Great! Sekarang aku yang kebingungan. Seharian berdua dengan Mahesa membuatku tidak bisa fokus dalam bekerja. Apa yang kupelajari selama training menjadi Kepala Pembukuan kemarin tiba-tiba lenyap. Otakku blank. Dan lebih sialnya lagi, Mahesa selalu duduk di depan meja kerjaku karena melihat aku yang kebingungan dengan pekerjaan. Aku sudah meminta dia untuk kembali ke mejanya sendiri, tapi dia bersikeras ingin membantu.
"Aku bisa sendiri. Bapak kembali saja ke sana," kataku.
Aku tidak tahu harus dengan cara apa lagi untuk mengusirnya. Kalau dia terus di dekatku, yang ada pekerjaanku tidak akan selesai karena fokusku terbagi.
"Kalau lagi berdua, panggil nama aja. Nggak enak banget dengar kamu manggil aku 'Bapak'." Dia memiringkan bibir.
Kuhela napas kasar lalu menatapnya malas. "Kamu balik ke mejamu sendiri deh, Hes," kataku. Mungkin dengan begini dia akan pergi.
Dia tersenyum lebar. Buru-buru kupalingkan wajah karena dia terlihat lebih ganteng kalau lagi senyum begitu. Ah! Kenapa aku malah memuji lelaki lain, sih? Ingat suami kamu, Zi!
Kutunggu-tunggu dia tidak kunjung menjawabku. Tapi aku enggan untuk menoleh padanya. Setelah beberapa saat, dia berdiri. Bisa kulihat dari pantulan bayangannya di atas meja.
"Kalau ada yang bingung, kamu bisa tanya sama aku."
Setelah mengatakan itu dia langsung berbalik. Aku mengembuskan napas lega begitu dia kembali duduk di kursi kerjanya.
Jangan dikira hari-hariku setelahnya berjalan dengan baik. Setiap hari, setiap saat Mahesa selalu menggodaku. Aku sampai jengkel sendiri. Tapi sesekali dia juga melakukan hal manis yang membuat kekesalanku padanya menguap begitu saja.
"Jus sirsak," katanya saat baru saja masuk ke ruangan.
Aku berpaling padanya yang membawa dua jus buah dalam gelas plastik yang dipress. Satu jus sirsak seperti yang dia katakan, dan satu lagi aku yakin kalau itu jus alpukat kesukaannya.
"Masih suka ini, kan?" Dia meletakkan jus sirsak di mejaku.
Itu memang jus kesukaanku. Ternyata dia masih ingat. Aku tersenyum kecil lalu mengambil gelas jus itu.
"Makasih," kataku.
"Sama-sama." Dia berjalan menuju mejanya sendiri lalu duduk di kursi kerja.
Dia menggeser tumpukan map laporan dari sisi kanan meja. Dibukanya map itu satu persatu untuk diperiksa dan ditanda tangani. Saat dia serius seperti itu, wajahnya terlihat lebih matang dari beberapa tahun lalu. Sangat berbeda dengan kesehariannya yang suka jahil.
Sesekali dia meminum jus alpukat sambil menggigit ujung sedotannya. Salah satu kebiasaan Mahesa yang menurutku sangat menggemaskan. Dia suka menggigit sedotan hingga ujungnya gepeng, dan dia melakukan itu tanpa sadar. Dia baru akan sadar setelah minumannya tidak bisa lewat karena ujung sedotan yang buntu. Seperti sekarang, dia mengernyit lalu berdecak saat mengetahui sedotannya tidak bisa dipakai lagi.
"Pinjam gunting, Zi," katanya.
Aku segera melarikan pandanganku ke sembarang arah dengan gugup waktu dia tiba-tiba melihat padaku. Wajahku memanas. Apa dia tahu aku memerhatikannya?
"Zi ...." Dia memanggilku lagi.
Oh, aku sampai lupa kalau dia tadi mau meminjam gunting.
"Eh? Iya," jawabku gugup.
Kuambil gunting dari tempat pensil lalu kubawa padanya. Saat aku mau memberikan gunting itu padanya, dia malah mengangkat gelas jusnya ke arahku. Dia tidak melihat padaku, kedua matanya fokus memeriksa laporan. Aku tersenyum geli melihatnya begitu. Kutarik sedikit sedotan dari gelas jus itu lalu kupotong ujungnya yang gepeng.
"Makanya kalau minum jangan suka gigitin sedotan. Kasihan sedotannya," kataku sambil memasukkan ujung sedotan tadi ke dalam tempat sampah yang ada di samping lemari arsip.
Saat berpaling dari tempat sampah itu, aku terkejut melihat Mahesa yang sedang menengadah, melihat padaku. Sebentar kemudian, dia tersenyum lalu berkata, "Makasih, ya."
Kutarik sudut bibirku ke atas dengan canggung. Setelah itu aku berbalik dan kembali ke meja kerjaku. Kupejamkan mata sesaat, menyesal dengan apa yang kukatakan barusan.
Aku berdehem lantas kembali duduk seperti semula. Sial! Kenapa mulutku lancang sekali? Beberapa kali kulirik dia untuk melihat bagaimana reaksinya. Kuembuskan napas lega saat kulihat dia tetap fokus pada pekerjaan. Semoga saja dia tidak mempermasalahkan hal ini. Malu sendiri aku.
Ponselku berdering. Kulihat nama Gilang di layar. Mungkin ini peringatan supaya aku tidak memperhatikan lelaki lain saat Gilang tidak ada di sampingku. Atau mungkin Gilang memiliki firasat yang tidak bagus tentang apa yang kulakukan di sini. Entahlah.
"Oh, gitu? Ya udah nggak apa-apa. Besok aja kalau kamu udah pulang," kataku saat Gilang mengatakan kalau dia tidak bisa pulang akhir pekan ini karena harus mengikuti acara peletakan batu pertama untuk pembangunan cabang baru.
Sebelumnya kami berencana untuk berkunjung ke rumah mertuaku hari minggu besok. Tapi karena Gilang tidak bisa pulang, lebih baik diundur saja. Aku tidak enak kalau datang ke sana sendiri.
"Pacar kamu?"
"Eh?" Aku kaget waktu tiba-tiba mendengar pertanyaan Mahesa.
Sebenarnya aku tinggal menjawab "itu suamiku", tapi mulutku cuma mangap-mangap tidak jelas. Dan akhirnya aku cuma bisa nyengir tanpa menjawab apa pun. Entah apa yang dia pikirkan, tapi aku tidak berminat untuk membahas ini dengannya. Namun ... aku merasa sebagian hatiku tidak menginginkan Mahesa tahu kalau aku sudah menikah.
Hh ... aku tahu ini salah. Harusnya aku bilang kalau aku sudah menikah supaya tidak terjadi masalah di belakang nanti.
Eh? Masalah?
"Beruntung banget dia," katanya lagi.
Dia menatapku sambil tersenyum sebentar lalu kembali menyibukkan diri dengan tumpukan laporan di hadapannya. Kenapa aku merasa tidak enak begini? Bukankah bagus kalau dia tahu aku sudah punya pasangan? Jadi tidak akan ada lagi alasan kecanggungan di antara kami.
Kami tidak saling bicara lagi sampai jam kerja habis. Dia terlihat sibuk sekali, pekerjananya seolah tidak ada habisnya sejak tadi. Aku sudah mau pulang, tapi apa tidak masalah kalau aku meninggalkannya sendiri? Bagaimana kalau dia butuh sesuatu? Tapi sampai kapan pekerjaan itu akan selesai? Tumpukannya saja masih tinggi. Bisa-bisa aku sampai di rumah kemalaman. Lalu, bagaimana kalau Gilang berpikir macam-macam karena aku pulang terlambat?
"Kalau mau pulang, duluan aja. Kerjaanku nanggung, sebentar lagi kelar." Mahesa bicara tanpa melihat padaku.
Kasihan juga melihatnya tertimbun pekerjaan seperti itu. Memangnya apa sih yang dia kerjakan sampai sebanyak itu? Daripada penasaran, kuputuskan untuk mendekat padanya.
"Ada yang bisa kubantuin?" tanyaku sambil melihat beberapa kertas yang berserakan di atas meja kerjanya.
Dia mengangkat wajah lalu tersenyum. "Nggak usah. Kamu pulang aja dulu," jawabnya.
Kulihat beberapa buku register yang menumpuk di lantai. Lalu kulihat apa yang ada di depan Mahesa.
"Data non-target?" tebakku.
"Iya. Pak Hilman minta data ini besok pagi. Jadi mesti kuselesaikan sekarang."
Aku mengangguk mengerti. Karena kulihat pekerjaannya masih sangat banyak, kuputuskan untuk membantunya.
"Kamu ngapain di situ?" tanyanya waktu melihatku meletakkan tas kerja di lantai lalu duduk di kursi yang ada di depan mejanya.
"Sini, kubantuin," kataku.
"Kamu pulang aja. Nanti kemaleman, lho."
Aku tersenyum tapi tidak membalas ucapannya. Kuambil selembar kertas folio dan satu buku register lalu mulai mendata seperti yang dia lakukan.
Sambil menunduk, aku menggigit bibir menahan senyum. Aku juga tidak tahu apa yang membuatku ingin tersenyum terus. Yang jelas, dari tadi bibirku tidak mau berhenti tersenyum. Bibirku rasanya sampai perih karena kugigiti terus.
Tidak ada yang bicara di antara kami. Hanya suara kertas dibolak-balik yang menjadi penengah kesunyian ini. Meski begitu, aku senang bisa membantunya. Mungkin aku sudah gila, tapi aku merasa senang bisa lembur bersamanya.