Bab 1. Malam Penuh Luka
“S–siapa, kamu?”
Seorang wanita berpakaian seksi bertanya pada sesosok pria yang tengah membelakanginya. Wanita itu bernama Aura Xandra yang baru saja memasuki sebuah kamar di mana pria yang membookingnya berada.
Mendengar pertanyaan itu membuat pria yang bernama Firdaus Salim tersenyum tipis. Ia pun menggoyangkan gelas berisi wine di tangan kanannya. Ada perasaan senang sekaligus lega karena akhirnya ia berhasil menemukan wanita yang selama satu bulan ini dicarinya.
Dengan perlahan Firdaus memutar tubuh untuk menyapa wanita yang hampir membuatnya gila karena menghilang begitu saja tanpa kata pamit yang terucap.
Senyuman Firdaus pun kian terukir jelas saat kedua mata hazelnya saling bertautan dengan netra Aura yang seketika membulat sempurna melihat keberadaannya.
“Fir–Firdaus … ka–kamu kenapa—” Belum sempat Aura menyelesaikan pertanyaan yang terucap dengan terbata-bata, Firdaus langsung memotongnya.
“Ah, ternyata kamu masih mengingatku. Aku pikir kamu lupa ingatan makanya bisa berakhir di tempat menjijikkan seperti ini.” Dengan nada penuh hinaan Firdaus mengakhiri kalimatnya sambil berdecih kesal.
Aura menelan salivanya dengan susah payah setelah mendengar perkataan Firdaus. Hatinya teriris perih karena pria yang dicintai telah salah menilai dirinya akibat tenggelam dalam kesalahpahaman.
“Fir, aku … aku bisa jelasin sama kamu kenapa aku ada di sini.” Aura memaksa kedua kakinya untuk kuat melangkah, mendekati Firdaus yang masih berdiri tegak di titik semula tanpa berniat menghampirinya.
“Nggak perlu kamu jelasin apa-apa, Ra.” Firdaus mengangkat sebelah tangan, memberi tanda jika ia tidak membutuhkan penjelasan Aura saat ini. Ia merasa apa yang ada di pikirannya setelah melihat Aura di tempat kini dirinya berada adalah sebuah kebenaran tanpa menuntut pembenaran.
“Fir, please dengerin aku dulu. Ini bukan keinginanku. Aku nggak pernah mau ada di tempat ini. Aku terpaksa, Fir ….” Aura merasa lidahnya kelu saat ingin menceritakan keadaan sebenarnya. Air mata terlalu cepat jatuh menetes tanpa dapat dicegah, membuat Aura terlihat begitu lemah.
“Terpaksa? Kamu bilang terpaksa?! Uang kan yang membuat kamu rela menjual diri di tempat ini? Berapa banyak uang yang kamu mau, Ra, sampai kamu mau melakukan pekerjaan kotor yang sangat menjijikkan seperti ini?”
Aura menggeleng tak percaya mendengar kata demi kata yang terucap dari mulut Firdaus. Pria itu benar-benar telah berpikir buruk tentang dirinya.
“Kamu nggak ngerti apa-apa, Fir, makanya kamu dengerin penjelasan aku dulu.” Dengan bibir bergetar dan air mata yang semakin tak terbendung, Aura mengulurkan tangannya untuk menggenggam lengan Firdaus agar mau mendengarkannya sebentar saja.
Namun, Firdaus langsung menepis kedua lengan Aura yang hendak menyentuhnya. Menepis dengan kasar sampai wanita itu merasa kesakitan, hingga gelas wine yang semula berada di genggamannya tanpa sengaja jatuh terlempar, dan serpihan kaca tampak berserakan di permukaan lantai.
“Walau aku sudah membayarmu sangat mahal malam ini, tapi aku tidak ingin kamu menyentuhku dengan kedua tanganmu. Aku mau kamu memuaskanku dengan cara lain. Ayo naik ke atas ranjang dan puaskan aku!” titah Firdaus yang terdengar sangat tega.
Guratan penuh rasa takut tergambar jelas di kedua mata Aura. Wanita itu menggeleng dan raut wajahnya berubah pucat.
“Fir, nggak, Fir. Tolong jangan paksa aku untuk lakuin itu.”
“Kenapa? Apa kamu kehilangan rasa percaya diri untuk bercinta denganku? Tidak perlu sungkan, Aura Xandra, puaskan aku seperti puluhan atau bahkan ratusan laki-laki yang sudah menikmati tubuhmu selama berada di tempat ini!” Tanpa dapat disembunyikan rahang Firdaus tampak mengeras saat mengatakan semua itu, bahkan kilatan amarah tergambar jelas di kedua matanya.
