Episode 6 Kanaya pov

1467 Kata
Kini aku benar-benar berpacaran dengan seorang Dokter. Itulah yang orang lain tau, realitanya kita hanya sekedar pasangan pura-pura. Tapi tak apa, sejauh ini semua berjalan sesuai rencana. Hanya saja Revan bukanlah penyeimbang yang baik. Bayangkan saja semenjak kesepakatan tempo hari, hampir setiap hari dia menjemputku saat pulang kerja. Awalnya aku tidak keberatan, hanya saja aku merasa kurang nyaman jika harus selalu berada di bawah pengawasannya. Dan karena hal itu juga akhirnya orang- orang mulai menyadari, jika aku kini tengah menjalin hubungan dengan seseorang. Satu bulan setelah kejadian memalukan di pernikahan Alex,menjadi trending topik yang mampu mengalahkan hot gosip artis ibukota. Kini gosip tentang hubungan baruku pun, tak kalah hebatnya. Bagaimana bisa wanita biasa sepertiku bisa dengan mudahnya mendapat pengganti Alex, bahkan dalam waktu singkat. Revan menjadi sorotan dan buah bibir di tempatku bekerja. Terutama kaum hawa yang terlalu lama jomblo. Revan memang tampan, tapi bukan berarti Alex tidak tampan. Alex juga tampan, hanya saja Revan jauh lebih modis dalam berpenampilan. Bayangkan saja, hanya sekedar menjemputku saja dia memakai jam tangan Rolex, kemeja digulung sebatas siku, rambut yang selalu di tata rapi dan jangan lupa kacamata hitam yang tak pernah absen bertengger di hidung mancungnya. Jujur saja aku tertolong dengan fisik Revan, jika anak alay bilang Revan sudah memenuhi syarat menjadi seorang boy friend material. "Lo, nemu dimana tu cowo?" Tanya Sarah, sengaja menghampiri meja kerjaku, jangan lupa juga dengan kedua temannya Rani dan juga Laksmi mengekor dari belakang dan siap mengintrogasiku. Aku tidak terlalu menanggapi rasa ingin tahu mereka, aku hanya tersenyum sambil memasukan beberapa barang-barang kedalam tas. "Kalau ga salah itu cowo yang nolong lo waktu pingsan di acara nikahan Alex. Iya kan?" Tanya Rani, dia pasti masih ingat kejadian itu dan pasti tau soal Revan yang menolongku. "Iya, dia cowok yang waktu itu," Jawabku. "Wah... berlanjut ya, ganteng banget tau." Seru Rani. "Hebat ya, lo cepet banget Move on nya," Sindir Laksmi "Itu harus. Gue duluan ya, ga enak udah di tungguin." Buru-buru aku meraih tas dan berlalu pergi. Berada di antara mereka hanya akan membuat kepalaku semakin sakit. Revan termasuk lelaki yang tidak sabaran, berulang kali dia mengirim pesan setelah sampai di lobi. Aku memang belum sempat membalas pesan yang ia kirim, tapi aku tau jika dia akan datang menjemput karena dari pagi pun dia sudah berulang kali memberitahu. Selain ada beberapa pesan dari Revan yang belum sempat aku baca, aku pun mulai membuka beberapa akun media sosialku. Asyik dengan berbagai berita hingga aku tak menyadari jika kini aku berada di dalam satu lift yang sama dengan Mia. Semenjak menikah dengan Alex, entah sudah berapa kali Mia masih sering mengirim pesan singkat, hanya untuk sekedar menanyakan kabar atau mengajak bertemu. Tidak ada satupun pesan darinya yang aku balas, aku memang merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semenjak hari itu, aku memang lebih memilih menghindar sekalipun tidak sengaja bertemu di pantry atau di dekat mesin photo copy. Ingin rasanya aku tidak perlu bertemu dengannya lagi, tapi itu mustahil mengingat kita masih bekerja di satu kantor yang sama. Entah disengaja atau tidak kita tetap pasti akan bertemu. Mia memang lebih santai menghadapi berbagai gunjingan atau cemoohan orang- orang yang memberinya julukan makan teman. Dia tidak pernah mudah terhasut meski ada beberapa karyawan dengan terang-terangan menyindirnya. Berbeda dengan Mia, aku justru mudah sekali emosi. Meski banyak yang berada di pihakku, tapi tak sedikit pula yang masih menyalahkan diriku dan terlalu bersikap berlebihan. Bahkan tak jarang aku justru berakhir dengan adu mulut atau saling mencemooh di media sosial. Dari lantai 23 sampai ke lobi, bukanlah waktu yang lama. Namun entah mengapa kali ini justru terasa begitu lama. Rasa tak nyaman menunggu pergantian angka yang terlihat di atas pintu, dan sialnya lagi kenapa tak ada satupun orang lain yang datang. Bahkan di jam pulang kantor seperti ini yang biasanya akan berdesakan, kini hanya ada aku dan Mia berdua. "Nay?" Akhirnya Mia bersuara, setelah sama-sama diam. Tapi aku tidak bergeming, aku justru sibuk memainkan ponsel tanpa menghiraukan keberadaannya. "Nay, kita perlu bicara. Sampai kapan kita kaya gini terus?" Itu yang aku minta dulu, waktu pertama kalinya aku tau Mia menghianatiku. Tapi dia tidak pernah menanggapi, atau sekedar memberi penjelasan, bahkan Mia sampai mematikan ponselnya berhari- hari hanya untuk menghindariku . Tapi lihat sekarang? dengan tidak tahu malunya dia mengajakku bicara. Aku masih diam, masih memperhatikan layar ponsel yang sebenarnya tidak ada pesan ataupun hal lain, aku hanya menggeser-geser menu agar terlihat sibuk di matanya. Mia melangkah mendekat, aku hanya diam meski sebenarnya sekuat tenaga aku menahan tubuhku yang gemetar dan hanya bisa aku lampiaskan dengan mengepalkan tanganku. "Nay, please." Mia melangkah semakin dekat, mencoba meraih tanganku. Namun sebelum itu terjadi aku segera menepis tangannya, bahkan aku menatap tidak suka dengan tindakannya. Ting,,, Suara dentingan lift pertanda tujuan sampai, akhirnya menyelamatkanku dari situasi aneh aku dan Mia. aku menghela nafas lega. Aku segera melangkah, namun baru beberapa langkah aku berhenti, tersenyum sinis dan menatap tajam ke arah Mia, "Apa kita saling kenal?" Kulihat raut wajah terkejut, di wajah Mia. Dia terpaku di dalam lift dan terperangah dengan ucapanku. Sejak hari dimana dia menghianatiku, sejak saat itu pula aku memutuskan untuk tidak lagi mengenalnya. Aku berjalan secepat mungkin meninggalkan Mia, menulikan telinga, dan mengabaikan teriakan Mia yang masih memanggil namaku. Hatiku kembali sakit, apa aku harus bersikap seperti ini? berpura-pura tidak mengenalnya? Bagaimanapun juga aku dan Mia pernah sangat dekat, sulit rasanya harus membencinya meski dia teramat sangat menyakitiku. _________ Mobil yang membawaku dan Revan perlahan melaju, meninggalkan gedung kantor. "Kita mau kemana?" Tanyaku, karena seingatku Revan hanya menjemput tanpa memberitahu kemana tujuan selanjutnya. "Ke rumah kamu. Minta izin, mau ngajak kamu ke rumahku besok, di Surabaya." "Kenapa mendadak?" "Nggak, aku udah pernah bilang dari minggu kemarin." "Kamu cuman bilang mau ketemu orang tua kamu, ga bilang itu di Surabaya." "Kamu ga tanya, besok aku cuti jadi kita bisa kesana." "Aku kerja, Rev." "Kamu bisa cuti." "Tapi__" "Ga ada bantahan , oke." Salah satu sifat Revan yang sering membuatku kesal, dia sulit di bantah. Dan entah kenapa aku jadi sering mengikuti kemauannya. Contoh seperti hari ini, meski sebenarnya aku merasa keberatan , tapi aku malas berdebat dan akhirnya memilih diam, mengikuti keinginannya. Revan terkadang bertindak semaunya, tanpa bertanya terlebih dulu padaku. Perlahan mobil melaju membelah jalan menuju Bandung. Bahkan aku belum sempat pulang ke Apartemen untuk sekedar mengganti baju, aku masih mengenakan setelan lengkap dengan tas dan sepatu kerja. Ternyata tanpa sepengetahuanku, Revan sudah mempersiapkan segala sesuatunya dengan terencana, satu hal lagi yang aku tau tentangnya, yaitu Revan tidak pernah melakukan apapun tanpa rencana dan persiapan. Ketika mobil berhenti di Rest area untuk mengisi bahan bakar, Revan juga mengajak istirahat sejenak, terlihat sekali dia mulai lelah. "Ini baju ganti, kamu bisa ganti baju terlebih dulu. Aku tunggu di sini." Revan memberiku satu paperbag berisi baju. "Aku ga tau itu pas atau engga, aku membelinya karena aku merasa kamu pasti cocok memakainya. Semoga kamu suka," Lanjutnya. Kulihat isi paper bag, ada satu dres putih panjang bercorak bunga lily kuning, berlengan pendek, dengan kerah v-neck mengikuti garis sepanjang d**a. Aku tidak tau Revan menyukai perempuan berpenampilan feminim ataupun tomboy, karena selama ini kita tidak pernah membahas apapun soal penampilan masing- masing. Bahkan, meski sempat beberapa kali jalan bareng, aku tidak pernah berdandan seperti perempuan lainnya, aku lebih memilih berdandan biasa dan sewajarnya. Tapi kali ini aku cukup tertarik dengan pilihan Revan, gaunnya terlihat sangat manis. "Dress nya cantik," Ucapku, lalu bergegas mencari toilet untuk mengganti baju. "Cantik, pas di badan kamu." Puji Revan begitu aku kembali. "Terimakasih." "Habiskan dulu makanannya, setelah itu kita lanjutkan perjalanan." Ternyata selama aku berganti pakaian, Revan memesan beberapa makanan. Karena ini sudah jam makan malam, akhirnya aku dan Revan makan terlebih dulu sebelum akhirnya kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa jam berlalu, akhirnya aku dan Revan sampai di Bandung jam sepuluh malam, meleset dari perkiraan yang awalnya aku pikir bisa sampai sebelum jam sembilan. Jalanan yang sedikit macet, membuat jarak tempuh menjadi lebih lambat. Sesampainya di rumah, aku dan Revan di sambut hangat Ibu dan juga Abang yang langsung bergantian memelukku. Tapi itu tidak berlangsung lama, tatapan Abang berubah tajam begitu menyadari aku tidak datang sendiri, melainkan dengan seorang lelaki. Insting detektif Abang langsung bekerja, namun sebelum ia membuka mulutnya untuk menginterogasi, Ibu terlebih dulu mengajakku dan juga Revan masuk. Udara Bandung memang berbeda dengan Jakarta, malam hari bisa sangat dingin dan hidangan mie rebus terenak ala Ibu menjadi menu andalan di saat dingin seperti ini. Perut kenyang rasa kantuk pun mulai menyerang. Aku hendak langsung istirahat dan Revan juga terlihat begitu lelah, jadi kita memutuskan untuk tidur dan akan mengutarakan niat sebenarnya besok pagi. Namun belum sampai ke kamar, kulihat Abang tengah duduk di ruang tamu, memandangku penuh selidik, satu alisnya terangkat dan kedua tangannya di lipat di atas d**a. Aku menghela, tak bisa lagi menghindar. Ini akan menjadi malam yang panjang dan melelahkan. Semoga Revan berhasil meyakinkan Abang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN