Aku menghela nafas lelah. Bahkan aku hampir memuntahkan semua roti yang aku makan, mendengar Abang yang masih berceloteh sejak lima belas menit lalu.
"Abang gak cape? Dari tadi ceramah terus kaya Pak Ustad di pengajian?"
"Kenapa kamu di Surabaya sampai tiga malam? Ijinnya cuman dua malam." Ternyata Abang masih mempermasalahkan kepulanganku dari Surabaya, yang molor satu hari.
"Ada apa sih! Ko ribut banget." Ibu datang membawa segelas s**u coklat hangat kesukaanku.
"Penyakit Abang kumat Bu." Jawabku sambil menyeruput s**u coklat hangat buatan Ibu. Seketika Abang melirik dengan tatapan tajam. Bahkan ia mengunyah roti dengan kasar, seperti ingin menunjukan jika dia benar-benar marah.
"Sekarang Abang punya banyak waktu, untuk mendengar penjelasan dari kamu."
"Revan udah kasih kabar kan? Kita pulang terlambat karena aku sakit. Udah gitu keluarga Revan kekeh, gak bolehin aku pulang sebelum aku benar-benar udah baikan." Ini merupakan kesekian kali nya aku menjelaskan dengan alasan yang sama, tapi Abang masih ngotot bahkan terus mendesakku untuk jujur. Padahal aku memang benar-benar sakit.
"Yang penting sekarang Nay udah sampai rumah, Bang. Revan juga kasih kabar ke Ibu." Ibu membelaku.
Hanya suara lembut Ibu yang mampu meluluhkan kerasnya sifat Abang.
"Sekarang sudah baikan, kan?" Nada bicara Abang sudah turun satu oktaf, tidak sekencang tadi. Bahkan raut wajahnya yang tegang kini mulai melunak,tidak seperti singa lapar lagi.
"Nay udah mendingan," jawabku.
Abang mengangguk sambil menyeruput kopi hitam hingga tandas. Abang beranjak dari kursi, berdiri menghampiri ibu yang masih duduk di sebelahku.
"Abang, berangkat kerja dulu ya Bu." Ucapnya, meraih tangan Ibu dan menciumnya.
"Iya hati-hati di jalan." Ibu mencium kening Abang.
"Dan kamu. Istirahat yang cukup, makan yang banyak, jangan bandel kalau di kasih tau!" Satu lengan Abang mengacak-acak rambutku.
"Jangan sakit lagi." Lanjutnya sambil mengecup puncak kepalaku.
"Iya," balasku.
Abang memang cerewet, bahkan melebihi Ibu. Tapi aku tau sebenarnya dia sangat menyayangiku dan juga Ibu. Setelah Abang berangkat kerja, kini tinggal aku dan Ibu di rumah. Sedangkan bi Asih, asisten rumah tangga yang membantu Ibu, akan datang pukul sepuluh.
Ibu memiliki toko bunga tak jauh dari rumah. Ibu memang menyukai bunga, jadi Abang memberi ibu sebuah toko kecil untuk dikelola, agar Ibu tidak merasa kesepian selama Abang kerja. Aku jarang pulang ke Bandung, hanya seminggu sekali bahkan bisa dua minggu sekali di akhir pekan.
Apa kini aku tengah berlibur di Bandung?
Jawabannya tentu saja tidak.
Aku meliburkan diri, lebih tepatnya di paksa meliburkan diri, dan tentu saja pelaku yang memaksaku adalah Revan. Bertambah satu lagi lelaki possessive dalam hidupku, setelah Abang Ramzi.
Ternyata Revan tak kalah possessive nya seperti Abang. Ketika aku sakit di rumahnya tiga hari yang lalu, aku merasa tak enak hati, karena merepotkan banyak orang. Bahkan tante Devi harus bolak balik membuatkan bubur, menyuapiku dan merawatku dengan baik. Aku tersentuh dengan perlakuan baik keluarga Revan.
Sekarang ini apapun yang aku lakukan harus dengan persetujuan Revan, jangan tanya lagi bagaimana hebohnya perdebatan ku dengannya hanya karena aku ingin bekerja dan dia tetap bersikeras memaksaku libur.
Aku tidak perlu repot-repot memberi surat keterangan sakit kepada pihak kantor, karena orang suruhan Revan sudah terlebih dulu mengurusnya,lengkap dengan surat keterangan sakit.
Awalnya aku hanya akan beristirahat di Apartemen untuk beberapa hari. Belum sempat aku menginjakan kaki di apartemen,Revan sudah terlebih dulu membawaku ke Bandung. Revan beralasan jika dia sibuk ada banyak jadwal operasi, sehingga dia tidak bisa menaniku setiap hari. Jadi,dia memilih membawaku ke Bandung.
Berulang kali aku meyakinkan Revan jika aku baik-baik saja. Tapi berulang kali juga dia menegaskan,aku harus istirahat dan akan lebih baik aku di Bandung. Tidak lupa dia juga membekaliku berbagai jenis obat-obatan hampir satu kantong plastik besar. Berlebihan sekali!
"Mau di rumah aja?" Tiba-tiba ibu datang menghampiriku yang hanya duduk,bermalas-malasan di ruang TV. Tidak ada acara yang menarik, aku hanya memindah-mindah channel TV, tanpa minat.
"Nay mau dirumah aja,Bu."
"Ga bosen?"
"Bosen banget." Aku menghela, menaruh remote Tv di meja, "Nay gak enak sama teman-teman yang lain,Bu. Izinnya terlalu lama, padahal Nay udah sembuh." Ibu tersenyum mendengar rajukan ku.
Satu tangannya meraih tanganku, jarinya mengusap lembut punggung tanganku.
"Kamu bahagia sekarang?" Aku menatap kedua bola mata Ibu, mata teduh yang selalu membuatku merasa dikasihi dengan sepenuh hati.
"Nay bahagia,Bu. Ibu ga perlu khawatir." Aku tau Ibu pasti masih mengkhawatirkan kondisiku.
"Bagaimana keluarga Revan? Apa mereka semua baik sama kamu?"
"Mereka semua sangat baik. Bahkan tante Devi ngasih obat herbal sampai satu kardus mie instan." Ibu terkekeh sembari mengelus rambutku.
"Kamu tahu, jika kamu menjalin suatu hubungan serius,mendapat restu dari orang tua itu penting? Karena ketika kamu memutuskan menikah, bukan hanya pasangan baru yang kamu miliki. Tapi, juga keluarga baru yang sama-sama harus kamu sayangi dan hormati. Ibu senang mendengar keluarga Revan memperlakukanmu dengan baik, itu tandanya mereka menyukaimu." Ucap Ibu. Seulas senyum tulus terbit dari bibirnya, senyum hangat yang mampu menembus hingga ke relung hatiku paling dalam.
Hanya saja jauh di lubuk hatiku,aku merasa sangat bersalah membohongi Ibu,bahkan aku juga membohongi keluarga Revan. Ibu pasti sangat kecewa,jika tahu aku dan Revan hanya berpura-pura menjalin hubungan. Bahkan bukan hanya Ibu yang akan kecewa, tapi keluarga Revan juga akan sangat kecewa.
Membayangkan orang-orang yang kita sayangi kecewa,membuatku ragu untuk menceritakan yang sebenarnya. Tapi ini hanya soal waktu,satu hari nanti mereka pasti akan tahu sandiwara antara aku dan Revan. Bagaikan bom waktu yang setiap saat bisa saja meledak tanpa bisa kucegah.
Seharian aku hanya makan,nonton dan tidur. Ibu Mengajakku berkeliling dekat rumah dan melihat toko bunga miliknya, tapi aku malas dan memilih berdiam diri di dalam rumah. Siang hari hanya dihabiskan dengan tidur, akhirnya begitu malam hari tiba, aku justru tidak merasa ngantuk sama sekali. Berulang kali aku membuka ponsel membuka akun i********:,membaca berita dari berbagai akun gosip yang membahas skandal artis Ibukota. Setelah dirasa cukup membaca artikel gosip, kini aku beralih melihat akun w******p, berharap ada pesan masuk dari salah satu teman kantor, namun tak ada satupun dari mereka yang mengirimiku pesan.
Ada satu kontak yang hanya aku pandang sejak tadi. Kontak milik Revan. Berulang kali aku mencoba mengirim pesan padanya, namun berulang kali juga ku urungkan. Aku ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang, karena semenjak kemarin malam, Revan belum sekalipun mengirim pesan atau memberiku kabar.
Kucoba membuka akun media sosial milik Revan. Tidak ada postingan apapun, bahkan terakhir kali dibuka dua bulan terakhir, tidak ada foto ataupun postingan terbaru. Dari sekian banyak followers yang dimilikinya, sebagian besar adalah wanita, ternyata dia lebih populer dari yang aku kira.
Mencoba menghitung dari satu sampai seratus, bahkan aku memutar berbagai lagu penghantar tidur agar aku bisa tertidur, namun mata ini sulit sekali untuk terpejam. Aku beranjak dari tempat tidur hendak membuat s**u coklat panas di dapur, mungkin minum s**u coklat panas bisa membantuku lebih cepat tertidur. Baru beberapa langkah dan belum sempat membuka pintu kamar, terdengar sayup-sayup ponselku berbunyi. Segera aku raih ponsel dan langsung menerima panggilan begitu aku melihat nama yang tertera di layar ponsel.
"Hallo."
"Sudah tidur?" Terdengar suara Revan dari seberang sana. Baru satu menit yang lalu aku memikirkannya, membuatku harus menggigit bibirku,menahan pekikan yang ingin sekali keluar dari mulutku begitu aku mendengar suaranya.
"Belum. Kamu sendiri belum tidur?"
"Belum juga, baru pulang kerja,baru selesai operasi. Pengen ketemu kamu."
Aku meremas ujung baju tidurku,menahan gejolak yang kini melanda hatiku.
"Esok Kan kesini, sekalian jemput." Sekuat tenaga aku berusaha tenang..
"Aku mau ketemunya sekarang, gimana?"
"Udah malem, besok aja."
"Tapi aku udah di depan rumah kamu, giman dong?"
"Ha?"
Aku terlonjak, berlari menuju jendela kamar untuk memastikan. Benar saja di depan rumah terlihat seorang lelaki tengah bersandar di dekat pintu mobil hitam, satu tangannya masih memegang ponsel dan satu tangannya lagi melambai ke arahku.
"Revan!"
"Boleh minta tolong buka pintu. Di sini dingin banget."
Tanpa membalas ucapannya, aku segera keluar membuka pintu.
Revan benar-benar berhasil membuat hatiku bekerja dua kali lipat dari biasanya.