3

1707 Kata
Aldo menunggu kedua orang tuanya dengan perasaan cemas. Tadi Papinya bahkan sampai berteriak kencang, kala menerima panggilan teleponnya. Laki-laki yang menyumbangkan jutaan sel ke rahing Maminya itu sudah memiliki pikiran negatif padanya saat ia meminta sang Papi datang menjemputnya. Gimana nggak negatif, Aldo teleponnya aja dengan suara yang gemetar, plus pakai gayanya si Aziz Gagap.  Habis itu harus sekarang jemputnya, kaya orang sedang diarak masa karena ketahuan ena-ena aja. Padahalkan dia baru mulai aksi remes-remes, itu juga baru ketahuan Rizkan belom warga sekampung. Tapi, mana berani Aldo jujur. Belum jujur aja udah dapet teriakan maut. Nyalinya menciut duluan ke dasar laut, kala mendengar teriakan dahsyat milik kepala keluarga Mahendra itu. Baru juga orang tuanya turun dari mobil satu pukulan, dua tendangan, tiga hantaman mendarat di seluruh tubuh Aldo. Membuat Aldo meringis kesakitan. Nasibnya apes banget, udah dipukul Rizkan di hajar juga sama Papinya. “Auh Pi, sakit.” Erang Aldo kesakitan. “Revaldo Mahendra, anak siapa yang kamu hamilin?” Papinya dengan tampang garang mengangkat tubuh Aldo yang tumbang. Plaakk...Plakk...Plakk Nasib sial! Maki Aldo dalam hati. Maminya yang anggun itu sudah menangis,  parahnya, wanita yang selalu ada dihati Aldo itu dengan tega menampar pipinya dengan kencang. Dengan kencang Aldo ulang. Catat dengan kencang! “Perih Mi.” Ringis Aldo memegangi pipinya yang ditampar. Bayangkan dua-duanya. Ganas Maminya memang. Mirip Dira gadis pujaan hatinya yang dicuri oleh si Ibab Dipta. “Perih hati Mami Do, kamu hamilin anak orang. Berapa bulan bilang coba?” tanya sang Mami sambil memeluk sang Papi dengan dramatis, seperti adegan-adegan alay di sinetron itu loh. “Siapa yang ham...” Bugghh... Aldo hampir saja mengutarakan pembelaannya jika saja sang Papi tidak kembali melayangkan pukulannya padanya. “Auh Pi, kenapa Aldo dipukul lagi sih.”  Kesal Aldo. Dillia yang melihat Aldo berdarah-darah segera berlari. Menghampiri sahabat dari suami Dira yang mulai terkapar. Kasihan, batin gadis itu. Dillia nggak tahu aja yang dikasihanin nggak tahu diri. “Ya Allah Aldo. Aldo nggak papakan?” tanya Dillia yang justru mendapatkan pelukkan dari Aldo. Lumayan empuk daripada dipukulin Papi. Aldo menggeleng, sembari tetap mengeratkan pelukannya di tubuh Dillia. Rizkan yang mendengar suara ribut-ribut segera keluar. Matanya melotot melihat ke arah adiknya yang kembali dijamah manusia terkutuk dalam versinya itu. “Ya Allah adek gue. Weh lepasin weh.” Rizkan menarik Dillia agar pelukkan sang adik dengan Aldo terlepas. Dengan keras Rizkan menoyor kepala Aldo hingga anak lelaki dari keluarga Mahendra itu kembali terbaring dilantai. Mami Aldo memandang Dillia intens. Tatapan penuh rasa bersalah ia layangkan pada gadis yang menjadi korban kebiadaban anaknya yang jelek itu. “Ya ampun Sayang. Maafin anak Tante ya. Tante bakalan kasih pelajaran ke Aldo. Kamu tenang aja ya Sayang.” Ucap Mami Aldo penuh rasa bersalah pada Dillia. Wanita itu berjanji dalam hatinya akan menghukum anak nakalnya itu. “Kok Tante minta maaf, emang Tante salah apa?” tanya Dillia heran pada Mami Aldo. Ia belum mengerti  mengapa Maminya Aldo sampai meminta maaf pada dirinya. Ada salahkah? Tapi apa ya? “Tante minta maaf karena Aldo, anak Tante ini udah hamilin kamu hiks.” Ha? Hamilin? Kapan ya? Siapa yang hamil? Dirinya? Anak siapa? Aldo? Di hamilin Aldo? Amit-amit Ya Allah, Ucap Dillia dalam hati tidak terima. “Maaf Tante tapi saya nggak hamil.” Mami dan Papi Aldo tertegun. Terus untuk apa mereka disuruh kesini kalau nggak ada yang hamil. Kan buang-buang bensin sama tenaga, mana tadi gebukin anaknya lagi. Mami dan Papi Aldo menatap Aldo prihatin. Keduanya seolah meminta maaf pada putra mereka itu melalui tatapan keduanya. “Maaf tante, sebaiknya kita masuk dulu saja. Ada hal yang sangat penting yang ingin saya sampaikan.” Kata Rizkan ingin meluruskan segala hal yang telah terjadi antara adiknya dan manusia yang dipandangnya tajam itu. Kedua orang tua Aldo mengangguk, keduanya lantas  meninggalkan Aldo dan mengikuti Rizkan untuk masuk kedalam rumah. Krieekk “Aduh Pii, tangan Aldo Pi.” Aldo menjerit kala kaki sang Papi menginjak jari-jari tangannya. Sakit banget Anjing!, ringis Aldo. “Sorry-sorry Do, Papi nggak sengaja. Sorry ya.” Ujar sang  Papi, lalu masuk meninggalkannya, tanpa mau membantunya untuk berdiri.  Aldo mendengus. Apa-apaan ini dia ditinggal, dasar orang tua durhaka, makinya dalam hati. Untung masih ada Dillia. Semoga saja Dillia juga tidak sejahat itu padanya. “Dill, bantuin dong.” Pinta Aldo mengulurkan tangannya agar Dillia membantunya berdiri. Dillia menatap Aldo sekilas, dia masih merasa jengkel pada anak laki-laki di depannya itu. “Iih, bangun aja sendiri. Gue mau buat minum nih.” Ingin rasa Aldo menjambak rambut Dillia, menyeret dan membawa gadis itu ke kamar terdekat. Jahat banget main tinggal aja. Inikan juga gara-gara dirinya Aldo jadi mengenaskan seperti ini. Dosa apa Aldo ya Allah.. Dosa APPPAAAAH?? -- Aldo mendengus sebal saat mengetahui duduk perkara setiap penyiksaan yang ia alami hari ini. Jadi sedari tadi itu, dia dianggap kekasih Dillia yang selingkuh sama Abangnya Dillia yang sok yes. Ini sih namanya korban. Korban kebiadapan Abangnya Dillia, korban pukul Papinya pula. “Terus urusannya kami disuruh kesini apa Nak Rizkan? Kan Dillia tidak jadi hamilkan?” Allahuakbar sekata-kata ini Pak Jordi Mahendra, jadi gue disuruh hamilin anak orang. Oke deh! Setuju!  Jordi Mahendra selaku Papi Aldo menatap lekat ke arah Rizkan, “terus ternyata Nak Rizkanlah yang sudah salah sangka pada putra kami ini, maka putra kami bengap-bengap begitu lagi mukanya Nak.” tuntut Papi Aldo tidak terima dengan keadaan sang putra ke-dua. Aldo menatap Rizkan cemas. Takut-takut jika Abang dari Dillia itu akan berkata jujur. Belum kering ini luka yang diberikan Papinya, jangan sampai ditambahi lagi. Bisa langsung masuk ke rumah sakit nanti dia, sekarat. Papinya itu jagoan karate. Aldo mana bisa tidak babak belur kalau dihajar sang Papi. “Saya mau meminta pertanggung jawaban Aldo untuk adik saya Tante, Om.” Kata Rizkan tegas membuat Aldo mulai gemetar ditempatnya. “Loh tadi katanya tidak hamil, kenapa minta tanggung jawab. Kalau Dillia hamil pasti saya nikahkan dengan anak sialan itu, tapi inikan tidak Nak Rizkan”  Papi Aldo meninggikan suaranya, gemas karena waktunya merasa terbuang dan ternyata anaknya tidak jadi menghamili anak gadis orang. Rizkan yang mendengar nada suara Papi Aldo sama sekali tidak takut, justru sang adik, Dillia yang mengkeret ditempatnya. Abang kenapa tega sekali sama Dillia, batinnya. Dillia sudah terisak dengan air mata yang mulai turun dari matanya,  Aldo yang melihat itu tak tega sendiri. Dirinya beranjak dari sofa dan mendekat ke sofa dimana Dillia duduk. Dipeluknya Dillia. Membuat semuanya melongo melihat sosok Aldo yang menjadi lembut dalam  Aldo pada anak gadis orang. Terlebih Maminya Aldo, dia sampai hampir mati kekurangan nafas melihat anaknya yang sok gentleman itu. “Gini Om, Dillia memang tidak hamil.” Rizkan menarik nafasnya lalu menghembuskan perlahan. Dia harus meraup oksigen sebelum mengeluarkan kemarahan yang ia tahan sedari tadi. “Tadi anak om yang kurang ajar itu sudah menyentuh aduh saya, duh  ngomongnya gimana ya." Rizkan jadi gugup sendiri. Mau ngomong, tapi takut dosa ngomongnya. “Menyentuh apa Nak Rizkan?” Mami Aldo yang sudah kepo, sudah tidak tahan digantung oleh Rizkan. Eamang enak apa digantung. Sakit weh. “Menyentuh itu,” kata Rizkan gemetar sendiri.  “Anu, anu.. Itu Tante, bagian intim adik saya. Daan menyentuh ittttuuu Tante." Teriak Rizkan menunjuk ke arah dimana Aldo dan Dillia yang saling berpelukan. “Aaahhh, Dooo.” desah Dillia, tidak bisa menahan suaranya lagi. “Apa siih Dil, nanggung.”  Protes Aldo sembari terus melakukan aksi-nya. “Aldddoooooooooooooooooo.” Teriak seseorang yang dikira Aldo adalah Dillia. “Hmmm bentar Dill, nanggung. Empuk banget ini, gue suka.” Kata Aldo masih terus meremas p******a Dillia. “Bukan aku yaang, aaahhhh bilaaang!” jawab Dilla terengah.  “Revaldooooo Mahendraaaaa.” Sentak kencang seseorang memanggil nama lengkap Aldo. “Auuuuuh sakit Dill.” Aldo menjerit saat seseorang menendang keras barang keramatnya. Bukan, bukan Dillia yang menendang. Dillia mana bisa nendang kalau kakinya aja ada disamping kaki Aldo. “Papi Ampuuuuuuuuuuuuuuun.” Jerit Aldo saat tubuhnya kembali mendapat pukulan dan tendangan dari orang yang menganiaya barang keramatnya tadi. Matanya terpejam saat merasakan keganasan sang Papi yang murka melihat ke khilafannya. Usai puas menginjak dan memukuli Aldo, Papi Aldo kembali berteriak lantang. Bisa dikatakan laki-laki yang biasanya terkenal tenang itu seperti tengah menghadapi sumbu umurnya yang tinggal satu jengkal. “Revaldo Mahendra, siapa yang ajarin kamu m***m begitu, HAAH?!” teriak Papi Aldo membuat Dillia menutup kupingnya karena sakit. “Anu... Anuuu... I..tu Pi. Aldo terbawa suasana Pi.” Aldo menyengir sambil garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Seluruh tubuhnya sakit, kalau dia ikut berteriak seperti Papinya, bisa habis Aldo masuk ke liang lahat. Bukan lagi rumah sakit. “Suaasaan kamu bilang?” Aldo mengangguk menjawab pertanyaan Papinya yang lebih mirip dengan sebuah makian itu. “Suasana yang sedih terus kamu buat untuk lahan modus? Dasar lelaki wedus kamu.” Aldo manggut-manggut tidak sadar sudah dikatai Papinya wedus yang dalam bahasa indonesia berarti kambing itu. Whatt? Bentar.. Bentar wedus? “Eh Aldo buka lelaki wedus ya, enak aja Papi.” Ucap Aldo tidak terima dikatain Papinya kambing. Diakan manusia. Anak tertampan dari klan Mahendra. “Buktiin kalau begitu. Nikahin Dillia secepatnya. Kamu udah melecehkan Dia.”  Aldo mengangguk mantap tidak sadar apa yang Papinya ucapkan. “Oke.” Ucap Aldo tanpa berpikir lebih dulu. “Nah, silahkan Nak Rizkan bilang sama Mama Papa Nak Rizkan, kalau kami kapanpun siap melamar Nak Dillia.” Ucap Papinya tegas. “Pi, ini maksudnya apa ya?” tanya Aldo yang mendengar kata lamar-melamar itu. “Kan kamu tadi bilang oke. Yaudah selesai.” Tegas sang Papi pada anaknya yang bebal itu. Ya Allah Aldo mau terjun dari pohon cabe boleh? Kenapa malah begini. Kan tadinya cuman modus doang, kesempatan kan tidak boleh dilewatkan, sayang kan? “Hiksss Abang jahat. Dillia nggak mau nikah sama Dia. Kata Dipta itu, hiks. Dia penjahat wanita Bang.” Dillia menangis sesenggukan, membuat Aldo jadi tidak tega. Apa tadi yang barusan Dillia katakan? Kata Dipta? Wah sialan si Ibab, batinnya. Enak aja bikin namanya tercoreng setelah merenggut paksa wanita pujaan hatinya. “Stop, jangan peluk lagi. Gue nggak mau diremes kaya tadi, sakit Aldoo.” Jerit Dillia kencang. Ya Tuhan, menantu seperti apa yang diturunkan untuk keluarga Mahendra ini. Kenapa bisa seperti ini. “Klepon, KLEPOOOON.” Teriak Aldo kencang mengingat obrolannya bersama Dipta dan Rio tadi. Sialan, karma mengerikan!, batin-nya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN