Satu Minggu kemudian, Freya kembali bekerja walau tidak mendapatkan izin dari sang suami. Wanita itu sangat keras kepala, semakin Arsen melarang keras keinginannya untuk bekerja, semakin keras juga Freya memberontak.
Sore itu Freya tampak sibuk melayani tamu yang cukup ramai datang ke hotel untuk menginap. Hingga ia tidak sadar saat seseorang memperhatikannya dari kejauhan. Orang itu adalah Arsen yang baru tiba di lobi hotel beberapa menit lalu setelah menyelesaikan pekerjaannya. Ia datang untuk mengecek langsung bagaimana keadaan Freya di hari pertamanya bekerja.
"Aku benar-benar enggak nyangka ternyata di dunia ini ada wanita yang sekeras kepala dia. Sudah tahu sedang hamil tapi masih saja keras kepala pengen kerja. Freya, Freya ... kamu adalah wanita yang sangat sulit untuk diatur. Aku harus mencari cara agar bisa mengaturmu!" Arsen bergumam di dalam hati saat kembali teringat dengan perdebatan kecil mereka pagi tadi, sebelum pria itu pergi ke perusahaan.
Mengingat kejadian itu membuat Arsen mengulas senyuman tipis. Ia baru memahami istilah bahwa wanita tidak pernah salah. Namun, seketika senyuman itu memudar begitu saja saat Arsen melihat raut wajah Freya yang berubah.
"Mutia, bisa tolong gantiin aku sebentar enggak?" Freya yang baru selesai melayani tamu, berjalan sempoyongan menghampiri salah satu rekannya yang sedang istirahat.
"Kamu kenapa, Freya?" Mutia pun segera bangkit dari duduknya, raut wajahnya tampak panik melihat Freya yang pucat.
"Kepalaku pusing banget, Mut."
"Ya ampun, Freya. Kenapa kamu enggak bilang dari tadi sih biar aku gantiin dan kamu bisa istirahat."
Mutia pun segera menarik tubuh Freya untuk diajak duduk, ia berniat akan meminta bantuan agar Freya segera dibawa ke ruang khusus karyawan dan dapat beristirahat sejenak, sementara dirinya berjaga di meja resepsionis. Namun, baru beberapa langkah Mutia beranjak pergi tiba-tiba saja tubuh Freya ambruk.
Melihat hal itu Arsen pun segera berlari menghampiri Freya. Pikiran dan hatinya benar-benar cemas melihat sang istri dengan kondisi seperti itu.
"Freya ...."
Freya yang kesadarannya belum hilang sepenuhnya mengerjap beberapa kali saat ia samar-samar melihat wajah suaminya. Bahkan telinganya mendengar Arsen beberapa kali memanggil namanya.
"Mas Ar—" Belum sempat memanggil nama itu untuk memastikan keberadaannya, tiba-tiba saja Freya tak sadarkan diri.
***
Setelah cukup lama tidak sadarkan diri akhirnya Freya perlahan demi perlahan mengerjapkan mata. Namun, ruangan sekeliling yang ditatapnya saat ini terasa mewah dan asing. Freya pun mulai bingung dengan keberadaannya kini.
Mengetahui Freya sudah sadar, Arsen pun langsung mendekat, dan berdiri tepat di samping ranjang yang dibaringi sang istri.
"Kamu sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Apa ada sakit yang kamu rasa?" Arsen langsung mengajukan pertanyaan untuk memastikan kondisi sang istri yang baru sadar dari pingsannya.
"Mas, aku ada di mana?" Freya tak langsung menjawab pertanyaan Arsen, ia malah balik bertanya untuk menjawab rasa penasarannya saat ini.
"Jadi kamu enggak tahu sekarang ada di mana?" Arsen mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar pertanyaan itu.
"Iya aku enggak tahu Mas, aku enggak ingat apa-apa."
"Terus yang terakhir kamu ingat apa?"
"Seingatku terakhir kepalaku tiba-tiba pusing waktu lagi kerja."
"Terus akhirnya kamu pingsan. Makanya Freya, lain kali nurut apa kata suami. Percaya deh apa yang saya bilang itu semua demi kebaikan kamu."
"Oh ya ampun ternyata aku sampai pingsan. Terus siapa yang nolong aku? Kenapa aku bisa ada di sini? Kamu tahu dari mana kalau aku pingsan dan dibawa ke sini?" Freya kembali mengajukan pertanyaan, tetapi kali ini secara bertubi-tubi agar ia tidak penasaran lagi.
"Ini di hotel tempat kamu kerja."
Freya mengerutkan mata tidak percaya mendengar jawaban Arsen jika saat ini dirinya berada di salah satu kamar hotel tempatnya bekerja selama 1 tahun terakhir ini. Kamar yang sangat mewah dan baru pertama kali dilihatnya karena kamar tersebut sangat private, mengingat itu adalah tempat peristirahan sang CEO pemilik hotel ketika singgah.
"Mas, jangan bilang kalau kamu yang bawa aku ke One Bedroom Suite ini?" tanya Freya penuh selidik dan kini tengah diselimuti rasa takut karena sudah sangat kurang ajar berani merebahkan tubuh di kasur empuk milik sang CEO. Sehingga ia segera bangkit dari posisinya dan memilih untuk duduk bersandar.
"Iya, memang saya yang bawa kamu ke sini biar kamu istirahat. Dan lebih baik malam ini kita menginap di sini saja." Dengan begitu tenangnya Arsen menjawab, membuat Freya bergumul kesal dalam hati.
"Apa? Menginap? Mas, kamu tuh jangan ngaco dong. Kamar ini tuh kamar milik CEO hotel ini. Jangan mentang-mentang kamu kaya dan banyak uang jadi bisa nempatin kamar milik orang lain seenaknya tanpa mikirin privasi pemiliknya!"
"Astaghfirullah Freya, tolong kamu dengerin penjelasan saya dulu dong. Kenapa sih kamu tuh suka banget nuduh saya yang enggak-enggak?" Arsen beristighfar setiap kali Freya seperti itu.
"Penjelasan apa sih, Mas? Udah jelas-jelas kamu tuh melanggar peraturan di hotel ini. Kamu tahu enggak sih, sejak hotel ini dibangun kamar yang aku tempatin sekarang enggak pernah disewain sama siapapun karena di sini adalah tempat CEO hotel menginap kalau lagi datang berkunjung!" Freya dengan lantang menjelaskan agar Arsen mengerti tentang kepanikannya saat ini.
"Makanya itu Freya, kasih saya kesempatan untuk menjelaskan kalau saya adalah CEO hotel ini."
Sontak saja kedua mata Freya membulat sempurna mendengar pengakuan yang sangat mengejutkan itu.
"A–apa, Mas? Kamu CEO hotel ini? Berarti kamu adalah putra dari pemilik perusahaan Hartono Group?" Freya bertanya dengan terbata karena tak mampu menahan keterkejutannya jika pria yang menikahinya adalah anak dari pemilik hotel tempatnya bekerja.
Arsen tersenyum manis sembari mengangguk pelan. "Betul, Freya. Ini adalah salah satu real estate milik keluarga Hartono. Tapi, memang sebelumnya hotel ini dikelola oleh kakak saya dan baru-baru ini saya diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai CEO di hotel ini karena harus menggantikan beliau."
"Ya ampun, aku benar-benar engak nyangka kalau ternyata selama satu tahun terakhir ini aku kerja di hotel milikmu, Mas. Maaf ya Mas kalau aku udah bersikap kurang ajar." Kali ini suara Freya terdengar rendah, bahkan raut wajahnya berubah jadi terlihat seperti lemah lembut.
Freya mulai memelas saat teringat dengan tingkah lakunya selama beberapa hari menjadi istri Arsen. Bahkan dengan sangat keras kepalanya ia membantah hal yang telah dilarang oleh sang suami untuk tidak lagi bekerja sebagai resepsionis di hotel miliknya. Kini Freya benar-benar menyesal dan khawatir pekerjaannya di hotel ini akan terancam.
"Sekarang kamu sudah paham kan kalau kamar ini adalah kamar kita, jadi kamu tidak perlu minta pulang. Beristirahatlah malam ini di sini." Arsen yang merasa sudah tenang setelah selesai menjelaskan siapa dirinya, kini mulai duduk di atas ranjang.
"Tapi kamu mau kan Mas maafin semua kesalahan aku? Terutama kesalahanku pagi tadi." Sorot mata Freya menunjukkan permohonan yang sangat dalam. Ia berharap sang suami mau memaafkannya.
"Hmm, gimana ya? Kalau ingat kejadian pagi tadi rasanya kesal sekali karena saya punya istri yang keras kepala dan enggak mau nurut, padahal apa yang saya bilang adalah demi kebaikan dia."
Mendengar sindiran itu membuat Freya menunduk sedih, lalu ia memilin jemarinya.
"Mas, maafin aku dong. Aku enggak akan berani ngelawan kamu lagi deh, tapi please kamu izinin aku tetap kerja di sini ya."
"Tuh kan, baru dibilangin udah keras kepala lagi."
"Maksud kamu apa, Mas?"
"Freya saya enggak izinin kamu kerja, apalagi dalam keadaan hamil seperti sekarang. Kamu lihat sendiri kan akibatnya, gara-gara kamu kecapean akhirnya kamu pingsan. Ini baru hari pertama kerja setelah cuti menikah, gimana hari-hari berikutnya? Jadi mulai detik ini kamu saya pecat!"