Chapter 8

2196 Kata
Pagi ini, Aleana membuka matanya dengan perlahan ketika matahari pagi yang menembus jendela menyinari wajahnya. Seketika, ia bangun dari tidurnya saat menyadari bahwa ia tertidur di sofa karena menunggu kepulangan Lutfi. Dan ia ingat bahwa suaminya itu tidak pulang semalam. Ia lalu menatap jam yang telah menunjukkan pukul 8 pagi. “Tidak. Mas Lutfi tidak mungkin tidak pulang,” gumam Aleana. Ia lantas segera turun dari sofa dan beranjak menuju kamar mereka untuk mencari tanda-tanda kepulangan Lutfi. Tempat tidur mereka masih terlihat rapi, kamar mandi masih terlihat kering, di keranjang pakaian kotor pun hanya ada bajunya. Aleana lalu menghela napas seraya duduk di atas tempat tidur. Ternyata, Lutfi memang benar-benar tidak pulang semalam. Biasanya, mau selarut apa pun, pria itu pasti akan pulang ke rumah meskipun dalam keadaan mabuk dan berakhir dengan membentaknya. Tapi kali ini, untuk pertama kalinya Lutfi tidak pulang ke rumah setelah pergi kemarin pagi. “Mas Lutfi di mana?” gumam Aleana kemudian menggigit bibir bawahnya. Mencoba menahan air matanya yang akan keluar. “Apa Mas Lutfi masih lembur di kantor?” Khawatir dengan keadaan Lutfi, ia pun memutuskan untuk menelepon ke kantor pria itu. Aleana lantas menunggu teleponnya dijawab dengan gugup seraya menggigit kukunya. “Selamat pagi. Saya Bunga sekretaris Pak Lutfi. Dengan siapa saya berbicara?” sapa Bunga begitu menjawab panggilan Aleana. “Halo, Bunga. Ini saya, Aleana. Istri Mas Lutfi,” ucap Aleana. “Ah! Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Bunga sopan. “Apa ... Mas Lutfi ada di kantor?” tanya Aleana ragu. “Pak Lutfi belum tiba di kantor, Bu,” jawab Bunga. “Apa kau bisa memeriksa ruangannya? Mungkin saja dia berada di dalam,” pinta Aleana. “Kalau begitu tunggu sebentar, Bu. Saya periksa ruangan Pak Lutfi dulu,” ucap Bunga. “Iya,” ujar Aleana berusaha bersabar. Sampai tak lama kemudian, akhirnya Bunga kembali. “Maaf, Bu. Pak Lutfi juga tidak berada di ruangannya,” lapor Bunga yang sukses membuat Aleana membisu. “Bu?” panggilnya ketika tak mendapat balasan dari Aleana. “Ah! Baiklah. Kalau begitu, apa kau bisa mengabariku kalau Mas Lutfi sudah tiba di kantor?” “Baik, Bu. Saya akan mengabari Ibu begitu Pak Lutfi tiba di kantor.” “Terima kasih, Bunga.” “Sama-sama, Bu,” ucap Bunga. Setelahnya, sambungan telepon mereka pun terputus. Seketika tubuh Aleana terasa lemas. Kalau Lutfi juga tidak berada di kantor, lalu di mana pria itu sekarang? Kenapa suaminya menghilang tanpa ada kabar seperti ini? Tanpa aba-aba, air mata Aleana berhasil lolos dari matanya yang disusul dengan isakan kecil yang keluar dari bibirnya. Dadanya sesak memikirkan keberadaan suaminya semalam. Memikirkan suaminya bersama wanita lain. Membayangkan wanita lain menyentuh tubuh suaminya. Ia tahu tak seharusnya ia berpikiran seperti itu tentang Lutfi. Tapi, hal itu tiba-tiba terlintas begitu saja di benaknya hingga membuatnya mau tak mau menaruh sedikit kepercayaan terhadap pikiran negatif itu. Lama-kelamaan, isakan tangis itu berubah menjadi tangisan histeris. Dadanya terasa sangat sesak sampai membuatnya sulit bernapas. “Mas Lutfi ...,” gumamnya di tengah tangisan dan air mata yang terus mengalir di wajahnya. ------- Lutfi menarik napas dalam kemudian menghembuskannya ketika kesadarannya mulai kembali. Perlahan, matanya terbuka dan langsung berhadapan dengan langit-langit kamar yang tampak asing baginya. Hingga ia sadar bahwa ia tidak berada di kamarnya. Ia lalu melirik ke perutnya, di mana sebuah lengan tengah memeluknya. Sontak, keningnya mengerut melihat tangan tersebut. Ia lantas menoleh ke arah kiri dan seketika tersentak ketika melihat seorang wanita berbaring tanpa busana, sama seperti dirinya. ‘Apa yang terjadi? Di mana ini? Lalu ... siapa wanita ini?’ batin Lutfi merasa bingung. Tak lama kemudian, Lutfi mendengar suara erangan dari wanita yang tengah memeluknya itu. Yang berarti, sebentar lagi wanita itu akan bangun dan ia masih tak ingat apa yang telah terjadi. “Kamu sudah bangun?” Terdengar suara serak wanita yang tak lain adalah Caroline, membuat Lutfi termangu. Ia masih bingung dengan apa yang terjadi. Apa ia baru saja .... Tanpa mengatakan apa-apa, Lutfi langsung menyingkirkan tangan Caroline dari perutnya kemudian bangun dari tidurnya. Menatap Caroline dengan tatapan tajam dan dinginnya. “Siapa kau?” tanya Lutfi dingin. Meski begitu, Caroline tetap merespons pria itu dengan senyuman di wajahnya. Ia lalu mengangkat kepala dan menyangganya menggunakan tangan. “Kamu lupa kegiatan panas kita semalam? Padahal kamu yang bergerak lebih ganas dariku,” tukas Caroline, menatap penuh arti pada Lutfi. Membuat pria itu membisu. Selama beberapa saat, Lutfi hanya bisa terdiam sembari mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Melihat dari mereka berdua yang tidak mengenakan apa-apa, sudah bisa dipastikan kalau mereka telah tidur berdua. Tapi, bagaimana mereka bisa berakhir seperti ini? Sampai sekelebat ingatan mengenai semalam seketika merasuk ke kepalanya. Ia ingat, semalam Caroline menghampiri dan membuatnya mabuk berat. Setelahnya, mereka berciuman dan berakhir di kamar ini. Lutfi lantas merutuki dirinya atas apa yang telah terjadi. Ia telah berkhianat pada Aleana. Istrinya itu pasti telah mencarinya karena tidak pulang semalam. Tanpa menunggu lama, ia lantas segera turun dari tempat tidur dengan wajah masam dan tubuh yang tidak mengenakan apa-apa. Caroline lantas tersenyum melihatnya. “Kamu ingin menggodaku dengan berkeliaran tanpa busana seperti itu?” sahut Caroline yang tak pernah melepaskan tatapannya dari Lutfi yang tengah memungut pakaiannya satu per satu kemudian langsung memakainya. Mengabaikan ucapan dan tatapan Caroline padanya. “Apa ini? Kamu sudah mau pergi?” tanya Caroline sedih yang lagi-lagi diabaikan oleh Lutfi. Setelah mengenakan pakaiannya, Lutfi bergegas untuk pergi dari sana. Namun, sebelum benar-benar keluar dari kamar tersebut, ia menoleh pada Caroline yang terduduk di tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya. “Lupakan semua yang terjadi semalam. Aku mabuk dan melakukannya tanpa sadar,” pinta Lutfi kemudian benar-benar pergi dari sana. Sepeninggal Lutfi, Caroline menampakkan senyum miringnya yang disusul dengan kekehan kecil. Ia lalu menunduk sembari mengusap-usap perut datarnya. “Bagaimana aku bisa melupakannya kalau sebentar lagi anakmu akan lahir dari perutku?” gumam Caroline licik. ------- “ARGH!” teriak Lutfi seraya memukul dinding lift. Ia lalu menjambak rambutnya sendiri dengan sangat kuat. Wajahnya memerah karena amarah yang mulai menguasai dirinya. Untuk pertama kalinya, ia mabuk dan berakhir di atas tempat tidur dengan wanita lain di sampingnya. Memikirkannya saja membuat Lutfi tak tahan. “ARGH! SIAL! SIAL! SIAL!” teriaknya lagi dengan amarah yang benar-benar telah menguasainya. Ting! Begitu pintu lift terbuka, ia pun segera keluar dari sana dan menaiki taksi yang telah tersedia di depan lobi hotel. Setelah menyebut alamatnya, taksi tersebut pun langsung melaju meninggalkan pelataran hotel. Selama perjalanan pulang, Lutfi tak henti-hentinya memikirkan tentang apa yang ia lakukan semalam. Pikirannya menjadi kacau dan tidak tenang. Perasaan bersalah pun menyergap dirinya. Ia lalu memijat keningnya pelan keningnya yang terasa pusing, serta menghela napas berkali-kali hingga membuat sang sopir taksi menjadi bingung. Tak lama kemudian, Lutfi akhirnya tiba di rumahnya. Sebelum masuk ke dalam, pria itu berdiri cukup lama di depan gerbang rumah dan menatap rumahnya selama beberapa saat. Mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Aleana yang sudah pasti akan mengajukan pertanyaan padanya. Setelah menghela napas panjang, ia pun memutuskan untuk masuk ke dalam. Ceklek! “Mas Lutfi?” sambut Aleana yang bergegas keluar dari dapur ketika mendengar suara pintu terbuka. Dan benar saja, saat Aleana tiba di ruang tamu, ia melihat Lutfi yang baru pulang dengan penampilan yang lumayan berantakan. “Mas Lutfi dari mana saja? Kenapa baru pulang?” tanyanya. Sementara Lutfi yang mendapat pertanyaan itu hanya menatap datar Aleana tanpa berniat menjawabnya. Beberapa saat kemudian, ia langsung melangkahkan kakinya menuju kamar dan mengabaikan pertanyaan Aleana. Ia sungguh tak ingin menjawab pertanyaan itu. “Mas? Mas Lutfi? Semalam Mas tidur di mana? Kenapa tidak pulang?” cecar Aleana yang khawatir dan membuat langkah Lutfi yang hendak menaiki tangga seketika berhenti kemudian berbalik pada Aleana. “Apa urusannya denganmu di mana aku tidur semalam?” sinis Lutfi. “Aku istri kamu, Mas. Wajar aku bertanya kalau kamu tidak pulang,” ujar Aleana. “Hah?! Istri? Sekarang kau menyebut dirimu istri? Istri macam apa yang tidak bisa memberikan anak pada suaminya?! Kita sudah menikah selama 7 tahun dan kau masih belum bisa memberikan anak padaku! Apa itu yang disebut istri?!” bentak Lutfi dengan sangat kejamnya hingga mampu menusuk hati Aleana. Sontak membuat Aleana membisu tak bergeming di tempatnya. Tak berani membalas bentakan Lutfi. Karena apa yang pria itu ucapkan memang benar. Sudah cukup lama mereka menikah dan ia tak juga mengandung. Namun, mendengar langsung hal itu dari suaminya membuat d**a Aleana kembali sesak hingga sulit bernapas. Hatinya sangat sakit seakan ada benda tumpul yang menikamnya dari dalam. Rasanya, kalimat apa pun tak mampu untuk menggambarkan sesakit apa yang ia rasakan saat ini. Rasa sakit yang bahkan tak akan bisa dibayangkan oleh orang lain. “ARGH!” teriak Lutfi seraya memukul tembok hingga membuat Aleana yang menunduk tersentak kaget. “Jangan membuatku mengatakan hal-hal yang tak ingin kau dengar, Aleana. Karena itu, berhentilah menggangguku. Berhenti mengurusi urusanku dan uruslah urusanmu sendiri,” pinta Lutfi. “Bagaimana aku bisa melakukan itu, Mas? Kamu suami aku. Aku ti-” “Sudah kubilang berhenti menggangguku! Apa sekarang kau tuli?! Kau bodoh?! HAH?!” bentak Lutfi yang kembali membuat Aleana tersentak hingga sukses membuat air mata mengalir di wajah istrinya. “Dasar tidak berguna!” cela Lutfi kemudian beranjak dari tempatnya dan kembali melangkah keluar dari rumah. “Mas Lutfi? Mas mau ke ma-” BRAK! Belum selesai Aleana bicara, Lutfi telah lebih dulu menutup pintu dengan keras. Hingga membuat Aleana tersentak kaget dengan suara debuman pintu yang terdengar cukup keras. Seketika itu juga tubuh Aleana terjatuh di lantai disertai tangisan yang menyayat hati. Aleana meremas bajunya di bagian d**a dengan sangat erat untuk menahan rasa sakit yang ia rasakan saat ini. Menangis tersedu-sedu, melampiaskan semua rasa sakit yang ia tahan sejak tadi. Perasaannya hancur. Ia merasakan seolah seluruh tubuhnya diremukkan secara perlahan saat mendengar orang yang ia cintai mengatakan kalimat yang ia takutkan. Kalimat yang ia harap tak akan pernah keluar dari bibir pria yang sangat ia cintai. Ia tak peduli jika orang lain yang mengatakan itu padanya. Ia tak peduli jika ribuan bahkan ratusan orang menodongkan pisau padanya. Ditikam berkali-kali pun ia sanggup menahannya. Asal orang itu bukan Lutfi. Ia sanggup menahan setajam apa pun pisau yang ditodongkan padanya. Tapi, ia tak akan sanggup menahan tikaman itu jika pria yang ia cintai juga ikut menodongkan pisau itu padanya. Ia tak sanggup. Rasanya terlalu berat untuk ia tahan sendirian. Seketika hatinya terasa hancur lebur. Rasanya sesak. Sakit. Perih. Dan ... kecewa. ------- “Selamat pagi, Pak,” sapa Bunga sopan ketika melihat Lutfi yang baru tiba di kantor. Ia lantas menatap bingung pada penampilan Lutfi yang tak seperti biasanya. Penampilan pria itu terlihat sangat berantakan. Kemejanya terlihat kusut dengan dua kancing teratas yang tidak dikancing dan tanpa dasi, jas yang hanya dilampirkan di atas pundak, serta rambut yang terlihat awut-awutan. Ia juga dapat menghirup aroma alkohol dari tubuh pria itu. Wajah Lutfi pun tampak muram dan terlihat seperti dipenuhi amarah hingga membuat wajahnya memerah sampai di telinga. Sekali melihatnya pun mampu membuat orang untuk langsung kabur sebelum berpapasan dengannya. Pria itu bahkan mengeluarkan aura yang lebih tajam dari biasanya. Jika Bunga disuruh mendefinisikan aura itu, maka ia akan menggambarkan aura itu sebagai aura membunuh. Aura yang membuat Bunga merinding. “Ah! Aku harus mengabari Bu Alea,” seru Bunga. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung menelepon nomor Aleana untuk melunasi janjinya. Namun, hingga sesi panggilan berakhir pun Aleana tak menjawab panggilannya. Tak menyerah, Bunga kembali mencoba untuk menghubungi Aleana hingga lima kali. Namun, Aleana tetap tak menjawab panggilannya hingga membuat Bunga semakin bingung. Ia lantas menatap teleponnya yang hanya mengeluarkan suara operator jaringan. “Apa yang sedang terjadi?” gumamnya bingung. “Apa mereka sedang bertengkar?” “Pak Lutfi terlihat berantakan seakan ingin memakan orang. Bu Alea tidak menjawab teleponnya, padahal tadi dia memintaku untuk mengabarinya kalau Pak Lutfi sudah datang,” gumamnya lagi bermonolog sendiri dan pusing sendiri. Hingga akhirnya ia menghela napas panjang. “Sebenarnya apa yang terjadi antara suami istri ini?” Sementara itu, Lutfi yang kini telah berada di dalam ruangannya langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa kemudian memejamkan mata seraya meletakkan sebelah lengannya di atas matanya. Saat ini, perasaannya sedang buruk dan tak terkendali. Setelah pergi dari rumah tadi, ia memang memutuskan untuk pergi ke perusahaannya dan mengabaikan tatapan para karyawan yang menatapnya dengan tatapan bingung. Ia tahu, penampilannya saat ini memang tak bisa disebut sebagai penampilan seseorang yang memiliki jabatan tinggi. Ia yang harusnya menjadi panutan para karyawan justru berpenampilan buruk seperti ini. Tapi, ia juga tak memiliki tujuan lain selain perusahaan. Ia tak bisa pergi ke rumah Gilang karena sahabatnya itu pasti sudah berada di kantornya sendiri. Alhasil, di sinilah ia berada sekarang. Di ruangan kantornya untuk melarikan diri dari Aleana seperti seorang pengecut. Ia sengaja pergi dari rumah untuk menghindari pertengakaran dengan Aleana. Ah, tidak. Lebih tepatnya ia sendiri yang selalu memicu pertengkaran itu. Dan meskipun ia sering berkata kasar dan tajam pada wanita itu, tapi ia juga tetap memiliki rasa takut. Ia takut jika ia akan mengatakan sesuatu yang lebih buruk lagi dari biasanya hingga menyakiti Aleana lebih dalam lagi. Bagaimanapun juga, status mereka masih sebagai suami dan istri. Walaupun tanpa sadar, kalimat yang ia takutkan itu telah keluar dari bibirnya dan berhasil menghancurkan perasaan Aleana. ------- Love you guys~
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN