"Cari tau di mana Aura kerja 10 tahun lalu, dia bilang pernah kerja di resort yang ada di Labuan Bajo selama tiga tahun. Kumpulkan semua informasinya, detail, dan jangan ada yang terlewat!" titah Firdaus lewat sambungan telepon saat menghubungi salah satu anak buahnya begitu ia tiba di hotel Surabaya.
Ya, setelah percakapan singkat di pesawat bersama Aura, Firdaus berniat untuk menggali kejadian 10 tahun silam, apalagi setelah ia mendengar cerita dari Aura jika wanita itu melarikan diri dan bersembunyi di Labuan Bajo selama tiga tahun, sebelum akhirnya memutuskan kembali ke Jakarta begitu mengetahui kabar jika Alina sudah mendekam di penjara, dan merasa bahwa posisinya aman.
***
Selama tiga hari Aura menemani Firdaus dalam berbagai pertemuan dengan klien untuk menjalin hubungan kerja sama di dua kota sekaligus, membuat mereka intens menghabiskan waktu bersama dari pagi hingga malam.
Entah sejak kapan, sikap Firdaus yang biasanya dingin pada Aura perlahan-lahan mulai menghangat, terlebih pria itu banyak membantu saat Aura mengalami kesulitan dalam memahami sesuatu yang berkaitan dengan tugas-tugasnya sebagai sekretaris. Jika biasanya Aura akan bertanya pada Victor bila ada hal yang tak dimengerti, mau tidak mau Firdaus turun tangan sendiri untuk membantu karena Victor tidak ada bersama mereka.
Perjalanan bisnis kali ini memberikan kesan yang berbeda untuk Aura, ia merasa itu adalah perjalanan bisnis pertama dan menjadi yang terbaik sepanjang hidupnya karena selain menambah banyak pengetahuan yang akan sangat berguna selama menjabat sebagai sekretaris presdir, tapi juga memberi sedikit dampak baik bagi hubungannya dengan Firdaus. Jujur saja, Aura tidak bermaksud buruk apalagi berharap lebih, ia hanya berusaha meluluhkan hati Firdaus agar mau memaafkan segala kesalahannya di masa lalu dan mulai berdamai dengan keadaan supaya tidak ada dendam di antara mereka karena mau bagaimanapun kini keduanya adalah partner kerja, terlepas dari hubungan mereka di masa lalu yang pernah menjadi sepasang kekasih.
Siang itu Aura benar-benar merasa bahagia, bangga, sekaligus terharu setelah mendengar kabar jika putrinya Juara 1 lomba renang antar sekol. Membuat wanita itu tidak sabar untuk segera kembali ke Jakarta dan memeluk Keisya erat-erat sambil mengucapkan selamat karena usahanya yang sudah berlatih keras membuahkan hasil sesuai harapan putri kecilnya itu.
"Kei, Bunda benar-benar bangga sama kamu, Nak. Kamu adalah anugerah terindah yang Tuhan titipkan di hidup Bunda. Kalau kamu nggak hadir di hidup Bunda, entah apa jadinya hidup Bunda tanpa kamu karena cuma kamu satu-satunya yang jadi alasan kenapa Bunda hidup sampai saat ini, Kei!" gumam Aura yang sesekali menatap foto Keisya yang tengah memegang piala di atas panggung dengan senyum merekah yang terukir sempurna.
Seandainya Aura ada di sana, menonton pertandingan Keisya secara langsung, dan menyaksikan putrinya diumumkan sebagai pemenang sampai diminta naik ke atas panggung untuk diberikan penghargaan, entah akan sebahagia apa perasaan Aura. Namun, Aura sadar jika ia harus mengalah dan menjalani pekerjaan yang dimilikinya sekarang demi bisa menghidupi putrinya dan memastikan Keisya memiliki masa depan yang baik agar tidak hidup seperti dirinya.
Di tengah rasa bahagia yang Aura rasakan, beberapa jam kemudian, tepatnya saat Aura sedang mendampingi Firdaus meeting penting dengan klien untuk mencapai kesepakatan kerja sama, ia malah mendapat kabar tak sedap dari Bi Narti jika Keisya pingsan, dan kini berada di rumah sakit.
"Ya Allah, gimana ini? Mana aku masih di Semarang dan nggak tau kapan bisa pulang Jakarta. Mana Keisya masuk rumah sakit. Kalau aku izin pulang duluan, nggak mungkin juga di bolehin sama Firdaus, dan pasti dia bakal nanya alasan kenapa aku mau pulang duluan?" Tubuh Aura terasa lemah seketika, fokusnya buyar, dan telinganya seakan berdengung tak dapat mendengar apa pun tentang percakapan Firdaus dengan Hartono kliennya.
Perasaan Aura cemas tak karuan, pasalnya Keisya tidak sadarkan diri setelah mengikuti pertandingan renang sejak pagi tadi hingga siang hari. Belum lagi belakangan jadwal di sekolahnya cukup padat.
"Pasti Keisya kecapekan banget karena ikut lomba renang. Ya Allah, tolong jaga Keisya, lindungi dia di sana sampai aku pulang," ucap Aura lirih dan tanpa sadar ia menggigit kukunya sendiri.
Kepanikan Aura berhasil tertangkap oleh sorot mata Firdaus yang duduk di ujung meja meeting, sementara wanita itu duduk di samping kanannya. Firdaus juga dapat melihat sekretarisnya itu beberapa kali menatap layar ponsel yang ia sembunyikan di bawah meja, seperti tengah berbalas pesan, dan itu membuatnya mendesah tak suka dengan sikap tidak profesional Aura.
"Bisa disimpan dulu nggak hp-nya? Kita lagi meeting loh!" ucap Firdaus pelan tapi penuh penekanan dan seketika Aura terkesiap, tersadar dari pikiran yang membuatnya tak fokus.
"Maaf, Pak," bisik Aura lirih dan segera memasukkan ponselnya ke dalam saku jas. Berusaha untuk menarik diri dan kembali fokus dengan meeting mereka kali ini.
Waktu satu jam seperti satu tahun bagi Aura karena di Jakarta ada sang putri yang menunggu kepulangannya, sampai akhirnya meeting itu berakhir, dan ia pergi meninggalkan ruangan tersebut bersama Firdaus.
"Ngapain sih dari awal meeting kamu chat-an terus?" Begitu melangkah keluar dari gedung perkantoran tersebut, Firdaus pun bertanya.
"Maaf, Pak, tadi saya dapat kabar dari orang rumah dan ada keluarga saya yang sakit."
"Harusnya kamu fokus sama meeting kita dulu, jangan buka chat apa pun yang terjadi, biar nggak ganggu konsentrasi kamu!"
"Maaf untuk kesalahan saya tadi, Pak, lain kali saya tidak akan mengulanginya lagi, dan akan lebih fokus selama meeting berlangsung."
"Buktikan, jangan cuma omong doang!" Firdaus yang tadinya sudah bersikap baik pada Aura, kini kembali berucap dengan nada ketus.
Aura menerima kemarahan Firdaus kali ini karena semua adalah salahnya yang tidak bisa menempatkan diri selama meeting tadi.
"Baik, Pak. Sekali lagi saya mohon maaf." Untuk terakhir kalinya Aura meminta maaf sebelum Firdaus masuk ke mobil, lalu ia menyusul setelahnya.
Saat mobil yang dikendarai sopir melesat pergi meninggalkan pelataran kantor pusat supermarket ternama yang bekerja sama dengan perusahaan Firdaus, Aura yang sejak tadi gelisah pun coba memberanikan diri untuk bertanya.
"Pak maaf saya mau tanya, Bapak mau pulang ke Jakarta kapan biar saya pesan tiket pesawat untuk kepulangan kita?"
"Pesan aja sekarang, tapi buat penerbangan besok pagi."
"Maksudnya gimana, Pak? Bukannya ini hari terakhir kita di sini?" tanya Aura dengan perasaan yang kian gelisah tak menentu. Jika ia tidak jadi pulang hari ini, lalu bagaimana dengan Keisya yang harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena perlu pantauan langsung dari dokter.
"Meisya dan Victor lagi di perjalanan mau ke sini, jadi kita makan malam dulu, menginap semalam lagi, besok pagi baru pulang!" jawab Firdaus santai tanpa meminta persetujuan dari Aura lebih dulu.
Dahi Aura mengernyit, ia tidak bisa menemani Firdaus makan malam bersama calon tunangannya, sampai harus menunda kepulangannya.
"Kalau saya pulang ke Jakarta duluan apa boleh, Pak?"
"Nggak boleh! Kita harus pulang bareng!"
"Tapi Pak, saya harus pulang hari ini juga karena keluarga saya ada yang sakit dan sekarang dirawat di rumah sakit."
"Memangnya kamu masih punya keluarga?Siapa keluargamu yang sakit? Bukannya orang tua kamu udah meninggal, terus paman dan bibimu juga sudah menghilang tanpa kabar?"
Aura tercengang mendengar penuturan Firdaus barusan. "Dari mana Bapak tau kalau paman dan bibi saya hilang tanpa kabar?"
Firdaus seketika terdiam dan raut wajahnya berubah menjadi gugup.
"Loh, bukannya kamu dijual sama paman dan bibimu? Setelah kamu kabur dari rumah bordil itu, sudah pasti mereka melarikan diri karena takut dikejar sama Alina gara-gara masih ada sangkutan utang!" jawab Firdaus yang tidak selancar biasanya, tapi berusaha tetap tenang, dan perkataannya terdengar masuk akal.
Aura mengangguk pelan. Apa yang Firdaus katakan memang benar. Tapi sekalipun Aura tidak pernah punya niat untuk mencari keberadaan Tonny dan Saskia yang entah kini di mana karena rasa sakit hatinya teramat dalam. Gara-gara dijual paman dan bibinya, masa depan Aura hancur tanpa sisa.
"Bapak benar, saya memang sudah nggak punya orang tua, paman dan bibi saya juga entah pergi ke mana, tapi saya punya keluarga baru, Pak."
"Maksud kamu?" tanya Firdaus yang tak mampu menutupi raut terkejut di wajahnya.
"Saya pernah menikah, Pak, dan saya punya anak. Sekarang anak saya sedang dirawat di rumah sakit, maka dari itu saya harus pulang hari ini juga, Pak!" jawab Aura yang tak memiliki pilihan lain, selain mengungkap fakta tentang Keisya karena anak perempuan itu sangat membutuhkannya.
Namun, Aura terpaksa berbohong tentang statusnya yang pernah menikah demi menutupi identitas Keisya yang sebenarnya .
Sontak Firdaus terkejut bukan main. Matanya membulat sempurna dengan jantung yang seakan berhenti berdetak begitu mendengar Aura pernah menikah dan sudah memiliki anak.