4. Lelaki misterius

1141 Kata
Sampai Jakarta sekitar pukul delapan pagi, dimana kedatangan Mila disambut hangat oleh senyum Talita. Gadis kecil itu tengah duduk bersama seorang lelaki yang sudah menemaninya sejak enam tahun lalu. Dia adalah Tanto, rekan kerjanya dulu saat masih di perusahaan Dirgantara. “Ibu sudah pulang,” tunjuk Tanto ke arah Mila, ia pun menggenggam tangan Talita, menghampirinya. “Ibu,” gadis kecil berambut hitam sebahu itu segera memeluk Mila, seolah sudah lama tidak bertemu. “Gadis ibu apa kabar? Nggak nakal, kan?” bukan hanya Talita, Mila juga kerap merasa rindu meski hanya beberapa jam terpisah. “Baik, Ibu.” Kedua tangan mungil itu memeluk tubuh Mila. “Anak baik,” Mila membalasnya dengan mencium puncak kepala Talita. “Ayo, masuk.” Ajaknya. Secangkir teh panas menjadi teman sebungkus nasi uduk. Porsinya sangat banyak, tapi dijamin, Mila akan menghabiskannya tanpa sisa. “Udah lama? Nggak bilang mau ke sini.” Lelaki di hadapannya tersenyum samar, memperhatikan bagaimana caranya menikmati makanan. Memang sedikit rakus, tapi Mila benar-benar lapar. “Udah bilang, tapi kamu nggak jawab.” “Iya?" Mila mengambil ponsel dalam tas yang sengaja dimatikan. “Oh iya.” Ia melihat banyak pesan masuk, salah satunya dari Tanto. “Hp nya sengaja dimatikan saat jam kerja.” Mila hanya membaca sekilas pesan singkat Tanto, tapi ada nomor baru yang juga mengirimnya pesan. Nomor baru yang tidak dikenal. Ia hanya mengabaikannya saja, kembali fokus pada nasi uduk di hadapannya.. “Masih kerja disana?” Tanya Tanto. “Nggak mau cari kerja yang lain?” “Kerja apa?” Mila balik bertanya. Dalam situasi seperti saat ini, mencari pekerjaan bukanlah perkara mudah, mengingat usianya yang sudah tidak muda lagi, ditambah jejak hitam yang pernah dilakukannya dulu. Mila kesulitan mencari pekerjaan yang dianggap layak, bahkan sampai dia nekat terjun ke dunia hiburan malam pun, bukan keputusan mudah. Ia sudah berada di ujung putus asa. Saat seluruh dunia menghakiminya, atas pilihan yang diambil. Keputusan besar itu adalah Talita. Membesarkan anak tanpa seorang ayah sangat berat, tidak hanya berat dalam mencari nafkah untuk membiayai kehidupannya, juga berat menerima banyak hujatan yang tidak pernah ada hentinya, bahkan sampai saat ini, setelah enam tahun berlalu. “Kalau ada kerjaan yang gajinya besar, bisa bawa anak, dan waktu kerjanya sangat fleksibel, kabari ya.” Mila tersenyum jahil. “Aku mau.” “Ada.” Tanto tersenyum, menyuap nasi uduk kedalam mulutnya. “Jadi istriku. Gajinya nggak besar, tapi cukup untuk membiayai kalian berdua dan juga pengobatan Talita.” Mila menatap ke arah Tanto, sebelum akhirnya tertawa. “Candaan kamu masih aja garing kayak dulu.” Mila mengambil kerupuk milik Tanto. “Menghibur sih! Tapi kasihan aja, beli satu dapat dua.” “Nggak apa-apa, aku mau,” “Kerupuknya nggak mau? Aku ambil kalau gitu.” Mila mengambil nyaris semua kerupuk yang ada di atas piring milik Tanto, hal tersebut dilakukan bukan karena ia masih belum kenyang. Tidak. Mila sudah lebih dari kenyang, hanya saja ia sengaja mengalihkan pembicaraan dengan menganggap ucapan Tanto hanyalah candaan semata. Padahal Mila tahu, yang diucapkan lelaki itu adalah kesungguhan dari lubuk hatinya. Sadar tidak ada tanggapan serius dari Mila, Tato pun hanya menghela lemah. Tapi, ia tidak akan pernah mundur, untuk meyakinkan Mila, bahwa ia benar-benar tulus mencintai wanita itu dan juga Talita. “Kalau ada informasi kerjaan, aku kabari ya. Aku nggak suka kamu ada di lingkungan seperti itu, bikin khawatir terus.” Jujur Tanto “Khawatir aku jual diri?” Mila tersenyum samar. “Aku sudah pernah melakukannya dulu, saat usiaku masih sangat muda bahkan aku sudah mendapatkan hadiah dari perbuatanku dulu.” Mila menoleh ke arah Talita, yang tengah bermain bersama Ibu. “Di usiaku yang sudah berumur ini, aku nggak mungkin melakukan kesalahan yang sama.” “Syukurlah. Tetap hati-hati dan jaga diri, kalau begitu aku pamit pulang.” Mila mengikuti langkah Tanto, menuju pintu gerbang. “Aku belikan sedikit kebutuhan Talita,” Satu tangan Tanto terangkat, saat Mila hendak menyela. “Buat Talita, buka buat kamu. Jadi, nggak ada alasan untuk menolak. Oke?” Mila menghela lemah. “Baiklah, terimakasih.” “Sama-sama. Aku pulang, ya?” Mila mengangguk, melambaikan tangan ke arah Tanto. Mobil yang dikendarai Tanto perlahan meninggalkan area rumah, lalu menghilang dibalik persimpangan jalan. Mila menatap sedih ke arahnya, dimana lelaki itu tidak pernah berubah sejak dulu. Selalu perhatian, bahkan menolongnya tanpa pamrih. Semua yang dilakukan Tanto adalah bukti ketulusan cinta seorang lelaki, sayangnya Mila tidak Bernai membuka hatinya untuk lelaki manapun setelah seorang lelaki b******k menghancurkan hati dan hidupnya hingga tidak tersisa. Karena lelaki itulah ia kerap dihantui trauma. Tidak mau menjalin hubungan baru dan hanya bisa jalan di tempat, bergelut dengan masa lalu. “Istirahatlah, mumpung Talita tidur.” Semalaman Mila belum tidur. Pekerjaan yang mengharuskannya terjaga di waktu orang lain tengah terlelap dalam mimpi. Siang harinya ia tidak bisa tidur dengan tenang, terkadang Talita merajuk dan selalu ingin bersamanya. “Iya. Aku istirahat dulu ya, Bu.” “Iya.” Hari ini lelah yang dirasakan dua kali lipat, sebab ia bekerja di luar kota dan bolak-balik perjalanan di waktu yang sama. Tidak ada jeda istirahat, yang membuat Mila merasa begitu lelah. Tidak membersihkan tubuhnya terlebih dahulu, sebab kantuk dan lelah, serta tempat tidur yang terus melambai ke arahnya, membuat Mila ingin segera merebahkan tubuhnya. Menenangkan otot-otot dalam tubuh, yang terasa begitu tegang. Nyaris tertidur, tapi kedua matanya kembali terbuka saat mendengar suara ponselnya berdering. Awalnya Mila tidak menghiraukan dan lebih memilih untuk tidur saja, tapi suaranya sangat mengganggu. Tidak hanya satu kali, tapi berkali-kali. Dengan kesal dan malas, akhirnya Mila pun mengambil ponsel tersebut dan tanpa ragu menerima panggilan itu. “Halo!” Suaranya begitu nyaring. Sengaja ia melakukan itu, agar seseorang di seberang sana yang menghubunginya tahu, bahwa saat ini Mila dalam keadaan tidak ramah. “Dengan ibu Mila Agnesia.” “Iya, siapa ini? Kalau mau nipu jangan ke saya, Pak. Saya miskin, nggak punya apa-apa. Cari aja orang lain yang bisa bapak tipu!” Akhir-akhir ini marak penipuan berkedok undian yang dilakukan dengan cara menghubungi si calon korban. Mila pun berpikir demikian, orang yang menghubunginya adakah salah satu penipu. “Baiklah kalau begitu, selamat siang.” Ucap si lelaki misterius dari seberang sana. “Dasar penipu!” Umpat Mila, sebelum akhirnya ia memutuskan sambungan secara sepihak. “Ganggu aja!” Kesalnya, karena orang tersebut yang diyakini seorang laki-laki telah mengganggu jadwal istirahatnya yang berharga. Mila kembali merebahkan tubuhnya, hendak melanjutkan tidur tapi hanya selang beberapa detik saja, kedua matanya kembali terbuka saat ia teringat akan sesuatu. Suara lelaki yang baru saja menghubunginya terdengar begitu familiar. Mila menyadarinya, tapi rasanya sangat mustahil. “Nggak mungkin,” ia menggeleng, menepis kemungkinan yang dianggap mustahil olehnya. “Nggak mungkin dia! Nggak mungkin!” Semakin menyangkal, justru semakin meyakinkan bahwa suara lelaki itu adalah suara seseorang yang sangat dibencinya. Mila tidak mungkin salah mendengar, sebab ia masih mengingat segala sesuatu tentang sosok itu. Dimas..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN