Babysitter

1502 Kata
Kejadian semalam benar-benar menggangguku. Mahesa menelepon dan mengatakan kalau dia kangen banget sama aku di saat suamiku sedang di rumah. Kali ini aku beruntung karena Gilang bukan orang yang gampang curiga. Bahkan saat aku berpindah ke ruang tamu untuk bicara dengan Mahesa, Gilang tidak bertanya apa pun. “Hes, udah dulu, ya. Aku masih banyak kerjaan di rumah,” kataku mencari alasan. Aku sudah mengatakan kalau aku sedang sibuk, jadi aku tidak bisa berlama-lama mengobrol dengannya di telepon. Seperti biasa, Mahesa ngeyel. Dia terus saja mengatakan sebentar lagi dan sebentar lagi ketika aku bilang mau menutup telepon. Dan payahnya, aku menurut. Bahkan mungkin aku berharap telepon itu tidak terputus. Tapi aku sadar, di mana posisiku saat ini. Aku tidak bisa terus begitu. Dan akhirnya aku putuskan sambungan telepon secara sepihak. Ada rasa lega saat sambungan telepon itu terputus. Tapi ada juga perasaan kecewa yang menyusup di antara rasa lega itu. Semalaman aku memikirkan hal ini. Bahkan saat Gilang mencumbuku pun otakku masih sempat memikirkan Mahesa. Dan di situ aku semakin yakin kalau aku harus mengatakan yang sejujurnya pada Mahesa. Aku akan bilang sama dia kalau aku sudah menikah. Jadi dia tidak akan bersikap atau mengatakan hal-hal yang di luar batas lagi. Jujur saja aku takut tidak bisa mengendalikan perasaan jika dia terus bersikap seperti itu. Waktu lima tahun yang kami habiskan bersama tidaklah singkat. Dibandingkan dengan mantan pacarku sebelumnya, hubunganku dengan Mahesa adalah yang paling lama. Sudah pasti kenangan yang kami miliki juga banyak sekali. Aku sedang mencari momen yang pas untuk mengakui statusku pada Mahesa. Ketika aku sampai di kantor, Mahesa sudah ada di sana. Entah dia datang jam berapa, yang jelas saat aku masuk ke ruangan, lelaki itu sudah duduk di balik meja kerja. Di atas mejanya sudah ada setumpuk berkas laporan yang harus dia kerjakan. Belum lagi tumpukan buku yang lain. Dia terlihat sangat serius, sampai-sampai dia tidak tahu kalau aku sudah datang. Dia bahkan terkejut waktu aku memberi ucapan selamat pagi untuknya. “Sampai nggak tahu kalau kamu sudah datang,” komentarnya sambil mengangkat wajah dan tersenyum. “Sibuk banget kayaknya,” balasku seraya berjalan ke arah meja kerjaku sendiri. Dia tersenyum, tapi tidak membalas ucapanku. Namun baru beberapa detik aku mendaratkan tubuhku di atas kursi, dia keluar dari meja kerja. Di tangannya ada sebuah buku yang kuketahui itu adalah buku Perencanaan kerja. "Rencana kerja hari ini sudah aku buat. Nanti untuk meeting biar di handle sama Febri.” Dia menelengkan kepala ke arah meja kerjanya lalu berkata, “Aku lagi banyak banget kerjaan." Mahesa meletakkan buku perencanaan di meja kerjaku sambil memebrikan sedikit penjelasan mengenai kontrol lapangan. Aku mengangguk paham, dan setelah itu Mahesa kembali ke meja kerjanya. Beberapa kali aku melirik, tapi dia kelihatan sibuk banget. Dia juga tidak mengajakku bicara kecuali saat dia membutuhkan bantuan untuk mencarikan sesuatu. Bukan hanya itu, saat jam makan siang pun Mahesa masih sibuk dengan pekerjaannya. Aku penasaran apa yang membuatnya sesibuk itu. Setelah beberapa lama aku menekan rasa penasaran, akhirnya aku tidak bisa menahannya lagi. Aku beranjak dan menghampirinya di meja kerja. Kedua mataku menangkap tumpukan buku Register dari hari Senin hingga Sabtu. Mengapa dia mengeluarkan semua buku itu? Tidak