Saat kudengar suara mobil berhenti di depan rumah, aku buru-buru keluar. Itu pasti Gilang. Karena akhir pekan lalu dia tidak bisa pulang, bosnya memberi izin untuk pulang hari Senin.
"Sayang," sapaku ketika Gilang turun dari mobil.
Aku berlari kecil menghampiri Gilang lalu mencium punggung tangannya. Dia membalas dengan mencium keningku.
"Seneng banget kelihatannya." Gilang tersenyum mengejek.
Kupukul pelan lengannya sambil memasang wajah cemberut. "Kangen, tahu!"
Dia terkekeh lalu mengusap-usap kepalaku dengan gemas.
"Sini aku bawain," kataku.
Kuambil alih tas kerja Gilang lalu kulingkarkan tangan yang bebas ke lengannya. Aku berjalan sembari bergelayut manja.
"Kamu sudah makan?" tanyaku sambil menengadah padanya.
"Belum. Aku kangen masakan kamu." Dia menoel hidungku.
"Hm ... pinter deh kalau suruh ngerayu," cibirku.
Dia berhenti melangkah tepat di depan pintu lalu menarik tubuhku supaya menghadap dirinya. Rasa hangat dari kedua telapak tangan Gilang yang menangkup wajahku terasa sampai ke hati. Memang sehangat itu sikap Gilang yang membuatku tak ragu untuk menerima cintanya.
"Daripada aku ngerayu perempuan lain. 'Kan mending aku ngerayu istriku sendiri," katanya sambil tersenyum menggoda.
Harusnya aku senang, kan, dia bilang begitu? Bukankah itu cara Gilang menunjukkan rasa sayangnya padaku? Tapi, kenapa aku malah merasa tidak enak begini? Seperti ada tangan tak kasat mata yang menampar wajahku berkali-kali. Rasa hangat yang kurasakan beberapa detik lalu seolah berubah menjadi dingin, sedingin perasaan bersalah yang bercokol di dalam hati.
"Hei, kamu kenapa? Kok malah bengong gitu?" Gilang menarik daguku ke atas, mengarah padanya.
Untuk menutupi perasaan yang sebenarnya, kuambil tangan Gilang yang ada di daguku lalu aku menciumnya. Kuharap dengan begini aku bisa mengusir perasaan aneh yang sesaat lalu meracuni hatiku.
"Aku sayang banget sama kamu," kataku sambil menatapnya dalam.
Aku meyakinkan diri kalau aku tidak akan tergoda dengan lelaki lain, meskipun itu adalah Mahesa. Aku sudah memiliki Gilang, sosok yang sangat sempurna di mataku. Dia bukan hanya baik, tapi dia juga selalu mengerti diriku. Dia tidak pernah menuntut macam-macam. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk berpaling kepada lelaki lain.
Gilang mengerutkan wajah, terlihat heran dengan sikapku. "Tumben jadi melow gini? Pasti ada maunya," godanya.
Aku tertawa kecil sambil memutus tatapan kami dengan melihat ke bawah, lalu aku mencubit perutnya. "Aku kangen," bisikku manja.
Dia juga tertawa lalu merangkul pinggangku dan membawaku masuk ke rumah.
Sambil menunggu Gilang selesai mandi, aku menyiapkan baju untuknya. Aku juga menyiapkan makan malam kesukaannya.
"Hei, aku masak cumi asam manis kesukaan kamu, lho," kataku saat Gilang datang.
Aku sedang menyiapkan makan malam untuknya. Sesibuk apapun diriku, kalau Gilang pulang, aku selalu menyempatkan diri untuk memasak makanan kesukaannya.
"Wah, istriku memang paling pinter nyenengin suami," puji Gilang.
"Kan kamu udah ngasih aku cinta yang banyak banget." Aku berjalan ke arahnya lalu memeluknya dari samping.
"Makasih, ya." Dia mencium pipi kiriku. "Kita makan sekarang, yuk!" ajaknya.
Gilang memundurkan kursi untukku. Setelah aku duduk, dia mengambil posisi duduk di sisi kiri meja. Aku mengambilkan nasi beserta lauk untuk Gilang. Biasanya dia makan sangat lahap ketika aku masak cumi seperti ini, karena dia adalah pecinta seafood. Berbeda dengan Mahesa yang alergi sama seafood.
Eh? Kenapa aku jadi memikirkan Mahesa?
Kularikan pandanganku pada Gilang yang makan dengan sangat lahap. Tidak seharusnya aku memikirkan lelaki lain ketika di sampingku sudah ada lelaki sempurna yang menjadi milikku. Lelaki sempurna yang memberiku kebahagiaan.
"Gimana kerjaan kamu?" tanya Gilang waktu kami sedang menonton televisi, usai makan malam.
"Baik," jawabku singkat.
Gilang menjauhkan wajah sambil mengernyit. "Ada masalah, ya?" tanyanya curiga.
Perasaan tidak jelas ini membuatku merasa bersalah pada Gilang. Kupeluk tubuhnya semakin erat, lalu kubenamkan wajahku di dadanya. Aku tidak ingin melakukan apapun selain memeluknya, berharap dekapan Gilang bisa memberi ketenangan dalam hatiku.
"Kamu kenapa, sih?" Gilang memegang lenganku lalu sedikit menjauhkan tubuhku darinya. "Hei, kalau kamu ada masalah, cerita sama aku. Apa kerjaannya sulit? Atau kamu dimarahi Manager barumu?"
Dari tebakan Gilang, yang menjadi perhatianku adalah kata "Manager". Aku ingin bilang kalau si Manager lah yang menjadi masalahku di kantor. Tapi aku takut Gilang menyuruhku berhenti bekerja. Sekarang aku sendiri tidak yakin apa alasanku tetap bekerja di sana. Rasanya semakin membingungkan.
"Kok malah diam?" tanyanya lagi.
Bibirku tidak mau bergerak sedikit pun. Aku menggeleng lalu memeluknya lagi.
"Kalau kamu nggak nyaman kerja di sana, kamu bisa resign. Aku nggak mau kamu merasa terbebani dengan pekerjaan." Gilang mengusap daerah sekitar tulang belakangku dengan lembut. Rasanya nyaman sekali, ini menenangkan.
"Aku nggak mau resign." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku.
Alasan tidak mau berhenti kerja? Aku juga tidak tahu. Padahal seharusnya kalau aku tidak mau terjatuh ke dalam lubang yang lebih dalam lagi, aku akan memilih untuk berhenti saja. Tapi ada rasa tidak rela dalam hatiku jika aku harus berhenti sekarang.
"Ya udah. Tapi kamu janji, ya, kalau ada masalah jangan dipendam sendiri. Cerita sama aku, oke?" Gilang mencium puncak kepalaku.
Aku mengangguk untuk membuatnya tenang. Kami sama-sama terdiam sesaat, menyaksikan acara televisi yang tidak begitu menarik buatku. Kedua mataku memang mengarah pada layar datar di hadapan kami, tapi percayalah ... otakku sedang tidak berada di tempat.
"Oya, minggu depan kita ke rumah mama, ya." Gilang mengingatkanku tentang jadwal kami yang tertunda akhir pekan lalu, mengunjungi ibu mertuaku.
"Iya, tapi minggu depan kita nggak bisa lama-lama. Ada acara syukuran di rumah Pak RT. Nggak enak kalau kita nggak datang," kataku.
Rumah pak RT hanya berjarak tiga rumah dari rumah kami. Kalau kami tidak datang, 'kan rasanya tidak enak. Apalagi kami di sini adalah warga yang masih tergolong baru. Karena kami pindah ke sini baru sekitar lima bulan yang lalu.
"Iya, nanti aku bilang sama mama kalau kita nggak bisa lama-lama."
Sudah kubilang, 'kan, kalau Gilang itu pengertian banget. Itu adalah salah satu sifat Gilang yang membuatku jatuh cinta padanya. Karena sifat itu pula akhirnya aku bisa melupakan seseorang yang selama lima tahun pernah mengisi hatiku.
Dengan sabar, Gilang membantuku menyembuhkan luka. Jika luka itu terbentuk dari sebuah pengkhianatan atau salah satu dari sepasang hati itu berhenti mencintai, tentu akan lebih mudah untuk menyembuhkanya. Namun yang kualami dulu tidak seperti itu. Dua hati yang saling mencintai terpaksa harus berpisah karena terganjal restu dari orang tua. Padahal kami sudah berencana untuk membangun rumah tangga bersama.
Kenangan itu adalah salah satu kenangan pahit terkelam yang pernah kurasakan. Mungkin rasa sakit yang kurasa waktu itu tidak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang dirasakan olehnya. Bagaimana tidak? Dia datang ke rumah, berniat untuk melamarku. Tapi yang dia dapat adalah sebuah penolakan yang sangat kasar dari orang tuaku.
"Mau kamu kasih makan apa anak kami nanti kalau nikah sama kamu? Pengangguran aja sok-sokan mau melamar anak kami!"
Kalimat yang dilontarkan oleh ibuku itu terasa seperti sebilah pedang tajam yang mengoyak hati kami berdua. Aku yang tidak dikatai seperti itu saja rasanya sakit banget, apalagi dia.
Jangan kira aku dan dia tidak berusaha membuat orang tuaku percaya bahwa kami bisa hidup dan berjuang bersama-sama. Memang momen kami yang salah. Dia melamarku di saat baru saja kena PHK. Tapi kedua orang tuaku tidak mau mengerti. Pada akhirnya kami terpaksa mengakhiri hubungan. Aku diungsikan ke tempat Bude selama satu tahun. Di situlah aku mulai mengenal Gilang. Pelan-pelan Gilang membantuku bangkit. Dia tidak pernah bertanya tentang masa laluku. Yang dia lakukan hanya mengisi hari-hariku dengan kebahagiaan, hingga akhirnya aku bisa membuka hati untuknya. Aku bisa menerima kehadirannya dalam hidupku hingga dia menjadi suamiku seperti sekarang.
"Sayang, ada telepon," kata Gilang membuyarkan lamunanku.
Keasyikan melamun membuatku tidak mendengar dering telepon yang berasal dari ponselku. Aku menoleh pada ponsel yang kuletakkan di meja sudut. Aku bangkit lalu mengambil ponsel itu dan melihat siapa yang menelepon. Jantungku berdetak kencang hingga terasa seperti mau keluar dari dalam rongganya saat melihat nama yang tertera di layar. Mahesa. Untuk apa dia meneleponku malam-malam begini?
Aku melirik Gilang yang fokus menonton televisi. Kujawab tidak ya? Dan dadaku terasa semakin tersentak waktu Gilang menoleh padaku.
"Kok nggak dijawab? Bunyi terus itu. Siapa tahu penting," katanya.
"I-ini ...."
"Pekerjaan? Ya udah, angkat dulu gih!"
Kugenggam ponselku erat-erat lalu aku berjalan ke sudut ruangan. Dering ponsel itu berhenti. Namun dering kedua mulai terdengar. Dengan tangan sedikit gemetar, aku menyeret ikon berwarna hijau ke atas layar.
"Ha-halo," sapaku lirih. Sepertinya suaraku juga bergetar.
"Halo, Zi. Thank God! Akhirnya kamu angkat juga." Kudengar Mahesa menghela napas. Apa memang ada masalah yang penting sampai dia terdengar begitu lega saat teleponnya kujawab?
"Ada apa?" tanyaku.
Dia diam. Samar-samar aku bisa mendengar deru napasnya yang halus. Lalu, dia mengucapkan sesuatu yang membuat sendi-sendi tulangku lemas. Yakinlah, jika tidak bersandar pada dinding, aku pasti sudah ambruk.
"Aku kangen banget sama kamu, Zi."