"Lain kali jangan diulangi! Teriak-teriak didalam mobil sambil mojok-mojok kalian kira itu baik?!"
"Iya Pak."
"Iyaa...hooam."
Ceye menguap lebar karna sudah menahan kantuk sejak tadi, mereka beneran lagi dikantor polisi di sidang habis-habisan. Apalagi Bapak-bapak didepannya ini tak berhenti-berhenti ceramah sejak tadi.
"Kamu berani nguap!!" Pekiknya dengan tak santai menunjuk Ceye.
Ceye langsung menegak, memandang Bapak-bapak paruh baya berseragam coklat didepannya dengan sebal. Siapa coba yang gak bakal ngantuk kalo diceramahin 3 jam 30 menit 33 detik kayak gini?!
"M-maaf Pak polisi, Bos saya ini mengidap penyakit jadi sering kelelahan." Serebet Ana buru-buru.
Ceye mendelik, enak aja dirinya dikatain penyakitan. Dirinya ini sehat walafiat, sehat lahir batin!
"Hm, lain kali kalian jangan ngula--"
"Yaya Pak, ini Bapak udah ngomong 134 kali sejak 3 jam 30 menit yang lalu." Sahut Ceye sungguh tak minat.
Bapak-bapak berkumis tipis dengan perawakan tinggi besar itu mendelik kearah Ceye, sampai akhirnya menghela napas panjang.
"Makanya kalian jangan ulang--"
"IYA PAAAAK." Ceye sudah kejang-kejang, ingin mencekik lehernya sendiri saking gregetnya. Ternyata ada ya orang menyebalkan seperti ini.
"Huft ... yaudah kalian boleh pulang sekarang."
"NAH! Gitu dong sejak tadi!" Seru Ceye antusias sambil mengulurkan tangan kearah Ana minta dibantu.
Bapak polisi berumur 45 tahun itu sedikit mendengus saat melihat tingkah Ceye, kalo gak liat sendiri kelakuan Ceye yang seperti bocah pasti dirinya gak akan percaya saat mereka menjelaskan kronologi kejadian yang sesungguhnya. Polisi berambut cepak itu menggeleng pelan, sedikit geli saat melihat Ceye yang kini sedang mengomel-omel kearah Ana sambil memeluk erat bahu Ana karna takut jatuh.
Orang itu ..... mengingatkannya pada anaknya yang berumur 5 tahun dirumah.
"Makasih ya Pak, sekali lagi saya minta maaf karna sudah bikin salah paham." Ana mengangguk sopan, melempar senyuman hangat dan bersahabat.
Bapak polisi yang namanya masih rahasia itu tersenyum ke Bapakan, mengantar mereka keluar kantor polisi.
"Iya, makannya lain kali jangan diulangi."
Ceye menggigit bibirnya gemas, emangnya bener-bener gak ada kalimat lain yang lebih kreatif apa?!
Ana sekali lagi mengangguk sopan, lalu membantu Ceye memapahnya sampai mobil.
"Bener-bener kayak habis selesai ikut ceramah akbar rasanya!" Ceye menggerutu sengak.
"Salah kita juga sih Pak, teriak-teriak di dalam mobil. Lain kali aku gak mau pokoknya jadi supir Bapak!" Ana sudah berucap tegas.
"Halah jadi supir abal-abal aja belagu!"
"Dih Bapak emang gak bisa ngehargain saya, ya!" Ana kembali nyolot.
Ceye yang masih dipapah Ana sesekali menguap, matanya sudah mengembun ngantuk.
"Kamu mau saya hargain berapa emangnya? Cepek atau gopek?" Ucapnya dengan wajah watados.
Ana yang baru mendudukkan Ceye di kursi mobil berdiri tegak, dengan wajah sudah tak bisa dijabarkan bentukannya.
"Oke, supir abal-abal ini pergi sekarang. BYE!"
Ana lalu berlalu pergi meninggalkan Ceye seorang diri yang tengah berteriak-teriak memanggil namanya. Ceye yang seperti bocah ditinggal Ibunya itu memasang wajah teraniaya.
"Perempuan itu ..... kejam."
***
"Mbakku yang cantik, YUHUUU!!"
Ana yang sedang tengkurap menonton Drakor langsung terperanjat. Dengan ogah-ogahan Ana menoleh kearah suara, bisa menemukan Rehan yang kini tengah cengar-cengir mendatanginya.
Ana mendecih pelan, "hm, apa? Mau minta duit?" Tebak nya langsung karna hapal tingkah laku Adiknya.
Rehan makin cengengesan, kalo gak lihat wajah gantengnya pasti dia sudah dikira orang gila.
"Hehe, aku gak sematre itu kok Mbak."
"Trus?"
"Nah, berhubung Mbak nawarin mau kasih duit, aku gak bakal nolak."
Ana mendelik, mau minta duit aja kebanyakan cincong.
"Ambil sendiri di dalem laci!" Perintah Ana lalu kembali tengkurap, melanjutkan tontonan nya. Rehan menyengir lebar, melangkah riang mengambil uangnya.
"Nonton apa sih Mbak? Mendingan lihatin aku aja yang kegantengannya sudah terjamin." Rehan tau-tau sudah ikut rebahan, menjadikan punggung Ana sebagai bantal.
Ana bergerak tak nyaman menyingkirkan kepala Adiknya, "kamu jangan suka narsis gitu ih, yang denger pada gumoh ntar."
Rehan merengut tajam, "aku mah narsis nya cuma sama Mbak aja, diluar sana aku tuh keren Mbak. Keren!!" Sambil duduk bersila dan menunjukkan otot-otot tangannya.
"Lebih jangan lagi kalo kamu narsis sama Mbak, bisa-bisa Mbakmu ini setres karna dengerin narsisan kamu dan Bos gendeng Mbak." Sahut Ana sebal.
Rehan terkekeh pelan, sudah tidak kaget lagi karna Ana setiap hari selalu curhat tentang Bos narsis nya.
Tiba-tiba Rehan meraih rambut Ana, memain-mainkan nya dengan asal.
"Embaaak..."
"APA?!"
Rehan terlonjak, hampir terjatuh dari kasur saking kagetnya. "Santai dong Mbak, jangan ngegas gitu." Sungutnya sok lucu sambil memanyunkan bibir.
Ana mendesis tajam, sudah seperti badak yang mau nyeruduk mangsanya. "Kamu itu udah Mbak kasih duit, mau minta apa lagi? Jangan ngelunjak kamu!" Sambil menjitak keras kepala Rehan.
Rehan mengusap kepalanya belagak teraniaya, seumur-umur cuma Mbaknya gadis paling galak yang pernah ditemuinnya.
"Temen aku pada bawa kendaraan pribadi sendiri-sendiri ke kampus loh Mbak, keren-keren."
Ana mengangkat sebelah alisnya perlahan, mulai paham alur pembicaraan Rehan.
"Masa aku ketua BEM paling famous se kampus berangkatnya naik bus, coba bayangin image aku Mbak!" Sambil menepuk-nepuk dadanya dramatis, tak lupa Rehan juga memasang tampang paling menyedihkan.
Ana menghela napas, mendudukkan tubuhnya menghadap sang Adik sepenuhnya. "Dek, kamu itu niat ngampus buat apa sih? Pamer, sombong, atau ajang keren-kerenan doang?" Tanyanya menembak telak.
Rehan mengeruhkan wajahnya, menggapai tangan Ana dengan cepat. "Tapi kan Mbak, kalo aku punya kendaraan pribadi sendiri pasti lebih efisien." Jawabnya masih ngeyel.
"Palingan efisien buat cari cewek-cewek!" Dengus Ana tak lupa melirik sinis.
"Ayolah Mbak! Pliiis bantuin aku ngomong sama Ibu Bapak buat ngijinin aku pake mobil, lagian kan mobilnya jarang dipake." Bujuknya menggoyang-goyang pundak Ana dengan puppy eyes yang sangat menggelikan.
"Dih! Enak aja, Mbakmu ini aja yang yang udah punya penghasilan sendiri gak pernah tuh naik mobil ke kantor. Masa kamu yang masih bocah ingusan mau monopoli mobilnya!" Tolak Ana mentah-mentah.
Rehan makin memelas, bahkan sudah tengkurap di pangkuan Ana sambil melingkarkan tangan ke perut Ana.
"Aaaaa pokoknya mau mobil-mobil-mobil!!" Rengeknya makin kejer-kejer.
Ana mendengus, mencoba menyingkirkan tangan Rehan tapi percuma karna pelukannya malah semakin menjadi-jadi. Ana menggeleng kasar, sudah ilfil setengah mati dengan manusia ini. Rehan mah kelihatan busuk nya kalo didepan Ana doang. Kalo di kampus, byuuh ... gayanya udah ngalahin Idol K-pop.
"Ngomong sendiri!" Tolak Ana tak peduli.
Rehan yang merasa aktingnya sia-sia jadi menggigit bibir kesal, pokoknya dirinya harus paksa Mbaknya gimanapun caranya. Mana mau Rehan kalah pamor dari curut-curut jelek di kampus.
Rehan perlahan mengangkat wajahnya, bisa melihat tampang masam Ana yang sudah empet tak karuan. Sebuah ide brilian mendadak muncul, membuat senyum miring terbit di bibirnya.
Grauk!
"AAARGGH DASAR BOCAH GENDENG!!"
Ana langsung meronta-ronta saat Rehan dengan kurang ajar nya menggigit lehernya rakus. Perempuan 24 tahun ini bahkan sudah mengumpat, menyerapah, sampai misuh-misuh tak jelas kepada Rehan.
"DEEK KAMU GORILA APA?! LEPASIN GAK!! AAAARGH!!"
Ana meraung tak karuan, bisa merasakan sesuatu yang hangat merembes disekitar lehernya, uasem! Rehan beneran gigit lehernya sampe berdarah!
"OKE DEH MBAK NANTI NGOMONG SAMA IBU BAPAK!" Ucap Ana akhirnya menyerah.
Rehan langsung menjauhkan diri, mengelap bibirnya yang sedikit belepotan darah dan air liur dengan riang. Lebih kurang ajar nya lagi Rehan memasang wajah polos tanpa dosa.
"Huwaaa Mbakku memang yang terdebes deh!" Riangnya meloncat bahagia tak lupa menciumi pipi Ana kegirangan.
Ana mendecih kasar, menendang perut Rehan sampai terguling jatuh kopral ke lantai.
"Minggat sana! Aku gak punya Adek laknat keturunan gorila kayak kamu!" Usir Ana sudah marah sampai ubun-ubun.
Rehan menyengir bodoh, "maap deh Mbak, aku obatin. Oke?" Bujuknya merayu manis.
"O tude gah, OGAH!" Sembur Ana kali ini sambil berdiri dan menyeret kaos belakang Rehan, kemudian melemparkannya asal keluar kamar.
"MBAK GAK BOLEH LUPA SAMA JANJI KITA YA!!" Gedor Rehan dari luar.
Ana hanya mendengus, selanjutnya berjalan kearah meja riasnya dan melihat penampakan lehernya. Gadis itu langsung melenguh panjang, tercetak jelas bekas gigitan Rehan dengan sedikit darah yang merembes disekitar leher jenjangnya.
"Ck! Nih bocah emang harusnya aku sunat lagi biar kapok!" Gerutu Ana sambil mulai mengelap jejak darahnya dengan tisu. Ana juga sedikit meringis ngilu saat luka robekan kulitnya tersentuh.
"Untung Adek sendiri, kalo bukan pasti udah habis aku cincang buat makanan p***y!" Omelnya menyebutkan nama kucing peliharaannya.
Gini nih nasibnya kalo punya Adik laknat gak ada akhlak. Sepertinya hidup Ana kedepannya akan sangat suram. Di kantor direcokin Ceye, di rumah diganggu Rehan.
Bisa gila beneran nih Ana!
****
"~Sayaaang!!!"
Suara manja yang melengking panjang itu membuat Ceye yang sedang fokus mengetik di komputernya langsung menegak, seorang gadis berbalut dress ketat dengan belahan d**a rendah berlari kearahnya. Kemudian langsung berhambur memeluk erat lehernya.
Ceye mengerjap pelan, "kamu ngapain kesini, Selena?"
Gadis itu seketika mencuatkan bibir, lalu menaruh sebuah kartu ke tangan Ceye.
"Aku Jesika, bukan Selena!" Ralatnya.
Ceye hanya membulatkan bibir sambil melihat kartu identitas yang diberikan padanya, saking banyaknya ceweknya membuat Ceye menetapkan peraturan kalo mereka harus menunjukkan kartu nama setiap bertemu dengannya.
"Oh, Jesika model dari agensi A kan." Ucap Ceye menebak.
"Iya lah, emang cewek kamu yang namanya Jesika ada yang lain selain aku?" Todongnya mendelik.