biasanya seorang Manager menyentuh buku-buku itu, karena memang tak berhubungan langsung dengan pekerjaannya. "Kamu lagi ngerjain apa, sih? Kok kelihatannya sibuk banget," tanyaku. Dia melihat padaku sambil tersenyum, tapi setelah itu dia kembali melanjutkan pekerjaan sambil menjawab, "Ada selisih antara data non-target dengan saldo merah di buku Register. Jadi mesti ngecek lagi dari awal." "Oh," responsku. Kulihat jam tangan di pergelangan tanganku. Sudah masuk jam istirahat, tapi dia tidak ada gelagat untuk berhenti sejenak. Dia masih terlihat sangat serius dengan data-datanya. "Sudah jam istirahat, nggak turun dulu?" tanyaku. "Nanti aja. Takut nggak kekejar," jawabnya. Aku kasihan melihat dia. Mau kupaksa istirahat, tapi sepertinya dia betul-betul tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Aku pun kadang kalau sedang dikejar deadline pekerjaan juga seperti itu. Selalu merasa tanggung kalau mau ditinggal bahkan sekadar untuk ke kamar mandi. "Ya udah, aku turun dulu, ya. Kamu mau nitip apa?" tanyaku. Dia melihat kepadaku lagi. "Nggak usah," jawabnya sambil tersenyum sekilas lalu kembali berkutat dengan pekerjaan. Aku tak langsung berpaling meski dia sudah tidak melihatku lagi, atau mungkin dia bahkan tidak menganggapku ada di sana. Dia seakan-akan sudah kembali masuk ke dunianya sendiri. Aku membeli makan siang di warung makan yang ada di sebelah kantor. Anak-anak juga biasa makan di sana karena pilihan menunya banyak. Selain itu juga karena makanannya enak dan tempatnya bersih. Kami jadi menganggapnya seperti kantin kantor. Awalnya aku hanya memesan satu menu saja untukku sendiri. Setelah aku selesai makan, aku baru ingat kalau Mahesa belum makan siang. Meski aku turun lebih dulu, biasanya tidak lama kemudian dia sudah menyusul. Tapi sampai aku selesai makan pun dia belum kelihatan. Lalu aku berinisiatif untuk membelikannya makan siang. Untuk Mahesa, aku memesan nasi dan oseng mercon. Dia suka banget dengan makanan itu karena dia adalah penggila makanan pedas. Aku skip gudeg dan telur kecap karena ternyata Mahesa menyukai makanan tersebut karena ada sesuatu. Setelah pesananku siap, aku segera membawanya kembali ke kantor supaya bisa langsung di makan. Buru-buru kulangkahkan kaki agar cepat sampai. Satpam yang berjaga di depan saja sampai bertanya dengan ekspresi penasaran, mengira telah tejadi sesuatu padaku. Waktu masuk ke ruang kerja, kulihat Mahesa masih sibuk dengan pekerjaannya. Dia melihat ke arah pintu, begitu tahu aku yang masuk, dia langsung melanjutkan pekerjaannya lagi. Kasihan dia. Aku tidak langsung kembali ke meja kerjaku, tapi menghampiri Mahesa untuk memberikan makanan yang sudah kubeli untuknya. "Ini, makan dulu," kataku sambil meletakkan makanan dalam kantong plastik itu di samping tumpukan buku. Dia mengangkat wajah, dahinya sedikit berkerut tapi sebentar kemudian dia tersenyum. Sejak tadi pagi aku sama sekali tak melihat senyum jahil yang sering dia tunjukkan. Jika aku berbicara dia hanya akan tersenyum kecil. Atau mungkin dia tersenyum hanya untuk membuatku merasa dihargai. "Makasih, ya," katanya. Setelah mengatakan itu, dia menunduk lagi, fokus pada pekerjaannya. Aku sendiri masih berdiri di tempat. Di kepalaku sempat melintas pemikiran, apa dia tidak suka aku membelikan makanan untuknya? "Kamu kenapa?" Aku terhenyak waktu dia bertanya padaku. Dia mengangkat wajah, melihatku dengan kening berkerut. Aku tersenyum kaku, bingung