Sejak Lutfi pergi dari rumah tempo hari setelah perdebatan mereka, pria itu sudah sangat jarang pulang ke rumah. Sekalipun pulang, Lutfi hanya mengambil pakaian atau barang lainnya.
Mengabaikan keberadaan Aleana walaupun wanita itu terus mengajaknya berbicara atau sekadar bertanya mengenai keadaan pria itu. Pria itu bahkan tak mau menjawab panggilan atau pun membalas pesannya.
Diperlakukan seperti itu tentu saja membuat perasaan Aleana terluka. Ia yang dulunya selalu menerima cinta dari Lutfi, kini merasa kehilangan cinta itu. Ia yang dulunya menerima tatapan hangat dari Lutfi, kini menerima tatapan dingin dari pria itu.
Aleana lantas kembali teringat oleh wejangan Ibu mertuanya bahwa sebesar apa pun masalahnya, mereka harus bisa menyelesaikannya dengan kepala dingin. Tapi, bagaimana mereka bisa menyelesaikannya kalau Lutfi saja hampir tidak pernah pulang ke rumah? Sekalipun pria itu pulang, ia hanya akan menjadi patung hidup tanpa nama di mata Lutfi.
Menghela napas panjang, Aleana membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur dengan posisi meringkuk. Menatap langit yang tampak mendung seperti hatinya sekarang melalui jendela.
Tidak! Ia tidak boleh menyerah. Ia harus terus bertahan dan berusaha untuk berbicara dengan Lutfi. Bagaimanapun, masalah mereka harus bisa terselesaikan. Mereka tidak bisa menjalani kehidupan rumah tangga seperti ini terus. Situasi mereka sekarang bahkan tak bisa disebut kehidupan rumah tangga. Terasa sangat dingin, hampa, dan kosong.
Beberapa saat kemudian, Aleana beranjak dari tempat tidur lalu bergegas mencari ponselnya yang ternyata berada di dapur. Tanpa menunggu lama, ia langsung mengetik pesan kemudian mengirimnya pada Lutfi.
***
To : Suamiku Tersayang
Mas Lutfi kapan pulang?
Ada yang ingin Alea bicarakan sama Mas.
Kita bisa ketemu di luar kalau Mas Lutfi mau.
Tolong balas pesan Alea kalau Mas sudah baca pesan ini.
Alea mohon.
***
Setelah mengirim pesan tersebut, Aleana kembali menghela napas seraya meletakkan ponselnya di atas meja makan dengan perasaan campur aduk. Saat ini, ia hanya bisa berharap kalau kali ini Lutfi berkenan membalas pesannya. Walaupun hanya satu kata, itu sudah cukup baginya.
Namun, jika Lutfi tak juga membalas pesannya, ia tak tahu lagi harus melakukan apa agar bisa memperbaiki rumah tangga mereka yang telah hampir retak.
-------
Dzt. Dzt.
Lutfi mengambil ponsel yang terletak di atas meja kerjanya ketika merasa benda itu bergetar. Keningnya lantas mengerut ketika lagi-lagi ia mendapat pesan dari Aleana. Hingga ia memutuskan untuk mengabaikan pesan yang bahkan belum ia baca tersebut dan kembali meletakkan ponselnya di atas meja.
Setelahnya, Lutfi kembali memfokuskan pandangannya pada sebuah berkas yang ada di hadapannya. Akan tetapi, hal itu tak berlangsung lama. Pasalnya, matanya berkali-kali melirik ke arah ponselnya yang berada di ujung meja.
Tak bisa menahan dirinya, ia pun kembali mengambil ponselnya lalu membuka pesan terakhir yang Aleana kirim padanya. Keningnya lantas kembali mengerut ketika membaca pesan tersebut. Setelahnya ia pun memutuskan untuk membalas pesan itu.
***
To : Aleana
Besok.
***
Begitu pesan tersebut terkirim, pintu ruangan Lutfi dibuka tanpa diketuk lebih dulu. Seketika Lutfi menghela napas panjang ketika melihat sang pelaku yang tak lain adalah Caroline. Ia pun langsung meletakkan ponselnya di dalam laci mejanya.
Bukan hanya sekali Caroline mengunjungi Lutfi di kantor pria itu. Dan seperti biasa, wanita itu datang dengan pakaian ketat, minim, dan terbuka hingga memperlihatkan kemolekan tubuhnya yang seperti gitar Spanyol. Tak tanggung, hal itu membuat Caroline menjadi pusat perhatian para karyawan yang melihatnya.
Satu hal lagi yang berubah sejak Lutfi pergi dari rumah tempo hari. Pria itu jadi memiliki hubungan yang sedikit lebih dekat dengan Caroline. Wanita itu pula yang selama ini menemani dan menghibur Lutfi. Entah sejak kapan dan bagaimana Lutfi mulai bermain dengan Caroline. Tapi yang pasti, Lutfi merasa tenang dan gembira saat menghabiskan waktu bersama wanita itu.
“Sudah kubilang jangan menemuiku di kantor,” tegur Lutfi seraya bersedekap, menatap Caroline yang melangkah mendekatinya.
“Aku merindukanmu,” ucap Caroline manja seraya duduk di pangkuan Lutfi dan memeluk leher pria itu.
“Kau bisa menungguku di apartemen-mu,” ujar Lutfi yang membuat Caroline menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu tahu, aku tidak suka menunggu,” elak Caroline.
“Belajarlah untuk menunggu. Karena, aku tidak bisa selalu menemanimu setiap saat,” ucap Lutfi.
“Kenapa tidak? Sekarang saja kita sudah bersama,” ujar Caroline.
“Carl, sekali saja jangan membantah ucapanku,” tegur Lutfi yang membuat Caroline mendecak.
“Cih! Padahal aku datang untuk memberitahumu kabar bahagia,” ucap Caroline mencebik seraya melepaskan pelukannya dari leher Lutfi lalu bersedekap. Ia bahkan mengalihkan wajahnya dari pria itu.
“Kabar bahagia?” tanya Lutfi seraya mengangkat sebelah alisnya. Namun, Caroline tak membalas pertanyaan Lutfi dan mengabaikan pria itu.
“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Lutfi yang kembali diabaikan oleh Caroline yang masih ngambek padanya. Tak kehabisan akal, Lutfi langsung memeluk pinggang Caroline lalu menarik wanita itu ke dekapannya membuat Caroline menahan senyumnya.
“Katakan. Apa kabar bahagia yang kau maksud?” tanya Lutfi.
Selama beberapa saat, Caroline terdiam sebelum akhirnya tersenyum manis pada Lutfi. Setelahnya, Caroline mendekatkan wajahnya ke telinga Lutfi kemudian membisikkan sesuatu pada pria itu.
“...,” bisik Caroline.
Mata Lutfi sontak membelalak ketika mendengar bisikan Caroline. Entah mengapa, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Perasaannya campur aduk. Ia tak tahu harus memberikan respons seperti apa pada Caroline yang saat ini menatapnya dengan tatapan bahagia serta senyum yang tak pernah luntur dari wajahnya.
Ia bahkan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
-------
Senyum di wajah Aleana tak pernah luntur sejak malam berganti pagi. Dengan hati riang, Aleana memasak makan siang untuk hari ini. Bagaimana tidak? Kemarin, Lutfi membalas pesannya yang mengatakan bahwa pria itu akan pulang hari ini. Hingga membuatnya tak sabar untuk menanti kepulangan pria itu.
Meskipun ia tak tahu jam berapa pastinya Lutfi akan pulang hari ini. Tapi, ia tetap ingin mempersiapkan makan siang kalau-kalau pria itu pulang siang ini. Tak hanya makan siang, ia juga akan menyiapkan makan malam dengan sepenuh hati. Ia ingin suaminya menikmati masakannya seperti dulu lagi.
Membayangkan kalau mereka akan makan berdua lagi membuat jantung Aleana berdegup kencang. Padahal, ini bukan kali pertama mereka akan makan bersama. Tapi, entah mengapa ia merasa sangat senang dan tak sabar hingga Lutfi pulang ke rumah.
Pagi berganti siang dan masakan Aleana akhirnya selesai. Selama hampir 3 jam Aleana menunggu kepulangan Lutfi yang tak kunjung datang juga. Hingga membuat Aleana tampak sedih dan harus makan sendirian siang ini.
Tak putus asa, Aleana kembali memasak makanan untuk makan malam dengan harapan bahwa kali ini ia bisa makan malam bersama suaminya. Hingga tak terasa, siang berganti malam dan Lutfi tak kunjung pulang.
Untuk kesekian kalinya, Aleana menatap jam yang telah menunjukkan pukul 9 malam dan membuat harapan kecil Aleana menjadi pupus. Pandangannya lalu beralih pada makanan di atas meja yang sudah pasti telah dingin. Ia bahkan sengaja menahan lapar untuk menunggu Lutfi pulang.
Selama beberapa saat, Aleana hanya membisu di kursi makan sembari menatap masakannya dengan sedih. Sesekali, ia akan menatap pintu dan berharap kalau Lutfi akan segera membuka pintu itu lalu menemaninya makan malam.
Namun, sepertinya harapan Aleana kembali harus pupus ketika melihat jam telah menunjukkan pukul 11 malam dan nafsu makannya pun telah hilang. Ia lantas menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang mulai tergenang di matanya.
Setelah cukup meratapi makanan yang ada di hadapannya, akhirnya Aleana memutuskan untuk beranjak dari meja makan. Sampai ia mendengar suara mobil yang berhenti di depan rumahnya. Yang tak lama kemudian, pintu rumahnya pun terbuka dan Lutfi masuk ke dalam.
Hal itu sontak membuat senyum Aleana kembali terulas. Tanpa menunggu lama, ia langsung menghampiri Lutfi yang masih mengenakan setelan jasnya dengan perasaan bahagia.
“Mas Lutfi sudah pulang?” sambut Aleana yang diabaikan oleh Lutfi yang meneruskan langkahnya dan duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan datar pada sang istri.
“Mas sudah makan malam? Kalau belum, Mas boleh makan dulu. Alea sudah masak makanan kesukaan Mas,” tawar Aleana.
“Langsung saja. Apa yang mau kau katakan?” tanya Lutfi tanpa basa-basi yang membuat Aleana terdiam. “Cepat katakan apa yang ingin kau bicarakan denganku. Aku harus pergi setelah ini,” pintanya yang membuat Aleana tersentak.
“Mas mau pergi? Ke mana? Kenapa Mas tidak tidur di rumah saja? Sudah lama Mas tidak tidur di rumah,” tanya Aleana seraya duduk di sofa yang ada di sisi kanan Lutfi.
“Sudah kubilang berhenti mengurusi urusanku,” ucap Lutfi. “Kalau tidak ada yang ingin kau katakan, aku pergi sekarang,” putusnya yang langsung berdiri dari duduknya.
Namun, dengan segera Aleana menahan lengan Lutfi sebelum pria itu beranjak dari sana. Setelahnya, Lutfi kembali duduk di sofa seraya melepas tangan Aleana darinya.
“Cepat katakan. Waktuku bukan hanya untukmu,” pinta Lutfi dingin.
Aleana lantas mengatupkan kedua tangan di atas pahanya untuk menetralisir rasa gugup sekaligus rasa sedih yang ia rasakan. Tak hanya itu, ia juga menggigit bibir bawahnya sembari memikirkan kalimat apa yang harus ia keluar lebih dulu. Apa yang harus ia katakan agar ia bisa memperbaiki semuanya dan kembali seperti dulu lagi.
“Mas ...,” ucap Aleana dengan kepala yang menunduk. “Kenapa sikap Mas pada Alea selama beberapa bulan ini berubah? Mas jadi sering pulang larut malam, membentak dan bersikap dingin pada Alea?” tanyanya.
“Kau masih mempertanyakan hal itu?” sinis Lutfi.
“Alea hanya ingin mendengar jawabannya dari Mas Lutfi agar Alea bisa berubah. Alea ingin memperbaiki hubungan kita dan kembali seperti dulu. Alea ingin Mas Lutfi kembali lagi ke rumah bersama Alea,” ujar Aleana.
“Tidak ada yang bisa kau ubah Aleana,” tukas Lutfi.
“Maksud Mas? Alea tidak mengerti,” tanya Aleana bingung. “Apa yang tidak bisa Alea ubah? Alea bisa berubah Mas? Mas hanya perlu bilang apa yang Mas tidak suka dari Alea? Alea akan berubah demi Mas, demi hubungan kita.”
“Kau benar-benar bodoh? Kenapa kau masih tidak mengerti juga? Aku ingin menginginkan anak Aleana. Aku ingin memiliki anak dan kau tidak bisa memberikannya padaku. Aku juga ingin menggendong anakku. Aku ingin dipanggil Ayah oleh anakku seperti suami pada umumnya. Sudah 7 tahun lebih kita menikah, tapi kau tidak kunjung mengandung dan memberiku anak. Itulah kenyataan yang tak bisa kau ubah, Aleana. Karena itu, kau tidak perlu mengubah apa pun. Kau tidak perlu berusaha untuk memperbaiki hubungan kita. Kau tidak perlu melakukan apa pun,” ungkap Lutfi dengan sedikit membentak.
Tak hanya Lutfi, Aleana sendiri juga menginginkan hal itu. Ia ingin mengandung, melahirkan anak yang akan memanggilnya dengan panggilan ‘Ibu’. Ia ingin menyuapi anaknya saat makan. Ia ingin mengantar anaknya ke sekolah. Ia ingin bermain bersama anaknya. Tapi, ia juga tak bisa melakukan apa-apa. Tuhan masih belum memberinya kepercayaan untuk mengandung dan melahirkan anak.
Seketika Aleana membisu mendengar ucapan Lutfi seraya meremas tangannya dengan erat. Padahal ia sudah menyiapkan dirinya jika pria itu kembali menancapkan pisau di hatinya. Tapi pada akhirnya, ia tetap merasa nyeri di dadanya.
Hingga perlahan, air mata mulai menggenang di matanya. Hanya tinggal sekali kedip saja, air mata itu akan lolos dari mata Aleana. Maka dari itu, dengan sebisa mungkin Aleana menahan matanya agar tidak berkedip. Ia takut kalau air matanya akan membuat Lutfi marah dan langsung pergi meninggalkannya.
Ia bahkan tak tahu harus mengatakan apa sekarang. Seketika, pikirannya terasa kosong. Lidahnya terasa kelu bahkan hanya untuk mengatakan satu kata. Bahkan sepertinya, apa pun yang akan ia katakan tidak akan mampu mengubah semuanya. Sampai suara Lutfi kembali terdengar.
“Lebih baik ... kita bercerai saja Aleana,” putus Lutfi.
-------
Love you guys~