Banyak yang bisa di lihat di waktu seperti ini, apalagi ini di atap sebuah gedung berlantai sepuluh. Dan kini aku berada di sini, di puncak teratasnya.
Semilir angin terasa begitu lembut, membelai setiap inci tubuhku. Cahaya temaram yang hanya berasal dari lampu usang kecil dekat tangga, yang menjadi satu-satunya akses jalan masuk. Aku suka sekali berdiam diri di tempat tinggi dan sunyi seperti ini.
Suasana tenang, hanya ditemani cahaya lampu warna-warni terlihat indah memanjakan mata. Sekilas aku tersenyum menyaksikan keindahan sederhana, tapi begitu cantik. Namun sedetik kemudian senyum itu hilang. Berganti dengan tawa sumbang yang terasa begitu mencekik tenggorokan.
Perlahan rasa sakit itu kian menjalar ke seluruh persendian, tawaku kian sumbang dan berakhir dengan isakan pilu.
Aku mendekat ke pembatas yang terbuat dari besi sebatas pinggang orang dewasa. Besi pembatas yang menjadi tameng terakhir antara hidup dan mati. Tapi bukan itu yang aku mau, aku merentangkan kedua tangan, menghirup dalam-dalam udara, memberi pasokan oksigen ke paru-paru yang sejak tadi terasa begitu sesak. Perlahan ku hembuskan nafas dari mulut, mencoba terapi yang sering dianjurkan Psikiater untuk menetralkan hati. Mencoba mencari ketenangan yang sebenarnya masih begitu terasa nyeri.
Lucu memang, disaat aku terdampar di Rumah Sakit ini Mereka mungkin tengah menghabiskan malam- malam penuh gairah layaknya pasangan pengantin baru. Sedangkan aku harus berjuang melawan sakit, tidak hanya tubuhku yang sakit tapi juga hatiku .
"Saya kira kamu mau loncat." Aku terlonjak begitu terdengar suara seseorang dari belakangku. Segera aku menoleh ke arah sumber suara. Dokter Revan berdiri persis di belakangku, memasukan kedua tangannya kedalam kantong celana, satu alisnya terangkat memperhatikanku.
"Sedang apa Dokter di sini?"
"Sepertinya saya yang harus bertanya seperti itu. Sedang apa seorang pasien berada di atap gedung, jam satu malam?" Matanya memicing ke arahku, menatap penuh curiga.
"Bosan di kamar, jadi kesini cari udara segar."
Dia mengangguk, dan berjalan mendekat, hingga akhirnya kita berdiri bersebelahan.
"Kamu cukup berani keluar dari kamar, padahal aku yakin kakak kamu pasti marah jika tau adiknya yang keras kepala ini justru melarikan diri ke atap gedung. Bahkan sampai melepas infusan." Telunjuk Dokter Revan mengarah ke lenganku yang sudah terbebas dari jarum infus.
Sebelum ke atap, aku memang sengaja melepas selang infus terlebih dahulu. Aku bisa meminta bantuan suster memasang nya lagi nanti, dengan alasan aku tidak sengaja menariknya hingga terlepas. Akan tetapi orang yang ada di depanku ini pasti tau jika aku sengaja melepasnya dan dia juga pasti ingat bagaimana hebohnya pertengkaran antara aku dan Bang Ramzi tadi siang. Aku hanya meringis menanggapi ucapan Dokter Revan
"Aku juga suka ke tempat ini,"Lanjutnya sambil menatap hamparan lampu warna warni di bawah sana. "Dan cukup sering juga ke sini."
Sesekali kulihat wajahnya dari ujung mataku,
"Dokter dari tadi di sini?"
"Iya"
"Sejak kapan?"
"Sejak kamu datang. Awalnya tersenyum, tertawa, lalu menangis. Saya sudah disini." Jawabnya santai. Berarti dia sudah disini sebelum aku datang? Dan dia melihat semua hal konyol yang aku lakukan? Aku tertawa hambar menahan malu.
"Jangan terlalu formal, panggil saya Revan. Dan kamu Kanaya kan? Ga perlu merasa malu, aku bahkan sudah melihat kejadian yang lebih menakutkan tadi siang di kamar kamu."
"Ah... iya.., " Canggung rasanya, apalagi sampai dua kali dia memergoki hal memalukan yang terjadi dua hari ini.
Kami saling terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya ada suara desiran angin dan samar-samar terdengar bunyi klakson kendaraan yang masih berlalu lalang.
"Sepertinya masalahmu cukup serius," Suara Revan memecah keheningan.
"Mungkin. Anggap saja seperti itu."
Dia tersenyum simpul, memperlihatkan lesung pipit di kedua pipinya, sangat manis.
"Kamu terlihat begitu kesal, apa kamu begitu keras kepala, sampai kakakmu memesan obat anti berontak dariku?"
"Mungkin dia hanya takut melihatku terluka, dan sayangnya itu sudah terjadi. Aku rasa kamu pasti tau apa yang terjadi padaku, selain penyakit yang aku derita, ada sakit lain juga."
"Sepertinya kita berada di masalah yang sama," Ucapnya sambil meletakan kedua tangannya di besi pembatas. Aku menoleh membiarkan Revan menyelesaikan ucapannya.
"Kamu dengan masalahmu yang akan di jodohkan kakakmu, dan aku juga dengan masalahku yang akan dijodohkan Ibuku. Dan kamu tahu, gadis calon istriku itu baru lulus SMA, tahun kemarin."
Aku tertawa terbahak-bahak, Revan menatapku datar. Membuatku langsung menutup mulut dengan kedua telapak tangan.
"Maaf, aku tidak bermaksud mentertawakanmu. Sungguh. Aku hanya terkejut, itu terdengar seperti menikahi adikmu sendiri." Revan tersenyum getir
"Bahkan adikku pun sudah kuliah. Mungkin aku seperti menikahi anak sendiri."
"Kamu tidak setua itu," hiburku.
Revan memang tidak setua itu, dia muda bahkan untuk ukuran Dokter, dia masih sangat muda. Mungkin umurnya tidak terlalu jauh dengan Abang. Revan juga tampan, dan entah sudah berapa kali aku menyebutnya tampan.
"Aku rasa kita punya solusi yang sama, untuk kasus kita yang tidak terlalu jauh berbeda"
Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna setiap ucapan Revan.
"Kita bisa menjadi pasangan. Dengan begitu kita bisa menghindari perjodohan," Jelasnya.
Terkejut ?
Tentu saja, bagaimana bisa dia memintaku menjadi pasangannya. Bahkan kita baru bertemu tiga kali, dan itupun hanya kebetulan.
"Kita baru bertemu beberapa kali, itu kan maksud kamu?" Revan seakan tau isi kepalaku. Aku mengangguk.
"Kita hanya akan menjadi pasangan, bukan langsung menikah. Terkecuali jika akhirnya kita saling tertarik satu sama lain, itu beda cerita"
"Maksudnya kita pura-pura pacaran?"
"Tidak juga, tapi untuk saat ini kita hanya perlu dekat dan saling mengenal satu sama lain secara perlahan. Dengan catatan kita harus mengaku berpacaran di hadapan kedua keluarga kita masing-masing. Bagaimana?"
Aku berfikir sejenak, mempertimbangkan usul Revan. Apa aku harus menerima tawarannya? atau sebaliknya. Jujur aku tidak menyukai Adam sama sekali, dia lelaki agresif yang menyamar menjadi lelaki lugu. Lagipula berpacaran dengan seorang Dokter tidak terlalu buruk, setidaknya akan meredam gosip gagal move on yang pasti sudah menyebar luas di kantor.
Menjalin hubungan dengan seorang Dokter tampan bisa menaikan sedikit harga diriku setelah kemarin aku ditikung teman sendiri.
"Oke. Aku setuju, tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Tidak ada kontak fisik atau sejenis itu." Ucapku, mengangkat kedua jari telunjuk dan tengah, lalu menaik turunkan keatas dan kebawah.
Aku rasa Revan cukup mengerti dengan arti Itu yang aku maksud.
"Aku mengerti," Balasnya.
"Besok kamu sudah boleh pulang. Jika tiba-tiba aku mengaku sebagai kekasihmu mereka tentu tidak akan percaya. Jadi untuk sekarang aku hanya akan melakukan pendekatan seperti pada umumnya. Lalu nanti kita ambil tindakan selanjutnya."
Aku mengangguk menyetujui usul Revan, untuk langkah awal hubungan yang serba dadakan ini. Aku tidak begitu yakin dengan keberhasilannya, tapi aku akan lebih nelangsa jika harus patah hati dan berakhir menikah dengan lelaki m***m.
Tidak ada pembicaraan serius setelahnya, hanya ada obrolan seadanya saling bertanya satu sama lain, anggap saja saling mengenal satu sama lain dam sejauh ini Revan cukup menyenangkan.
Sebuah panggilan mengharuskan Revan turun terlebih dulu. Sebelum pergi, aku sempat berterima kasih karena menolongku di acara pernikahan Alex, tapi justru Revan malah mewanti wanti agar aku tidak melakukan hal konyol. seperti loncat mungkin.
Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Mati sia-sia hanya akan membuat mereka semakin besar kepala,karena telah sukses menghancurkan hidupku. Meski sejujurnya mereka memang berhasil.
Aku akan membuktikan jika aku mampu bertahan dan aku mampu bangkit, senyum licik terbit dari bibirku. Aku sangat penasaran bagaimana reaksi Alex ataupun Mia melihatku dengan mudah mendapatkan pengganti, dan bahagia setelah pengkhianatan mereka.
Tidak berselang lama aku pun menyusul dokter Revan turun. Sebenarnya bisa saja aku turun bersamanya tadi, tapi akan terasa aneh jika kita sama- sama turun dari atap gedung tengah malam.
"Dari mana? Ibu cari dari tadi kamu ga ada."
Aku ingat, sebelum keluar tadi ibu sudah tidur.
Aku tersenyum menghampiri Ibu, aku tau dia pasti akan marah. Dam sebelum itu terjadi, aku segera meraih jemarinya dan duduk di bangkar.
"Nay habis cari angin di luar. Bosan tiduran terus." Ibu masih menatapku curiga,
"Tidurnya bareng disini ya?" Kutepuk ruang kosong di sebelahku, menarik lengan ibu agar bisa berbaring bersama.
Ibu tidak akan melanjutkan pertanyaannya, berbeda dengan Abang yang pasti akan memaksa sebelum mendengar penjelasanku secara detail. Ibu tidak seperti itu, dia akan dengan sabar menunggu, hingga akhirnya aku bercerita dengan sendirinya. Terkadang aku merasa jiwa Abang tertukar dengan Ibu.
Berbagi tempat tidur dengan Ibu membuatku merasa nyaman. Pelukan dan usapan lembutnya di kepala memberiku rasa tenang, hingga tak terasa aku pun tertidur.