapa pakaian. Alea juga beli beberapa untuk Mas. Ini, Alea me-”
“Tidak usah basa-basi,” potong Lutfi. “Kenapa kau tidak memberitahuku kalau Mama datang ke Jakarta?” tanyanya dengan tatapan tajam yang membuat Aleana menciut.
“Maaf, Mas. Kemarin Mas pulang larut malam dan pagi ini Mas pergi pagi-pagi sekali, jadi Alea lupa memberitahu Mas kalau Mama datang ke Jakarta,” jelas Aleana.
“Oh! Jadi, sekarang kau sudah bisa menyangkal dan menyalahkanku, ya?!” tukas Lutfi dengan sedikit bentakan hingga membuat Aleana semakin takut.
“Maaf, Mas. Alea hanya mengatakan yang sebenarnya,” ucap Aleana.
“Kau masih berani membalas ucapanku?!” bentak Lutfi kemudian berdiri dari duduknya lalu melangkah ke arah Aleana yang tidak bergeming di tempatnya dengan kepala menunduk.
“Coba kau bilang sekali!” bentak Lutfi. “Ayo, bilang sekali lagi yang kau katakan tadi! BILANG!” teriaknya.
Tanpa aba-aba, tangan Lutfi langsung melayang dan mendarat tepat di pipi Aleana hingga membuat wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. Seketika, Aleana merasa jantungnya seperti ditikam oleh benda tajam. Terasa nyeri hingga membuatnya sesak.
“Dasar istri tidak berguna!” cela Lutfi kemudian beranjak dari sana menuju ke luar rumah. Entah ke mana pria itu akan pergi di jam seperti ini. Yang terakhir Alea dengar sebelum isak tangis keluar dari bibirnya adalah suara mobil Lutfi yang menjauh dari rumah mereka.
Di dalam kegelapan ruang tamu malam itu, Aleana hanya bisa terduduk di lantai marmer dingin dengan isak tangis yang keluar dari bibirnya tanpa henti. Isak tangis yang kini berubah menjadi raungan yang memecah kesunyian.
Raungan yang mampu membuat siapa pun yang mendengarnya akan merasakan sakit yang sama. Pedih. Aleana merasa pedih di hatinya.
Ia tahu, kalau apa yang terjadi hari ini adalah kesalahannya. Ini karena ia tak berhasil memberikan anak untuk Lutfi. Andai saja ia bisa mengandung. Andai saja ia bisa memberikan keturunan pada Lutfi. Mungkin ... mungkin kejadian seperti ini tidak akan terjadi. Mungkin, mereka akan hidup bahagia bersama anak mereka.
Ini semua salahnya. Ia telah gagal menjadi seorang wanita. Ia telah gagal sebagai seorang istri. Lutfi benar, ia adalah istri yang tak berguna.
Dan mungkin karena kesalahannya itulah yang memicu Lutfi untuk pertama kalinya dalam hubungan mereka selama hampir 10 tahun, pria itu sampai menamparnya. Sekarang, bukan hanya batinnya yang pria itu sakiti, tapi juga fisiknya. Sungguh, hatinya terasa sangat sakit.
Ia pikir, saat ini Lutfi hanya sedang bertingkah seperti anak-anak yang sedang memberontak pada orang tuanya. Tapi, sepertinya ia salah. Pria itu tak sedang memberontak. Pria itu sedang memberinya kesempatan untuk ... pergi.
Kini, ia bisa melihat lubang yang sangat tinggi di antara ia dan Lutfi dengan sangat jelas.
Dinding yang entah sejak kapan dibangun dan memberikan jarak di antara mereka.
Dinding yang semakin hari kian meninggi.
-------
Di lain sisi, Lutfi yang sejak tadi mengendarai mobilnya selama berjam-jam untuk mengelilingi kota Jakarta, kini berhenti di sebuah taman yang sudah sangat sepi. Wajar saja jika sudah tak ada orang di taman tersebut. Sekarang sudah jam 11 malam.