juga kenapa aku masih saja berdiri di situ. "Kamu … nggak makan dulu?" tanyaku kemudian. Kalau tidak salah membaca ekspresinya, Mahesa terkejut mendengar pertanyaanku. Dia tersenyum lantas menggeser mundur kursinya dan berdiri. Kupikir dia mau apa, ternyata mengambil kursi lalu memintaku duduk di dekat kursi kerjanya. Dia mengambil makanan yang kubeli. Lalu dia membuka dan memberikan kotak styrofoam itu padaku sambil berkata, "Suapin, ya. Kerjaanku nggak bisa ditinggal." Aku melongo mendengar dia memintaku menyuapinya. Memang masih jam istirahat, jadi tidak akan mengganggu jam kerjaku. Tapi ... menyuapinya? Yang benar saja? Lalu … apa yang harus kulakukan sekarang? Sepertinya sebuah alarm bahaya baru saja meraung-raung di dalam kepalaku. Mengabaikan alarm bahaya yang menyala, terlepas tepat atau tidaknya tindakan itu, aku merasa seperti terhipnotis. Tanganku bergerak begitu saja menerima kotak styrofoam dari tangan Mahesa dan melakukan gerakan menyendok lalu menyuapkan makanan itu padanya. Seperti seorang babysitter yang tengah menyuapi anak majikannya. Sumpah, ini semua berjalan seperti di luar kontrol otakku. Aku terus menyuapi, sementara dia sibuk dengan pekerjaannya. Selama aku menyuapinya, kami sama sekali tidak saling bicara. Hanya dia yang sesekali menggumamkan nominal saldo merah dan mencocokkannya dengan data. Entah kenapa, aku merasa dia lucu banget kalau sedang begitu. Hingga tanpa sadar, aku tersenyum. Agaknya aku juga menikmati momen seperti ini. Aku … merindukan saat-saat seperti ini dengannya. "Minum dulu," kataku sambil memberikan gelas berisi air putih yang ada di meja. Dia menerima gelas itu tanpa melihat padaku lalu meminumnya sedikit. Karena keningnya berkeringat, aku menukar gelas di tangannya dengan tisu. Aku menunggu hingga dia selesai mengelap keringat lalu meminta tisu bekasnya untuk sekalian kubuang. "Zi," panggil Mahesa. Aku berpaling padanya saat dia meraih tanganku. "Ya?" tanyaku. "Makasih untuk perhatiannya. Makasih sudah mau nyuapin aku." Mahesa tersenyum. Dia memang hanya mengatakan itu, tapi aku merasa ucapannya baru saja menembus jantungku. Lihat saja jantungku yang berdetak menggila dengan tidak tahu malu. Aku hanya berharap dia tidak mendengar degup jantung sialanku ini. Ini tidak benar. Harusnya aku mengatakan pada Mahesa bahwa aku telah menikah. Harusnya aku tidak melakukan apa pun yang akan membuatnya salah mengartikan sikapku. Tapi lidah ini seolah tidak mau bekerja sama dengan baik, sama sekali tak sinkron dengan otak. Yang kulakukan justru mengangguk dan tersenyum, seolah semua itu wajar dilakukan oleh perempuan yang sudah menikah terhadap mantan pacarnya. Aku kembali ke meja kerjaku dengan perasaan campur aduk. Kugosok-gosok tangan yang terasa sedingin es. “Apa yang sudah kulakukan?” sesalku sambil menggigit bibir. Seketika itu bayang wajah Gilang seolah ada di setiap benda yang kusentuh. Tatapan suamiku itu membuat rasa bersalah yang kurasa semakin menyiksa. Aku sampai harus berhenti bekerja sejenak untuk sekadar menyalakan ponsel dan terus menerus melihat foto-fotoku bersama Gilang. Dengan begitu, aku berharap hati ini tidak akan goyah. Aku ingin foto Gilang menjadi pengingat bahwa aku sudah tak sendiri lagi dan aku harus secepatnya memberitahu Mahesa bahwa aku sudah memiliki suami. Serta satu lagi, mulai sekarang aku harus menjaga jarak dengan lelaki itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN