Momen Tak Terlupakan

1117 Kata
Semenjak aku menemaninya lembur waktu itu, hubunganku dengan Mahesa semakin membaik. Setidaknya untuk diriku. Aku tidak tahu bagaimana dengan dia, tapi aku jadi bisa lebih santai saat berhadapan dengannya. Sedikit-sedikit aku juga mulai bisa membalas candaannya dengan candaan lain. Sepertinya tidak buruk kalau aku membuka hati untuk berteman dengannya lagi. Lagipula, Mahesa ini tipe lelaki yang humoris. Dia suka bercanda, dan aku selalu bisa dibuatnya tertawa. Makanya, waktu aku menahan diri untuk tetap menjaga jarak dengannya, rasanya tersiksa banget. "Mau makan siang di luar?" tanya Mahesa. Aku melihat jam tangan. Rupanya sebentar lagi sudah waktunya istirahat. Tapi pekerjaanku masih menumpuk. Akhir bulan adalah hari-hari yang hectic banget. Selain pekerjaan yang setiap hari kukerjakan, aku juga mesti mengurus gaji karyawan dan mengerjakan laporan akhir bulan. Karena ini adalah akhir bulan pertamaku sebagai Kepala Pembukuan, aku sedikit keteteran. Untung saja mbak Lisa mau aku repotkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin membuatnya lelah mendengarkanku. "Tanggung, nih. Kamu makan siang duluan aja. Aku nanti nyusul," jawabku. Saat ini aku benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaan. Meski aku sudah diajari untuk mencicil persiapan gaji sejak seminggu sebelum gajian, tapi tetap saja rasanya pekerjaanku semrawut. Rasanya banyak banget yang harus aku kerjakan. "Waktunya istirahat, lho, Zi. Kalau kamu sakit, gimana kamu bisa kerja?" Aku tertegun. Gerakan tanganku yang sedang mengetik laporan akhir bulan berhenti. Untung saja hanya sebentar, karena di detik selanjutnya aku sudah bisa menguasai perasaan lagi. Kalau boleh jujur, aku merindukan perhatian Mahesa yang seperti itu. Namun aku harus menepis perasaan itu jauh-jauh. Aku tidak boleh merindukan perhatian dari seorang lelaki, selain suamiku sendiri. Kusimpan laporan yang sudah aku buat lalu kumatikan PC. Setelah itu, aku mengangkat wajah sambil tersenyum lebar berusaha untuk terlihat biasa. Aku tidak ingin dia tahu jika perhatian kecil itu memengaruhi perasaanku. "Ya udah. Yuk, makan siang dulu," kataku. Daripada aku terus melamun memikirkan Mahesa dan pada akhirnya pekerjaanku tidak beres-beres, lebih baik aku pergi dengannya untuk makan siang. Bukannya aku sengaja ingin berduaan dengannya. Aku sudah mempertimbangkannya baik-baik. Di bawah nanti, aku pasti akan bertemu dengan staf yang lain. Menurutku itu lebih baik, karena aku bisa menghabiskan waktu makan siang bersama mereka juga. Tidak harus berdua terus dengan Mahesa. Jadi ... fokusku tidak hanya terpaku pada lelaki itu. Namun sepertinya nasib baik sedang tidak mau berteman denganku. Ketika kami sampai di kantin yang ada di samping ruko, semua meja sudah penuh. Salah kami sendiri sih karena terlambat untuk turun. Sehingga tidak ada kursi kosong untuk kami lagi di kantin tersebut. "Ke rumah makan lain aja gimana?" Mahesa bertanya sembari memutar tubuh menghadapku. Sekilas aku melihat pada jam berwarna hijau tua dengan motif keropi yang dipasang di dinding, persis di atas wastafel tempat pembeli mencuci tangan. "Waktunya mepet, lho, Hes. Mana cukup buat nyari tempat lain?" kataku. Dia menggerak-gerakkan bibir. Kelihatan sedang berpikir. Lalu tiba-tiba dia menjentikkan jari dan tersenyum lebar padaku. "Ayo, ikut aku!" Dia menggerakkan kepala ke arah luar kantin. Aku tak sempat bertanya, karena dia lebih dulu menarik tanganku supaya mengikutinya. "Kita mau ke mana, Hes?" tanyaku saat dia terus menarikku menuju mobilnya. "Udah, kamu ikut aja." Dia berkata seperti itu seolah kami akan pergi ke suatu tempat yang sengaja dia khususkan untukku. Seperti dulu waktu kami masih pacaran. Dia juga suka sekali mengajakku pergi ke suatu tempat yang aneh-aneh, tapi romantis. Ya ... meski hanya dengan mengendarai sepeda motor matic lawas yang double starter-nya sudah tidak berfungsi. Namun, saat-saat seperti itu adalah saat yang paling berkesan untuk kami. Dia selalu bisa membuatku bahagia dengan hal-hal sederhana. Ah, kenapa jadi membahas masa lalu lagi sih? Aduh, otak ... please ... waraslah! Jangan memikirkan laki-laki lain lagi! Okay, sudah cukup nostalgianya. Kembali pada Mahesa yang menarikku ke mobil. Dia membukakan pintu mobil di kabin depan sebelah kiri untukku. Lalu dia memintaku untuk masuk seraya membungkukkan badan dengan memutar-mutar tangan. Gayanya seperti seorang Pangeran yang mempersilakan seorang Putri untuk menaiki kereta kuda. Konyol sekali, tapi aku suka. "Kita mau ke mana?" tanyaku lagi ketika kami sudah masuk dan dia duduk di balik kemudi. "Ikut saja. Kamu pasti suka," jawab Mahesa sembari tersenyum, yang sialnya terlihat sangat manis. Aku diam saja, mengikuti ke mana pun dia mengajakku. Tahu bagaimana yang aku rasakan saat ini? Mungkin aku memang benar-benar sudah gila, tapi yang kurasakan saat ini persis seperti pasangan backstreet yang takut ketahuan sedang berkencan oleh orang tua. Ini mengingatkanku lagi pada masa-masa dulu saat kami masih pacaran. Mobil yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah warung makan kecil yang sebenarnya tidak jauh dari kantor. Tidak sampai lima menit perjalanan dengan mobil. Aku menundukkan kepala, melihat ke arah warung itu berharap tahu apa yang dijajakan di sana. "Ayo, turun!" ajak Mahesa. Ajakan itu membuat fokusku pada warung makan teralih. Kutengokkan kepala ke arah kanan, di mana Mahesa sudah bersiap untuk turun. Mau tidak mau aku harus mengikutinya. Toh sekarang kami sudah sampai di sini. "Di sini jual gudeg Jogja yang enak banget," kata Mahesa seraya menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Pantas saja dia mengajakku ke sini. Dia itu suka sekali dengan telur kecap yang biasa disajikan bersama gudeg. Dia bilang, telur yang seperti itu sudah dimasak berkali-kali. Makanya tekstur telur itu lebih kenyal dan rasanya meresap hingga ke bagian kuning telur. Dia memesan dua porsi gudeg dan dua gelas es teh manis untuk kami. Tak lupa dia meminta tambahan krecek yang banyak untuk bagianku. Sumpah, aku tak tahu harus bilang apa, tapi dia masih ingat apa yang kusuka dari makanan itu. "Masih suka telur kecap?" tanyaku berbasa-basi. Dia mengangguk. "Makanan ini tuh menyimpan banyak sekali kenangan." Aku diam saja dengan jantung yang berdetak semakin cepat ketika dia menyebut soal kenangan. Tenggorokanku sepertinya ikut memboikot makanan di dalam mulut yang sudah kukunyah sejak bermenit-menit lalu. Lidahku pun ikut-ikutan berkhianat dengan berulang kali mencoba melepeh makanan itu. Es teh manis adalah satu-satunya penolong yang berhasil mendorong makanan di mulutku melewati kerongkongan. "Kamu masih ingat waktu kita study tour ke Jogja?" Dia memiringkan kepala sambil tersenyum. Senyum yang hampir membuatku tersedak es teh. "Aku mau jujur sama kamu," katanya lagi. Fix! Dia membuat selera makanku hilang. Seperti ada yang menggumpal di dalam dadaku hingga aku sama sekali tak berselera lagi untuk menghabiskan gudeg itu. Study tour yang kami lakukan saat masih SMA tersebut adalah momen paling berharga untuk kami, momen yang mungkin tak akan bisa kulupakan sepanjang hidupku. "Itu adalah pertama kalinya aku makan gudeg dengan telur kecap. Aku menyukai makanan itu karena ...," tatapan Mahesa langsung menghujam ke dalam jantungku, "itu mengingatkanku pada perempuan tercantik di sekolah yang baru saja menerima cintaku." Sumpah demi apa pun, aku ingin sekali pergi dari tempat itu. Kedua mataku terasa panas, dan kurasa sebentar lagi air mataku akan jatuh. Napasku seolah tercekat di tenggorokan. Ternyata bukan hanya aku yang menyimpan memori itu dengan sangat dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN