Kamu Apa Kabar?

1262 Kata
Apa ini yang dinamakan takdir? Beberapa tahun lalu, aku susah payah melupakan laki-laki itu. Kenangan yang kami miliki sangat banyak. Sulit sekali bagiku membuka hati untuk laki-laki lain. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Gilang. "Zizi?" Setelah sempat berhenti melangkah beberapa saat, dia kembali melangkah ke arahku. Eh? Ke arah kami, aku dan mbak Lisa. "Lho, kalian saling kenal?" Mbak Lisa menatap kami bergantian. Jujur aku sendiri bingung harus menjawab apa. Yang kulakukan hanya tersenyum kaku, tanpa mampu mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku. "Teman lama," jawab Mahesa. Dia berdiri tepat di sampingku lalu mengulurkan tangan. "Apa kabar?" tanyanya. Kedua mataku seolah refleks mengerjap cepat dengan bola mata yang lari ke sana kemari, menghindari bertabrakan dengan matanya. Sungguh, ini rasanya jauh lebih buruk dari bertemu dengan penagih hutang. "Baik," jawabku dengan suara sangat pelan. Saking pelannya, kurasa dia tidak mendengar suaraku. "Baik," ulangku sekali lagi dengan suara yang lebih keras. Saat tanganku bersentuhan dengan tangannya, dadaku terasa seperti disetrum dengan aliran listrik bertegangan tinggi. Oleh karena itu, aku segera menarik tanganku sambil menggigit bibir dalam. Aku takut dia tahu kalau di dalam dadaku, ada jantung yang berdetak menggila dengan tak tahu malu. "Jadi kamu yang gantiin Lisa?" tanyanya padaku. "Iya," jawabku singkat. "Bagus deh kalau kalian udah saling kenal. Nggak perlu adaptasi lagi," komentar mbak Lisa. "Ya perlu lah ... kan, kita udah lama banget nggak ketemu. Ya nggak?" kata Mahesa sambil melirik padaku. "Eh, aku lanjutin bikin berita acara dulu, ya. Overcup-nya nanti aja sekalian." Seperti baru saja diingatkan, mbak Lisa buru-buru berpaling pada layar PC untuk melanjutkan pekerjaannya lagi. "Yang lama, aku mau ngobrol dulu sama Zizi." Mahesa menelengkan kepala ke arah meja kerjanya. Apa dia sedang mengajakku mengobrol di sana? "Ngobrol di sana aja biar nggak ada yang nguping," katanya lagi setengah berbisik. "Namanya juga punya kuping, masa nggak di pakai," balas mbak Lisa tanpa berpaling dari layar PC. Aku melihat pada mbak Lisa, berharap dia melarangku. Tapi dia terus saja fokus pada layar komputernya. Mau tidak mau, aku mengekori Mahesa ke meja kerjanya. "Duduk." Mahesa menarik kursi untukku. Setelah aku duduk, dia memutari meja lalu duduk di kursi kerjanya. Kugigit bibir dalamku kuat-kuat untuk menutupi kecanggungan. Kepalaku masih menunduk, sama sekali tidak berani melihat wajahnya. "Kamu apa kabar?" Suara itu ... masih seindah dulu. Saat aku mengangkat wajah, dia tersenyum lebar padaku. Seolah dia tahu kalau aku sedang gugup. "Santai aja. Ini bukan sesi wawancara kerja, kok." Benar, kan? Dia tahu kalau aku sedang gugup. Aku menarik sudut bibir ke kanan dan kiri supaya kelihatan sedang senyum. "Baik, Pak," jawabku pada akhirnya. Dia melihatku dengan wajah berkerut. "Kok aku ngerasa tua banget, ya?" Dia terkekeh. Mungkin karena aku memanggilnya "Pak". Dia mencondongkan tubuh ke depan sambil melirik mbak Lisa. Setelah itu dia merapatkan jari di samping mulutnya sambil melihatku. "Kalau nggak ada orang lain, jangan panggil 'Pak'. Biar lebih akrab," katanya setengah berbisik. "Ehem! Kupingku kok panas, ya," celetuk mbak Lisa yang kuyakini itu untuk menyindir Mahesa. "Ck! Pura-pura nggak dengar napa?" Mahesa berdecak kesal, tapi sebentar kemudian, dia terkekeh. Kutundukkan lagi kepalaku dalam-dalam sampai daguku hampir menyatu dengan leher. Aku sedang bingung. Apa aku harus resign? Satu kantor dan satu ruangan dengan Mahesa ... itu artinya setiap hari kami bakal bertemu. Apa ini bagus? Kurasa tidak. "Kita mulai sekarang yuk overcup-nya. Berita acaranya sudah jadi." Mbak Lisa beranjak sambil membawa tiga lembar kertas berisi berita acara serah terima jabatan yang akan kami tanda tangani. "Kamu sudah telepon pak Erlang?" Mahesa bertanya pada mbak Lisa. "Belum. Tadi waktu Zizi datang, belum masuk jam kerja." "Ya udah, aku aja yang laporan." Mahesa beranjak lalu berjalan ke meja kerja mbak Lisa untuk menelepon pak Erlang--Kepala HRD--dengan telepon kantor. Mbak Lisa memberi isyarat padaku untuk mendekat padanya. Aku menurut, mengikuti mbak Lisa ke rak arsip yang ada di sisi kanan ruangan. "Ini sudah ada tulisannya masing-masing. Arsip Laporan Akhir Bulan, Laporan Posisi Usaha Mingguan, dan Laporan Tutup Buku ada di atas. Sengaja aku sendirikan, soalnya untuk Kepala Pembukuan baru biasanya bingung soal Laporan Tutup Buku. Biar gampang nyarinya," terang mbak Lisa. "Iya, Mbak," kataku. Setelah menunjukkan letak arsip, mbak Lisa kembali ke meja kerjanya. Aku mengekori di belakang, persis seperti anak ayam yang mengikuti induknya. "Overcup pembukuan dulu, ya." Mbak Lisa menggeser beberapa buku lalu membukanya. Dia memintaku untuk mencocokkan saldo di empat buku yang saling berkaitan. Setelah itu, dia menunjukkan padaku buku-buku yang lain. Yang terakhir, mbak Lisa memintaku menghitung saldo uang yang ada di brankas dan mencocokkannya dengan saldo yang ada di Buku Agenda. Aku tahu kalau overcup begini, harus diambil fotonya untuk dikirim sebagai bukti ke Staf Pusat. Tapi aku merasa Mahesa mengambil objek yang salah. Beberapa kali aku melihatnya membidikkan kamera di ponselnya hanya ke arahku. "Fotonya yang bener!" seru mbak Lisa yang ternyata juga memergoki Mahesa sedang membidikku dengan kameranya. Bukannya menyudahi apa yang dia lakukan, Mahesa justru menjawab dengan jawaban yang membuatku semakin insecure. "Biar ada foto Zizi di HP-ku," ucapnya. Maksudnya apa coba? Aku malu sama mbak Lisa. "Hh ... gini nih, mulut buaya!" sindir mbak Lisa. "Jangan sembarangan kalau ngomong! Aku itu tipe lelaki setia," kata Mahesa pada mbak Lisa, tapi matanya melihat padaku. "Jangan kemakan rayuannya, Zi. Kalau lagi kumat ya begini ini," balas mbak Lisa. Mahesa tidak menjawab lagi. Dia masih sibuk memgambil foto kami, fotoku lebih tepatnya. Karena kameranya hanya mengarah padaku. Proses overcup itu tidak lama. Setelah berita acara ditanda tangani, itu berarti overcup-nya sudah selesai. "Eh, aku langsung cabut, ya. Hari ini aku harus sudah sampai di kantor pusat. Nanti sekalian berita acaranya aku bawa ke sana. Udah di stampel belum, sih?" mbak Lisa meminta berita acara itu dari Mahesa. "Hampir aja lupa," gumam mbak Lisa, lalu dia membubuhkan stampel di antara tanda tangan kami. Mbak Lisa memasukkan berita acara itu ke dalam amplop coklat lalu membereskan beberapa barangnya. Tidak banyak, hanya satu kardus kecil. Mungkin dia sudah mencicilnya tempo hari. "Ini kuncinya." Mbak Lisa menyerahkan satu bendel kunci kepadaku. "Jangan lupa, setiap mau ditinggal keluar, kunci laci dan brankas," pesannya. "Iya, Mbak," jawabku. "Kerja yang jujur dan benar. Kamu beruntung punya Manager seperti pak Hesa. Dia nggak cuma paham soal perencanaan, tapi juga ngerti tentang pembukuan. Jadi kamu nggak akan kesulitan. Dia bisa bantu." Mbak Lisa memberiku satu pelukan. Sekarang yang jadi masalahku bukan soal pembukuan, melainkan soal Mahesa. Bagaimana aku harus berhadapan dan berdampingan dengannya setiap hari? "Aku tinggal, ya. Baik-baik kalian berdua," pamit mbak Lisa. "Nggak usah dimodusin! Awas kalau sampai aku dengar Zizi nggak betah di sini gara-gara kamu modusin!" Mbak Lisa menunjuk Mahesa sambil memicing, memberi peringatan. Lelaki itu malah tertawa sambil menurunkan jari mbak Lisa yang menunjuknya. "Nggak bakal aku modusin, paling cuma aku deketin," katanya yang entah kenapa itu membuat wajahku memanas. "Baru aja dibilangin udah langsung tebar modus. Nggak usah dengerin dia, Zi. Emang gini kelakuan Manager kamu kalau lagi oleng," balas mbak Lisa sambil cekikikan. "Udah sana, katanya mau cabut." Mahesa mendorong pelan tubuh mungil mbak Lisa keluar ruangan. Dari sini aku masih bisa mendengar suara mbak Lisa yang protes sambil tertawa terhadap apa yang Mahesa lakukan padanya. Mereka terlihat akrab sekali. Sangat berbeda dengan mbak Mei dan pak Abdi yang terlihat kaku meski setiap hari mereka satu ruangan. Beberapa saat kemudian Mahesa kembali ke ruangan. Waktu dia menutup pintu, tiba-tiba saja aku merasa oksigen di ruangan ini menipis. Dadaku rasanya sesak, seolah aku kesulitan bernapas. Ada rasa panas yang menjalar dari dalam dadaku ke seluruh tubuh. Aku sangat kenal dengan apa yang kurasakan saat ini. Terlebih lagi waktu Mahesa berdiri di depanku. Dia menatapku intens sambil tersenyum tipis. Sesaat kemudian dia memelukku sambil berbisik, "Aku kangen banget sama kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN