Aku pikir semalam hanyalah mimpi, dan berharap itu hanya mimpi. Rupanya tidak.
Hingga mendekati dini hari, aku tak bisa memejamkan mata. Aku sungguh tak sanggup jika harus mengingat bagaimana dengan canggungnya aku memilih pergi, ketika Revan melepas ciumannya. Aku yakin wajah dan rambutku pasti sama-sama berantakan dan terlihat bodoh.
"Kamu gak apa-apa?"
Satu pesan yang Revan kirim, beberapa saat setelah aku sampai di kamar. Aku hanya menatap layar ponsel tanpa membalas. Jika Pun aku balas,apa yang harus aku katakan?
"Tentu, aku baik-baik saja," apa harus seperti itu?
Padahal justru aku merasakan sebaliknya, jantungku masih berdetak kencang hingga harus berulang kali menetralkan, dan menghirup udara dari hidung dan perlahan membuangnya dari mulut. Sejenak aku mulai merasa tenang, tapi begitu kembali teringat, jantungku justru kembali menggila.
Aku hanya tidur tiga jam, begitu alarm di ponsel berdering memekakan telinga, aku baru sadar ini sudah jam enam pagi. Rasa kantuk yang tak bisa aku tahan, membuatku malas membuka mata dan ingin kembali menenggelamkan tubuhku di balik hangatnya selimut. Tapi tidak mungkin aku bangun tengah hari di rumah calon mertua, walaupun sebenarnya bukan calon mertua sungguhan.
Entah karena efek kurang tidur atau karena terlalu lelah, badanku terasa sangat sakit, sekujur tubuhku terasa ngilu bahkan telapak tanganku terasa jauh lebih hangat dari biasanya.
Dengan malas aku beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi. Mungkin dengan berendam di air hangat bisa membuat tubuhku terasa lebih segar.
Baru beberapa langkah, terdengar suara ketukan dari arah luar pintu, menghentikan langkahku.
"Nay, udah bangun?" Terdengar suara dari luar.
Astaga, itu suara Revan! Aku belum siap bertemu dengannya, bagaimana ini? Aku kelimpungan sendiri, bagaimanapun juga aku malu bertemu dengannya, setelah ciuman semalam.
"Nay?" Suara Revan terdengar lagi. Ingin rasanya aku menenggelamkan diri, atau menghilang tiba-tiba, untuk menghindari Revan. Namun tidak ada pilihan lain, terpaksa aku membuka pintu dengan perlahan, dan sengaja aku hanya membuka sedikit, memperlihatkan separuh wajahku. Meski canggung dan malu, aku menatap Revan sekilas, dan kembali buru- buru menunduk, lalu menguap pura-pura masih ngantuk.
"Aku mau ajak kamu jalan pagi, bareng Mamah dan juga Reva." Revan bersikap seperti biasanya, meski masih terdengar sedikit canggung.
"Oh.. Iya, Aku mau bersih-bersih dulu sebentar."
"Aku tunggu di depan ya?" Aku mengangguk. Sebelum ada pembicaraan lebih lanjut, aku bergegas menutup pintu, menyandarkan dahiku di balik pintu.
"Bodoh,,,bodoh," gumamku, sambil membentur-benturkan kepala.
Pemandangan yang selalu ingin aku hindari, dan membuatku ketakutan setiap kali melihatnya, aku menghela nafas berat. Inilah yang selalu menjadi ketakutanku beberapa bulan terakhir, lebih tepatnya semenjak enam bulan yang lalu.
Seharusnya bukan hal yang aneh ketika seorang perempuan melihat bercak darah di celana dalamnya, karena itu merupakan hal wajar, yang menjadi siklus bulanan untuk kaum wanita normal pada umumnya. Tapi tidak denganku.
Pantas saja begitu bangun tidur tubuhku terasa sakit, bahkan kini aku mulai merasa suhu tubuhku mulai naik. Tangan dan juga dahiku mulai mengeluarkan keringat dingin.
Rasa sakit mulai terasa, membuat sebagian tubuhku mati rasa. Hanya perut dan pinggang yang terasa bagai ditusuk-tusuk benda tajam. Aku ingat ajakan Revan, dan mungkin saja dia masih menungguku, di luar. Tidak mungkin aku bisa berjalan dengan kondisiku seperti ini, bergegas aku mengirim pesan singkat, memberi taunya jika aku merasa kurang sehat, dan pusing menjadi alasannya.
Aku kembali ketempat tidur, setelah meminum obat pereda nyeri yang biasa dikonsumsi. Beristirahat sejenak mungkin bisa mengurangi rasa sakit dan akan membaik setelah istirahat.
Sayup-sayup aku mendengar pintu terbuka, derap langkah kaki semakin mendekat. Aku masih memejamkan mata tanpa tau siapa yang datang. Namun dari aroma parfumnya yang begitu familiar, itu pasti Revan.
"Nay, kamu baik-baik saja?" Tanya Revan. Perlahan kasur bergoyang, Revan duduk persis di sebelahku. Dengan enggan aku membuka mata, menatap sorot mata Revan yang terlihat khawatir. Aku masih meringkuk memegangi perut dengan kedua tanganku. Revan mencondongkan tubuhnya, meletakkan telapak tangannya di dahiku, memeriksa suhu tubuhku yang mulai naik.
"Sakit lagi?" Tanyanya, terdengar cemas.
"Bulanannya datang," Ucapku, masih menahan rasa sakit yang kian menjadi.
"Sakit banget?" Revan menarik satu tanganku menautkan jemarinya dengan jemariku, aku hanya mengangguk sebagai jawaban.
Aku semakin meringis kesakitan, rasa sakit yang terasa semakin menjalar hingga ke pinggang, membuatku melepas genggaman Revan dan kembali mencengkram perutku.
"Kita ke Rumah Sakit ya?" Ajak Revan.
"Aku udah minum obat, gak usah ke Rumah sakit." Aku menggeleng, menolak ajakan Revan.
"Kamu bikin aku ketakutan, Nay. Dari tadi dipanggil ga jawab."
"Aku cuman butuh istirahat aja, bentaran juga sembuh."
"Ke Rumah Sakit aja ya?" Revan tetap memilih Rumah Sakit sebagai pilihan tepat, aku justru tidak ingin kembali berakhir di rawat di tempat itu.
"Kenapa harus ke Rumah Sakit? Dokternya aja ada disini."
"Nay, aku serius!"
Aku tak ingin mendebat Revan, terlalu lemas hanya untuk sekedar melayani ucapannya.
"Sini!"
Aku menepuk sebelah ruang kosong, di sebelahku. Tanpa bantahan, Revan merebahkan tubuhnya di sebelahku. Satu tangannya menarik tubuhku ke dalam pelukannya, dan menjadikan lengannya sebagai bantalan kepala. Kupejamkan mata dan membalas pelukan Revan. Sejenak melupakan kejadian semalam, dan bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Bahkan, aku justru membenamkan wajahku di d**a bidangnya, menghirup aroma lembut tubuhnya yang membuatku semakin merasa nyaman. Detak jantungnya terdengar seperti menghipnotisku, seperti musik klasik pengantar tidur.
"Seperti ini aja dulu, aku mau tidur," Gumamku, membuat Revan semakin mengeratkan pelukannya. Aku sungguh tidak tahu malu, memintanya memelukku, tapi pelukan Revan benar- benar terasa nyaman dan hangat. Entah karena efek obat atau karena pelukan Revan, rasa sakit itu perlahan memudar, hingga akhirnya aku kembali terlelap.
Selama ini aku selalu berharap ketika aku memejamkan mata di malam hari, dan membuka mataku di pagi hari aku bisa melupakan semua kejadian buruk yang terjadi di hidupku dan kembali memulai hidup dengan baik. Hanya itu yang selalu aku harapkan. Namun untuk kali ini, aku mengharapkan sesuatu yang lain. Aku ingin tertidur dan bangun berada di pelukan lelaki yang kini mendekapku.
Terlalu serakah jika aku berharap seperti itu?
Bahkan di saat pelukan Revan mampu mengurangi rasa sakit sekalipun, bukan hanya sakit yang kini menggerogoti tubuhku, tapi juga rasa sakit yang di torehkan Alex dan juga Mia.
Lalu, bagaimana jika hanya aku yang memiliki perasaan ini? sendirian?
Haruskah aku patah hati untuk kedua kalinya?
Aku tak akan sanggup jika harus kembali mengalaminya, merasakan kembali bagaimana aku bisa menjadi orang lain ketika patah hati.
Baiklah, untuk hari ini saja aku membiarkan hatiku bahagia, hanya untuk sekedar penghantar tidur tidak lebih. Karena ketika aku bangun, aku harus kembali ke rencana awal. Untuk kali ini saja aku menuruti kata hati , membiarkan naluri bekerja dan meninggalkan logika untuk sementara.
Entah berapa lama aku tertidur, karena begitu sadar langit yang semula terang kini sudah gelap. Tirai jendela tertutup menyisakan lampu tidur yang berada di sebelah tempat tidur. Revan tak lagi berada di sebelahku, serasa di ingatkan aku mulai menyadarkan diri jika aku harus kembali pada rencana awal, tidak ada hati yang ikut terlibat.
Aku melihat setiap penjuru ruangan, dan betapa terkejutnya aku begitu melihat jam menunjukan pukul enam sore hari. Aku tidur apa tidak sadarkan diri? bagaimana bisa selama itu aku tidur. Hampir delapan jam lebih, karena seingatku Revan masuk ke kamar jam sepuluh pagi, setelah itu aku tidak ingat apapun lagi.
Perlahan pintu terbuka, aku berharap itu Revan. Tapi ternyata bukan begitu sosok perempuan cantik membawa nampan masuk, tersenyum ramah menghampiriku.
"Sudah lebih baik, sayang?" Tante Devi menaruh nampan berisi bubur panas, yang masih mengepul dan juga teh madu serta segelas air putih.
"Sudah mendingan tante. Maaf aku ngerepotin." Aku merasa tak enak hati, merepotkan keluarga Revan dengan kondisiku seperti ini.
"Nggak, sayang. Tante justru senang, Revan membawamu kesini. Makan dulu ya, tante buatin bubur." Tante Devi meniup bubur di sendok, menyuapiku dengan perlahan.
"Revan kemana tante?" Tanyaku,, karena smenjak bangun aku belum melihatnya lagi.
"Dia panik begitu melihat kondisi kamu, jadi dia pergi ke Klinik milik temannya, cari obat."
"Aku sakit, jadi ngerepotin semua orang. Maaf ya tante." Tante Devi menaruh mangkuk di meja, merengkuh tubuhku yang mulai bergetar
"Tante gak merasa repot sama sekali. Justru tante senang bisa merawat kamu. Mulai hari ini kamu bagian dari keluarga ini, jadi tidak perlu merasa bersalah, mengerti?" Aku mengangguk samar, dan mulai terisak di pelukan tante Devi. Bahkan di pertemuan pertama pun, aku sudah membuat repot keluarga, Revan. Namun, mereka dengan baik hatinya merawatku, lalu bagaimana jika suatu hari mereka tahu semua kebohonganku. Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana kecewanya mereka padaku.
"Nanti, tante beliin obat herbal ya? kita sama-sama harus bisa melawan penyakitnya." Sapuan tangan hangat tante Devi menyeka air mataku. Mungkin Revan sudah bercerita mengenai kondisi dan juga penyakitku, karena tante Devi tidak bertanya apapun tentang kondisi kesehatanku. Dia hanya menyuapiku bubur, kemudian pergi setelah aku menghabiskan satu mangkok bubur dan satu cangkir teh madu hangat.
Berselang satu jam, Revan datang membawa satu plastik berisi obat-obatan .
"Udah mendingan?" Tanya Revan. Dia menghampiriku dan duduk di sebelah ruang kosong ranjang tempatku.
"Sudah. Maaf ya, ngerepotin," lirihku.
"Kamu hampir bikin aku jantungan," Revan mengelus rambutku hingga ke sisi wajahku.
"Jangan sakit lagi, aku takut lihat kamu kaya tadi." Kecupan hangat mendarat di puncak kepalaku, mengalirkan gelenyar aneh hingga ke hatiku.
Tolong jangan katakan jika, aku mulai menyukainya.