Waktu di mana orang-orang sudah tak berminat lagi untuk menghabiskan waktu di taman. Kecuali, satu orang tentu saja. Dan orang itu adalah pria yang baru saja duduk di salah satu bangku taman yang terasa dingin.
Selama beberapa saat, Lutfi hanya membisu di tempatnya. Terdiam sambil termenung seorang diri. Hingga beberapa saat kemudian, ia mengusap wajahnya kasar kemudian mengatupkan kedua tangannya di depan wajahnya.
Setelahnya, Lutfi menatap tangannya. Tangan yang ia gunakan untuk menampar Aleana. Tangan yang telah berhasil menyakiti istrinya. Lutfi sendiri pun tak menyangka kalau ia akan menampar Aleana. Ia bahkan masih bisa merasakan betapa keras tangannya menampar pipi Aleana hingga wanita itu terjatuh ke lantai.
Entah mengapa, ia kehilangan kendali dan tanpa pikir panjang langsung menampar Aleana begitu saja. Padahal selama ini ia selalu bisa mengontrol emosinya dengan baik. Tapi kali ini, ucapan Aleana yang menyalahkannya benar-benar melukai harga dirinya sebagai pria. Atau bisa dibilang, ia tak ingin mengakui bahwa ucapan Aleana memang benar adanya.
Ia-lah yang setiap hari pulang larut malam. Ia-lah yang setiap hari pergi pagi-pagi dengan terburu-buru. Ia-lah yang selalu menghindar agar tak bertemu dengan Aleana. Ia-lah yang tidak pernah memberikan Aleana kesempatan untuk bicara dengannya.
Ia-lah yang melakukan semua hal buruk itu. Dan dengan tak tahu dirinya, ia justru melimpahkan semua kesalahan pada Aleana hanya karena harga dirinya terluka. Alasan terburuk yang pernah Lutfi gunakan sebagai pengecut.
Namun anehnya, ia tak merasa menyesal sama sekali. Tak ada rasa penyesalan yang ia rasakan setelah menampar Aleana. Ia hanya merasa ... entahlah, ia sendiri juga bingung terhadap dirinya sendiri.
Apa kini ... perasaannya telah mati untuk Aleana? Apa kini ... ia tak mencintai wanita itu lagi?
Entah apa yang merasukinya hingga tiba-tiba saja ia berpikir seperti itu. Tapi, ia tak memiliki alasan lain lagi selain bahwa ia tidak mencintai Aleana lagi. Perasaannya telah beku untuk Aleana.
Drt... Drt... Drt...
Lamunan Lutfi buyar ketika merasakan ponsel yang berada di saku jasnya. Tanpa menunggu lama, ia pun mengambil ponselnya dan melihat nama Gilang tertera di sana. Ia lantas segera menjawab panggilan tersebut. Dan yang pertama kali ia dengar adalah suara dentuman musik yang sangat memekakan telinga hingga membuat Lutfi menjauhkan ponselnya dari telinganya.
“Apa?” tanya Lutfi tanpa basa-basi. Ia sedang tak mood untuk melakukan itu sekarang.
“Yo, Bro! Kau di mana?” teriak Gilang yang lagi-lagi menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Ada apa?” tanya Lutfi mengabaikan pertanyaan Gilang.
“Ketus sekali,” ledek Gilang.
“Langsung saja. Kenapa kau meneleponku?”
“Aku ada di Red Club. Datanglah ke sini dan bersenang-senang!”
“Tidak.”
“Apa?! Tidak? Kenapa? Ayolah! Datang dan bersenang-senang denganku! Banyak wanita cantik di sini! Wohooo!”
“Aku sedang tidak mood datang ke tempat itu.”
“Ayolah! Jangan seperti wanita yang moody-an. Cepat datang ke sini! Aku akan menunggumu!”
Setelahnya, Gilang langsung memutuskan sambungan teleponnya begitu saja tanpa mendengar jawaban Lutfi membuat pria itu menghela napas panjang seraya mengusap wajahnya dengan kasar.
Ia benar-benar sedang tidak ingin pergi ke tempat seperti itu sekarang. Perasaannya sedang tidak baik. Yang ia butuhkan hanyalah ketenangan. Ketenangan untuk berpikir jernih. Tapi, ia juga tidak bisa menolak permintaan satu-satunya sahabat yang ia miliki. Satu-satunya orang yang mau mendengar keluh kesahnya.
Dan dengan satu helaan napas panjang, Lutfi lalu berdiri dari duduknya dan memutuskan untuk pergi ke club sesuai permintaan Gilang.
-------
Mata Lutfi menyipit mencari keberadaan Gilang di tengah keremangan lampu club, serta dentuman musik yang sangat keras juga orang-orang yang menari di dance floor hingga membuatnya sedikit kesulitan untuk menemukan Gilang.
Hingga tak lama kemudian, akhirnya ia menemukan sahabatnya itu sedang duduk bersama dua orang wanita berpakaian minim yang menemani di kedua sisinya seraya menggerayangi tubuh pria itu. Tanpa menunggu lama, Lutfi langsung melangkah ke arah Gilang berada.
“Oh! Kau sudah datang?!” teriak Gilang bahagia.
“Ya,” jawab Lutfi acuh seraya duduk di ujung sofa yang melingkar. Sisi yang cukup berjauhan dengan Gilang dan kedua wanita yang menemani pria itu.
“Kenapa kau duduk di sana?” tanya Gilang.
“Memang aku harus duduk di mana?” ketus Lutfi kemudian menuang minuman ke sebuah gelas kosong membuat Gilang mendecak kesal.
“Ada apa lagi denganmmu hari ini?” tanya Gilang yang tak dijawab oleh Lutfi. “Istrimu?” tebaknya tepat sasaran.
“Sudah kubilang, ceraikan saja dia. Dia hanya menjadi beban untukmu. Lihat! Sekarang kau bahkan tidak bisa bersenang-senang lagi seperti dulu,” tandasnya yang lagi-lagi tak mendapat balasan dari Lutfi. Pria itu hanya diam dengan tatapan kosong.
“Baiklah, baiklah. Terserah kau saja. Aku menyerah dengan kehidupan rumah tanggamu. Kau urus saja sendiri. Dasar keras kepala,” dengus Gilang yang sudah tak tahan dengan sikap Lutfi yang menurutnya sudah tak asyik lagi seperti dulu.
Padahal sebelumnya, Lutfi masih bisa bersenang-senang dengannya, bermain bersama wanita-wanita seksi. Tapi, semenjak Lutfi mengeluh tentang pernikahannya yang sudah cukup lama tanpa kehadiran seorang anak, pria itu jadi pendiam dan lebih banyak mengeluh tentang anak, istri, anak, istri, dan begitu seterusnya dengan pola yang sama.
“Aku menamparnya,” ucap Lutfi seraya menggoyang-goyangkan gelasnya.
“Apa?” teriak Gilang yang tak mendengar jelas suara Lutfi karena suara musik yang terlalu keras.
“Sebelum datang ke sini, aku menampar Alea,” ucap Lutfi yang membuat Gilang membisu.
Beberapa saat kemudian, Gilang pun memberi kode pada kedua wanita di sampingnya untuk pergi. Bagaimanapun, ia bisa memilah mana masalah bisa dibicarakan saat ada orang lain dan mana yang hanya bisa dibicarakan saat berdua.
Dan lagi, sepertinya suasana hati Lutfi memang benar-benar tidak baik. Terlebih saat pria itu mengatakan telah menampar istrinya. Istri yang dia cintai setengah mati. Istri yang bahkan tak tega untuk ia sakiti.
“Apa yang terjadi?” tanya Gilang seraya memajukan sedikit tubuhnya ke arah Lutfi yang masih termenung.
Tak lama kemudian, Lutfi kembali melihat tangannya yang ia gunakan untuk menampar Aleana tadi. Senyum mengejek lantas terulas di wajahnya membuat Gilang bingung.
“Kau tahu? Tangan ini ... tangan ini telah sangat lancang menampar wajah Alea,” ucap Lutfi dengan nada mengejek.
“Dan mulut ini ...,” ujarnya seraya menyentuh bibirnya. “Mulut ini tanpa tahu malu telah berani menghina Alea. Sangat lucu, ‘kan?” Setelahnya, sebuah tawa terbahak-bahak keluar dari bibir Lutfi. Lebih tepatnya, tawa mengejek yang dipaksakan.
“Lutfi,” panggil Gilang yang diabaikan oleh Lutfi yang masih tertawa terbahak-bahak seperti orang yang kerasukan. Selama bertahun-tahun ia mengenal Lutfi, belum pernah ia melihat pria itu seperti sekarang.
“Lutfi, kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir yang lagi-lagi diabaikan oleh Lutfi. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk membiarkan Lutfi melakukan apa yang saat ini pria itu lakukan. Hingga tak lama kemudian, tawa Lutfi berhenti dan pria itu kembali termenung. Membuat Gilang tak mengerti lagi harus melakukan apa pada pria di hadapannya ini.
Sampai tak lama kemudian, seorang wanita datang dan duduk di samping Lutfi. Awalnya, Lutfi tak menghiraukan wanita itu. Hingga wanita tersebut menyapanya terlebih dahulu.
“Hai,” sapa wanita itu. Lutfi lantas menoleh dan melihat wanita itu tengah tersenyum menggoda padanya. “Aku baru melihatmu di sini, apa kamu pengunjung baru di bar ini?” tanyanya yang diabaikan oleh Lutfi.
“Tidak, Nona. Kami juga pengunjung lama di bar ini,” sahut Gilang yang dibalas senyuman oleh wanita itu.
“Namaku Caroline,” ucap wanita bernama Caroline tersebut pada Lutfi yang lagi-lagi diabaikan oleh pria itu membuat Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku Gilang dan dia Lutfi,” sahut Gilang lagi. “Omong-omong, namamu sangat cantik, Nona,” pujinya.
“Terima kasih,” ucap Caroline. “Tapi, apa kau bisa meninggalkan kami?” tanyanya membuat Gilang sedikit terkejut dengan keberanian wanita itu.
“Oh! Tentu. Dengan senang hati,” ujar Gilang seraya tersenyum. Ia lantas berdiri dari duduknya lalu berbisik pada Lutfi.
“Bersikap baiklah, Bro. Sepertinya dia menyukaimu. Lupakan dulu istrimu dan bersenang-senanglah malam ini,” bisiknya kemudian beranjak dari sana, meninggalkan Lutfi dan Caroline.
Ia pikir, sepertinya ini adalah langkah terbaik yang ia lakukan. Lutfi tak hanya membutuhkan hiburan verbal saat ini. Tapi, pria itu juga membutuhkan hiburan fisik. Dan menurutnya, inilah waktu yang tepat baginya untuk memberikan hiburan itu pada sahabatnya.
“Sepertinya kamu sedang memiliki masalah,” tebak Caroline yang diabaikan oleh Lutfi.
Caroline yang diabaikan seperti itu tak lantas membuatnya menyerah. Ia justru merasa tertantang. Sebelah tangannya pun terulur memegang bahu Lutfi dengan lembut membuat pria itu melirik tangannya.
“Kamu boleh cerita padaku jika kamu sedang memiliki masalah. Aku siap mendengarkan keluh kesahmu,” bisik Caroline dengan nada s*****l di telinga Lutfi. Tangannya pun tak berhenti mengusap pundak pria itu.
Lutfi lantas melirik tangan Caroline yang berada di pundaknya. Setelahnya, tatapan Lutfi beralih pada Caroline yang tengah tersenyum di sampingnya.
-------
Love you guys~