“Aku nggak seperti yang kamu pikirkan, Fir. Tolong percaya sama aku.”
Sorot mata Firdaus menatap Aura dari ujung kaki sampai ujung rambut. Ini adalah kali pertama ia melihat Aura mengenakan pakaian seksi dan begitu ketat hingga menampilkan tiap lekukan tubuh yang nyaris sempurna. Bahkan saking terbukanya pakaian yang Aura kenakan membuat Firdaus dapat melihat beberapa bagian tubuh wanita itu yang terdapat memar berwarna keunguan. Melihat hal tersebut Firdaus berpikir jika Aura sering diajak “main kasar” oleh pria yang membookingnya.
“Nggak seperti yang aku pikirkan? Memangnya menurutmu apa yang aku pikirkan tentang dirimu, Aura?” Firdaus bertanya sambil melangkah maju hingga membuat tubuh mereka nyaris beradu.
Aura semakin ketakutan melihat tatapan Firdaus, beberapa kejadian yang membuatnya hancur dan terpuruk kembali berputar-putar dalam ingatannya.
“Aku bukan wanita pemuas laki-laki di atas ranjang, Fir. Jangan melihat penampilanku saat ini. Kamu harus tau kalau aku melakukannya karena terpaksa. Kamu yang tau aku seperti apa, Fir!” Aura coba menyadarkan Firdaus agar pria itu tak melakukan hal yang menakutkan baginya.
Firdaus menggerakkan sebelah tangannya, mengusap kerah baju perlahan, dan dengan sekali gerakan ia melepaskan dasi yang semula terpasang.
“Ya, Aura, kamu benar. Aku tau seperti apa dirimu. Aku bisa melihat jelas dengan mata kepalaku sendiri bahwa kamu adalah seorang w************n, bahkan sangat murah dari wanita yang aku kenal di luar sana karena demi uang kamu rela menjajakkan tubuhmu pada banyak laki-laki. Aku tau sekotor apa dirimu sekarang, tapi aku hanya ingin merasakan sekali saja bagaimana rasanya bercinta dengan p*****r sepertimu, setelah itu aku benar-benar akan menghapusmu dalam ingatanku. Ingatlah perkataanku, Aura. Aku menyesal pernah mencintaimu setulus kemarin!"
Dada Aura seketika naik turun begitu cepat, wanita itu terlihat sulit mengatur napasnya sendiri. Rasanya jantung di dalam bergemuruh, hatinya berdarah-darah, dan raganya seakan tak lagi menapak begitu mendengar penuturan Firdaus.
Aura sadar betul saat ini ia tidak dapat membela diri. Ia paham sekecewa apa Firdaus menemukannya di sebuah rumah bordil dalam keadaan seperti ini. Ia berusaha menganggap wajar jika pria itu berpikiran demikian karena penampilannya seperti yang terlihat tepat di depan mata.
“Kenapa diam saja, Aura? Ayo cepat buka pakaianmu dan aku ingin kamu memuaskanku dalam keadaan tangan terikat!” Firdaus menyodorkan dasi yang tadi ditariknya sebagai alat untuk mengikat lengan wanita itu.
Aura tersenyum getir. Nanarnya semakin terjepit dan kembali menumpahkan gerimis air mata. Namun, Aura berusaha menghapus bulir-bulir bening itu dengan jemarinya sendiri. Ia ingin berhenti terlihat lemah karena tak ada yang peduli melihat air mata yang sejak tadi tumpah.
“Baiklah, aku akan melakukan apa yang kamu minta. Anggap saja ini sebagai hadiah perpisahan kita malam ini. Aku berharap setelah ini Tuhan tidak pernah mempertemukan kita lagi. Maaf kalau aku sudah mengecewakan kamu, Fir.”
Akhirnya Aura mengalah. Wanita itu berusaha mengubur rasa trauma yang dialami selama satu bulan terakhir demi mengabulkan permintaan Firdaus. Entah harus bahagia atau sedih, malam ini Aura akan menyerahkan kesuciannya pada pria yang pertama kali membuatnya jatuh cinta sampai sebegitu gilanya. Tetapi, detik ini cinta rasanya berubah begitu cepat berganti luka.
Perlahan demi perlahan Aura melepaskan high heels dan pakaian yang melekat di tubuhnya. Hingga beberapa detik kemudian pakaian itu merosot dan terjatuh di permukaan lantai.
Tanpa dapat disembunyikan nanar Firdaus bergetar penuh luka melihat wanita yang teramat dicintainya melakoni pekerjaan kotor demi uang.
Setelah membiarkan tubuhnya benar-benar polos tanpa sehelai benang pun yang melekat, Aura menyodorkan kedua tangannya di hadapan Firdaus yang sesaat lagi akan mengikhlaskannya pergi dari kehidupan pria itu.
“Silakan perlakukan aku sesukamu. Ajari aku untuk menjadi murahan supaya bisa memuaskanmu malam ini!”
Suara Aura bergetar penuh sesak, membuat Firdaus sempat berat untuk melampiaskan perasaan marahnya. Namun, itu hanya berlangsung beberapa saat karena pada akhirnya pria itu benar-benar ingin meluapkan semua perasaan yang berkecamuk dalam d**a.
Kemudian Firdaus mengikat kuat-kuat kedua tangan Aura dengan dasinya sampai mengundang rasa perih yang sempat membuat wanita itu meringis kesakitan, lalu ia pun melepaskan seluruh pakaiannya hingga bertelanjang bulat sama seperti Aura.
Tidak ingin berubah pikiran karena melihat wajah Aura yang dibanjiri air mata, Firdaus pun langsung menarik tubuh wanita itu ke arah ranjang. Kemudian Firdaus duduk di tepi kasur dan menyuruh Aura untuk berjongkok agar segera memulai pemanasan sebelum mereka benar-benar bercinta di atas ranjang. Pria itu meminta Aura melakukan pemanasan dengan mulutnya.
Melihat dan merasakan permainan mulut Aura yang kaku membuat Firdaus berpikir jika wanita itu malu-malu. Firdaus pun mulai meremas kasar rambut panjang yang terurai itu dan menggerakkan kepala Aura dengan cepat agar wanita yang telah dibayarnya malam ini memberikan pelayanan memuaskan dan tidak membuatnya kecewa.
Dengan tertatih-tatih dan perasaan hancur berkeping-keping akhirnya Aura melakukan semua perintah Firdaus. Ini adalah pengalaman pertamanya. Namun sayang, malam itu Firdaus memperlakukannya dengan sangat kasar, tanpa ada kelembutan sedikitpun karena sengaja ingin membuat Aura kesakitan sebagai ajang balas dendamnya karena merasa Aura telah mengkhianati dan membohonginya selama ini.
“Jangan kasar, Fir, please ….” Aura memelas dengan tatapan menyedihkan, memohon belas kasihan dari Firdaus saat ia merasakan akar rambutnya hampir tercabut dari kulit kepala yang menimbulkan perih luar biasa.
“Kenapa? Bukankah laki-laki yang kamu layani selama ini memperlakukanmu lebih brutal dari ini, sampai-sampai banyak sekali memar yang tertinggal di tubuhmu karena saking panasnya pergumulan kalian?” Firdaus bertanya seraya menampilkan senyuman menghina. Ia merasa Aura terlalu banyak bersandiwara di hadapannya sejak tadi.
“Kamu salah, Fir. Memar yang kamu lihat di tubuhku adalah luka dalam karena selama satu bulan aku di sini, aku disiksa sama laki-laki yang datang karena aku nggak mau melayani mereka. Bahkan setelah itu aku juga disiksa sama anak buah Mami Alina setelah dia mendapat komplain dari tamu yang booking.”
“Jangan memasang wajah menyedihkan seperti itu di hadapanku, Aura. Aku sama sekali tidak mengasihimu. Hatiku sudah membeku karena kepergianmu yang tiba-tiba dan sekarang aku malah menemukanmu di tempat kotor seperti ini.”
“Maka dari itu tolong bebaskan aku dari sini, Fir. Aku mohon … aku tidak suka ada di tempat ini. Aku tidak mau mati di sini karena disiksa sama mereka. Aku pengen keluar, Fir.”
“Cukup, Ra, aku di sini bukan untuk menonton penampilan sandiwaramu. Aku membayarmu untuk memuaskanku! Cepat lakukan sekarang atau aku akan melakukannya dengan kasar tanpa ampun?!”
Aura memejamkan mata. Kini pikirannya diselimuti rasa frustasi karena Firdaus sama sekali tidak mempercayainya. Pria itu malah menarik tubuhnya kembali dengan kasar dan membantingnya ke atas ranjang. Lalu tanpa memiliki belas kasihan Firdaus mulai melakukan penyatuan. Merobek paksa keperawanan Aura hingga wanita itu merintih menahan perih.