Mendadak aku memikirkan akibat dari permainan yang aku buat sendiri. Sejauh ini memang banyak sekali gosip yang bertumpang tindih tentang diriku. Aku tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan keluargaku terutama Ibu.
Bagaimana aku dan Revan bisa pergi ke Surabaya bukanlah perkara mudah, tentu saja tidak semudah kelihatannya dan harus melewati perdebatan alot antara Abang dan Revan. Bahkan berlangsung sampai mendekati pagi hari, jika saja waktu itu Ibu tidak datang, memaksa Abang berhenti, mungkin sampai saat ini Abang masih dengan senang hati menginterogasi Revan.
Aku sempat kasihan melihat Revan yang hanya bisa istirahat beberapa jam, sebelum siang harinya kita langsung berangkat ke Surabaya. Ini bukan pertama kalinya Revan datang ke Bandung. Waktu itu dia pernah datang sekali ketika aku pulang cuti liburan.
Dan semenjak pertama kali Revan datang dan terang- terangan mendekatiku, tentu saja dengan tegas Abang menolak. Selain terlihat sangat mendadak dan cepat dari jarak pertemuan ,hingga Revan berkata jika ia ingin menjalin hubungan serius denganku, Abang juga masih saja keukeuh dengan perjodohannya.
Namun bukan Revam namanya jika ia akan dengan mudah menyerah. Sempat aku berfikir jika Revan akan menyerah di pertemuan kedua dengan Abang. Tapi ternyata dia masih bertahan hingga pertemuan-pertemuan berikutnya, meski harus bersabar menghadapi sikap Abang yang sangat menyebalkan.
Entah apa yang Revan katakan pada ibu dan Abang, sehingga pada akhirnya Abang mengizinkan aku ikut dengannya. Bahkan ketika aku pamit pun , tidak ada reaksi berlebihan yang sering Abang lakukan jika aku pergi dengan seorang lelaki. Kali ini Abang hanya berpesan agar aku menjaga diri dan bersikap baik di rumah Revan. Aneh!
Revan tidak pelit memberikan informasi tentang dirinya, dia memberitahuku semua hal dari mulai makanan sampai kebiasaan yang sering di lakukan nya. Aku cukup terbantu dengan informasi itu, setidaknya aku tidak akan terlihat aneh dan kaku jika sudah tau kebiasaan.
Akhirnya aku dan Revan berangkat ke Surabaya menggunakan transportasi udara, selain bisa lebih menghemat waktu, juga tidak terlalu memakan banyak waktu terbuang.
Setibanya di Surabaya, kehadiranku disambut baik keluarga Revan. Aku dikenalkan dengan kedua orang tua nya dan kedua saudara kandungnya. Revan memiliki seorang kakak laki-laki bernama Reno, dan satu adik perempuan bernama Reva. Wajah mereka bertiga hampir serupa, bahkan Revan mirip sekali dengan adik perempuannya , Reva. Seperti saudara kembar.
Sambutan hangat dari keluarga Revan membuatku sedikit merasa lega, karena sepanjang perjalanan tubuhku mendadak gemetar. Aku gugup bertemu dengan keluarga Revan, bahkan aku sempat takut jika aku akan diperlakukan tidak baik ,seperti yang banyak ditayangkan sinetron yang sering Ibu dan bi Asih tonton.
Tapi ternyata keluarga Revan menyambutku dengan baik, bahkan tante Devi, mamanya Revan terus mengajaku bicara tanpa melepaskan tautan tangannya dengan tanganku .
"Kamu sakit?" Aku tengah merapikan beberapa pakaian yang aku bawa di koper, sehingga tidak menyadari kehadiran Revan.
"Nggak," Jawabku.
Revan mendekat, duduk di tepian tempat tidur di sebelahku.
"Kamu pucet banget," lanjutnya.
"Benarkah?" Aku memegang kedua pipiku, memeriksa. Revan mengangguk.
Dari jarak sedekat ini , aku bisa melihat dengan jelas wajahnya. Dia nampak mempesona, hidung mancung, rahang tegas, dan bibir tipisnya sungguh menggoda.
Tunggu , apa yang aku pikirkan?
Buru-buru kutepis pikiran liarku, membuang muka dan menatap jendela kamar.
"Kamu pasti capek, istirahat dulu. Nanti jam tujuh malam kita makan bareng keluargaku." Aku mengangguk.
Revan keluar dari kamar, diikuti mataku yang masih menatap punggungnya hingga hilang di balik pintu.
Selesai membersihkan diri, memakai bedak tipis-tipis dan sedikit perona pipi agar terlihat segar. Tidak lupa aku memulas bibir dengan lipstik berwarna peach andalanku, senada dengan dress yang aku kenakan malam ini.
Makan malam berjalan dengan baik, sepertinya keluarga Revan memang menerima kehadiranku. Berbagai jenis hidangan tersaji di atas meja, bahkan hampir memenuhi semua permukaan meja. Dari mulai lauk pauk dan berbagai jenis tumis sayur yang begitu menggugah selera.
"Tante gak tau apa yang kamu sukai, jadi tante masak banyak," Ucap tante Devi.
"Nay, suka apa aja kok tante.Terimakasih udah repot-repot masakin makanan enak." Sejujurnya aku memang tidak pilih- pilih dalam hal makanan, dan melihat berbagai jenis hidangan yang tampak begitu lezat, membuat cacing di perut berlomba-lomba, minta diberi makan.
"Kalau gitu makan yang banyak, jangan sungkan. Anggap rumah sendiri," Om Herman, papanya Revan ikut menimpali.
Aku menyukai sikap hangat om Herman, mengingatkanku pada almarhum Ayah. Dulu aku pun sering makan malam bersama ,lengkap dengan Ayah,Ibu dan juga Abang.
Tante Devi dengan antusias menyodorkan berbagai jenis hidangan padaku, begitu juga dengan yang lain. Mereka sesekali mengajak bicara, obrolan hangat antar keluarga yang harmonis. Sejauh ini permainanku bisa dibilang sukses. Hanya Reva yang jarang sekali bicara, dia hanya akan bersuara jika ditanya, sikap dinginnya sempat membuatku berpikir mungkin dia tidak menyukaiku. Tatapan tajamnya seolah mengawasiku. Atau mungkin dia satu-satunya orang yang menyadari, jika aku hanya pacar pura-pura Revan.
Sedangkan Reno, kakak tertua Revan. Dia orang yang mudah sekali berbaur dengan orang baru. Sikapnya hangat, dan juga ramah. Reno sempat mengajak ikut acara liburan keluarga, bulan depan sebelum acara pertunangannya dengan Gadissa, kekasihnya. Menurut cerita tante Devi, Reno dan Gadissa sudah berpacaran dari mereka masih SMA, dan rencananya mereka akan segera melangsungkan pertunangan, sebelum acara pernikahannya tahun depan.
Selesai makan malam, semua berkumpul di ruang keluarga. Bercengkrama sambil menikmati cemilan yang dibuat tante Devi.
Tante Devi pandai membuat cemilan- cemilan enak, bahkan semua hidangan tadi juga hasil masakannya sendiri. Asisten rumah tangga hanya membantu menyiapkan saja.
Tidak ada interogasi seperti yang dilakukan Abang. Keluarga Revan justru terlihat lebih santai. Tidak ada pertanyaan yang sempat aku takutkan sebelum sampai ke Surabaya, hanya saja om Herman sempat bertanya tentang keluargaku. Tapi begitu aku menjelaskan jika aku hanya tinggal memiliki Ibu dan Abang, sedangkan Ayah sudah meninggal semenjak aku kelas dua SMA. Om Herman tidak lagi bertanya tentang keluargaku. Justru dia terlihat begitu menyesal, karena tanpa sengaja bertanya. Aku rasa itu wajar, karena kebanyakan orang akan merasa tak enak hati jika bertanya tentang seseorang yang sudah tiada.
Tapi bukan hanya itu yang membuatku merasa terharu, justru om Herman berkata jika mulai hari ini aku punya Ayah baru, yaitu dirinya. menurutnya Ayah Revan, Ayahku juga. Mataku berkaca-kaca begitu mendengarnya.
Tidak terasa waktu berjalan cepat, jam menunjukan hampir tengah malam. Semua penghuni berpamitan menuju kamar masing-masing. Hanya menyisakan aku dan Revan yang kini berada di teras belakang dekat kolam renang, menikmati teh panas dicampur madu buatan tante Devi.
"Kamu berhasil merebut perhatian keluargaku, terutama Mamah. Padahal baru pertama kali bertemu."
"Berbeda dengan keluargaku . Terutama Abang, iya kan?" Revan tertawa.
"Apa yang kamu bicarakan sama Abang? " Tanyaku . Aku memang penasaran dengan pembicaraan mereka malam itu.
"Ngga ada.Aku cuman bilang , aku serius sama kamu dan jika suatu hari aku nyakitin kamu, Abang boleh memukul, ataupun ngelakuin apa aja."
Seharusnya aku terharu atau senang mengetahui janji Revan, tapi kenyataanya aku justru merasa sebaliknya.
"Kenapa ngomong kaya gitu? kita cuman __"
"Mungkin mamah akan senang kalau kamu emang beneran calon istri aku," Revan memotong pembicaraanku, bahkan dengan sengaja mengalihkan topik pembicaraan.
"Sudah malam. Istirahat, kamu pasti capek." Revan beranjak dari kursi.
"Kita ngasih harapan palsu, dan itu gak baik jika dibiarkan terus berlarut-larut." Aku tetap ingin melanjutkan pembicaraan, aku mendongak menatap Revan berharap dia mengerti maksud ucapanku.
"Setidaknya aku berhasil membawa seseorang ke rumah, dan menghindari perjodohan di bawah umur." Seulas senyum tipis terbit dari bibir Revan.
"Tapi ini gak bisa dibiarkan terus-menerus. Hubungan kita akan sejauh apa?" Entah apa yang ada di pikiranku hingga dengan berani, aku melontarkan pertanyaan seperti itu, hingga detik berikutnya sangat aku sesali.
"Maksud kamu?" Revan kembali duduk, kini ia duduk lebih dekat.
"Kita ga mungkin selamanya terus bersandiwara. Kita punya kehidupan masing-masing. Kamu bisa cari wanita yang kamu cintai, tanpa harus berpura-pura seperti ini."
Aku tidak ingin menjadi perempuan egois yang memanfaatkan kebaikan seseorang. Termasuk Revan dan keluarganya. Mereka akan sangat kecewa jika suatu hari mereka menyadari kebohonganku.
"Bagaimana jika ini bukan sandiwara?"
Revan tersenyum, menarik dan menggenggam tanganku. Ibu jarinya mengelus lembut punggung tanganku. Ini pertama kalinya kontak fisik yang kita lakukan tanpa embel-embel untuk keperluan akting semata. Aku tidak bisa mengingkari sentuhan Revan membangkitkan rasa aneh yang menjalar hangat hingga ke hati.
"Rev," Belum sempat untuk menyelesaikan kalimat, Revan terlebih dulu mendekat, membungkam mulutku dengan bibirnya.
Astaga dia menciumku!
Aku terkejut menerima ciumannya, tapi aku tidak bisa menolaknya. Bahkan aku tidak ingat sejak kapan aku membuka mulutku, membalas ciumannya. Sapuan lembut lidahnya membelai setiap inci bibirku, menelusup semakin dalam dan menuntut. Jantungku terasa panas, dan persendian terasa lemas. Ku pegang erat pundaknya sebagai pelampiasan tubuhku yang gemetar, rasa hangat menyebar keseluruh tubuh, melemahkan otak dan pikiranku. Aku mencengkram kemeja yang dikenakannya, ketika ciumannya semakin menggila.
Entah berapa lama kita berciuman hingga perlahan Revan melepaskan ciumannya, manik hitam matanya menatap dalam mataku. Kutundukan wajah, menyembunyikan rona pipiku yang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Telunjuknya perlahan mengangkat daguku, mempertemukan kembali mataku dan matanya, membuatku semakin tak kuasa menahan malu. Senyum tipis terlihat di bibir merahnya akibat ulahku. tunggu,jadi aku yang membuat bibir Revan merah dan sedikit bengkak? astaga!
Apa yang aku lakukan?
Menghindari suasana canggung, aku segera berlari meninggalkan Revan tanpa berkata apapun. Sepanjang malam aku merutuki perbuatanku. Meski sejujurnya aku pun terbawa suasana dan menikmatinya. Kutepuk-tepuk wajahku berulang kali, berharap yang terjadi hanyalah mimpi.