Ceye tersenyum kecil, menarik pinggang ramping gadisnya sampai terjatuh ke pangkuannya. "Meskipun ada yang lain, tapi cuma kamu yang paling aku sayang."
Jesika seketika merona, dengan gaya malu-malu menyandarkan kepalanya ke d**a Ceye. Perempuan ini sangat tau kalau Ceye adalah pria playboy, tapi siapa yang peduli. Selama dia tampan dan kaya, menurutnya gak jadi masalah.
Karna uang adalah segalanya.
"Yang, kamu kok sekarang jadi jarang hubungi aku? Kamu bosen ya sama aku?" Jesika memasang wajah paling polos, sok imut-imut dengan tangan memain-mainkan dasi Ceye.
Ceye tersenyum simpul, mengusap lembut pipi Jesika. "Kamu jangan suudzon gitu dong sama aku, diantara cewek-cewek ku yang lain kamu itu yang paling cantik. Mana mungkin aku bosen." Ceye memainkan alisnya menggoda.
Jesika langsung tersenyum senang, padahal ucapan Ceye ini selalu dilontarkan kepada semua cewek-ceweknya. Emang dasar Ceye buaya buntung gak tau di untung.
"Aah kamu bisa aja deh, Yang." Tangan Jesika mulai bergerak nakal, meraba sana meraba sini membuat Ceye kesenangan.
Inilah namanya hidup bagai di surga, asal ada uang cewek-cewek pasti langsung nemplok.
"Jangan disitu ya." Ceye memegang tangan mulus Jesika saat akan menyentuh sesuatu yang berbahaya. "Kan aku udah pernah bilang, dimanapun boleh kecuali disitu." Lanjutnya masih tenang.
Jesika seketika memasang wajah murung, sudah berkali-kali dirinya melancarkan aksi yang menjerumus kesana tapi pemuda ini tak pernah peka-peka. Bukanya pria menginginkan cewek cantik dan seksi untuk memuaskan hasrat birahinya, tapi kenapa Ceye bahkan seperti enggan menyentuhnya.
Jangan bilang Ceye impoten.
"Yang, kita udah pacaran tiga bulan dan kamu belum pernah sentuh aku loh, kamu sayang gak sih sama aku?" Rengek Jesika sedikit mendesah.
"Sayang dong Beb, kamu mau apapun pasti aku beliin kan." Balas Ceye menjawab, semua kebutuhan cewek-ceweknya memang Ceye yang menanggung sepenuhnya.
Inilah kelebihan orang kaya macam dirinya.
"Kamu bahkan selalu nolak waktu aku cium, kalo kamu cinta sama aku sekarang ayo kira tidur bareng!" Pancing Jesika tegas, sasaran empuk macam Ceye tidak boleh lepas dari genggamannya. Dirinya harus bisa menikahi Ceye.
Ceye menggeleng, kali ini sudah mengalihkan perhatiannya ke layar komputer kembali.
"Nggak bisa!"
"Kenapa sih? Kamu cukup diem biar aku yang lakuin semuanya, mau yaaa??" Jesika masih tetep ngeyel.
Ceye menghela napas, dengan raut wajah berubah masam. "Kalo aku nidurin kamu nanti aku disuruh nikahin kamu sama Ayah."
"Aku gak masalah kok!" Sahut Jesika sangat cepat dan antusias.
"Yang masalah aku, aku gak minat nikah. Enak main-main kayak gini." Tolak Ceye lempeng.
Jesika menggertak kan giginya, "kamu gak mau seriusin aku Yang? Yaudah kita putus kalo gitu!" Ancamnya melotot lebar. Jesika juga sudah turun dari pangkuan Ceye.
Ceye mendongak santai, melambaikan tangan dengan wajah tanpa dosa. "Oke, apartemen dan mobil aku sita." Ucapnya tersenyum ringan.
Jesika tertohok, berasa tak ada nilainya didepan pemuda ini.
"J-jangan dong Yang, aku minta maaf ya. Aku janji gak bakal ngulang lagi." Mohon Jesika mengatupkan tangan, sudah tak perduli dengan harga dirinya.
Ceye tersenyum remeh, mengulurkan tangan menarik pinggang ramping Jesika mendekat kearahnya.
"Kamu harus sadar posisi, jangan terlalu memandang tinggi diri sendiri." Ceye mengecup pelipis Jesika seduktif.
"Karna cewek seperti kalian dimata aku cuma baju, yang bisa diganti kapanpun."