Setelah merasa tenang, Starla pun melepaskan pelukannya dari Gibran, tangannya menarik kemeja milik Gibran dan di gunakan untuk mengusap ingusnya tanpa merasa sungkan sedikitpun.
Gibran pun hanya bisa menggelengkan kepalanya dengan pelan, bisa-bisanya ada wanita seperti Starla.
"Mau aku antar pulang?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Starla menatap ke arah mobil Gibran.
Starla pun menggelengkan kepalanya dengan cepat, ayahnya marah karena dirinya muncul di area itu dan mungkin saja yang di takuti ayahnya adalah keluarga Gibran.
"Aku akan naik taksi aja, makasih ya buat dadanya dan juga lap ingusnya." Jawab Starla yang langsung saja membuat Gibran mengulurkan tangannya dan mengacak rambut Starla dengan pelan.
"Yaudah aku cariin taksi, jangan nolak." Kata Gibran yang langsung saja membuat Starla menahan kata-katanya dan menurut begitu saja.
Setelah menunggu sebentar, Gibran menghentikan sebuah taksi dan menggandeng tangan Starla untuk mendekati taksi itu, jangan lupakan dengan tatapan Starla yang terus menatap ke arah tautan tangan keduanya.
Gibran membukakan pintu untuk Starla dan membantu Starla untuk masuk ke dalamnya, tak lupa Gibran juga memberikan ongkos pada supir taksi agar Starla tak merasakan beban lagi.
"Nanti, kalau ada apa-apa jangan lupa kabarin aku atau Kenzo, sampai rumah langsung cuci wajah dan bersihkan diri, setelah itu langsung tidur." Pesan Gibran yang langsung saja di jawabi anggukan oleh Starla.
Taksi pun mulai berjalan, meninggalkan Gibran yang masih ada di luar mobil dengan tatapan yang tertuju pada taksi yang sudah mulai menjauh. Gibran pun berniat untuk kembali memasuki mobil tapi niatnya terhenti saat melihat mobil yang berhenti di belakang mobilnya, mobil yang sangat-sangat ia kenali.
"Siapa wanita itu?"
Benar saja, mamanya baru saja turun dari mobilnya dan langsung menodongkan pertanyaan seperti itu padanya, tiba-tiba saja Gibran menoleh ke arah mobilnya dan melihat ke arah neneknya yang juga keluar dari mobilnya. Sekarang ia tahu, dari mana bundanya tahu semuanya.
"Kita cuma temenan mah, lagian nenek kenapa juga ngasih tahu mama, kan belum ada kejelasan." Kata Gibran yang langsung saja memarahi kedua orang yang di sayanginya.
"Ini itu salah kamu, kenapa malah nyalahin nenek." Kesal Tasya yang langsung saja memukul pelan bahu Gibran.
Tasya memfokuskan tatapannya pada kemeja putih putranya, tentu saja dirinya perlu menyelidiki semuanya, apalagi sudah ada bekas bibir seorang wanita yang mengotori kemeja putranya.
"Ayo pulang, kita buka sidang perjodohan di rumah." Ajak Tasya yang langsung saja membuka pintu mobilnya dan menjalankan mobilnya terlebih dahulu, meninggalkan Gibran yang masih membantu neneknya untuk kembali masuk ke dalam mobil.
Tentu saja dirinya tak bisa menghindar dari perjodohan yang akan di lakukan bundanya, tapi apa salahnya jika dirinya mencoba? Toh dirinya juga tak terlalu yakin dengan Starla, mengingat bagaimana kelakuan wanita itu.
Gibran mengendarai mobilnya dengan kecepatan rata-rata, tatapannya fokus menatap ke arah jalanan, dan mengabaikan tatapan neneknya yang sedari tadi terus mengarah padanya.
"Kamu suka sama dia? Nenek nggak masalah meskipun dia anak haram." Tanya Krystal yang langsung saja membuat Gibran menoleh dan tersenyum tipis ke arah neneknya.
"Dia cuma model di kantor kok nek, hanya saja dia punya keadaan yang sedikit mirip sama Gibran." Jawab Gibran yang langsung saja membuat Krystal terdiam.
Jika sudah membahas hal itu, tentu saja Krystal tak akan berani lagi membantah, apalagi sebentar lagi ulang tahun cucunya tiba, Krystal tak akan pernah melupakan kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada cucunya itu.
"Gibran, di hari peringatan kematian bunda, tolong tetap di rumah ya, jangan buat nenek khawatir, bukannya nenek marah, tapi nenek sudah semakin tua, nenek sedih kalau lihat Gibran seperti itu." Kata Krystal dalam hati, tentu saja dirinya tak berani mengungkapkan semuanya.
Keduanya pun kembali terdiam dan fokus pada pikirannya masing-masing. Tentu saja pikiran Gibran tak jauh-jauh dari Starla, memikirkan apa wanita itu sudah sampai? Apakah dia juga baik-baik saja?
Gibran turun dari mobil setelah akhirnya sampai di rumah, dengan sangat hati-hati dirinya membantu neneknya untuk turun dari mobil dan membantunya untuk berjalan.
"Nenek nggak akan bisa merasa tenang kalau belum ada yang mengurusmu dengan baik." Kata Krystal tiba-tiba saat keduanya berjalan untuk masuk ke dalam rumah.
"Gibran janji nggak akan buat nenek khawatir," jawab Gibran yang langsung saja membuat Krystal memegang tangan cucunya dengan erat.
"Suatu hari, nenek pasti akan menyerahkanmu pada wanita pilihanmu sendiri, nenek akan benar-benar menitipkan cucu kesayangan nenek yang tampan ini." Lanjut Krystal dengan suara pelannya.
Gibran tertawa kecil saat mendengarnya, ia tak terkejut dengan kata-kata yang di ucapkan neneknya, karena dirinya cukup sadar kalau sedikit menyusahkan.
"Terima kasih Nek, nenek memang yang paling terbaik buat Gibran." Balas Gibran seraya mengecup pelan pipi neneknya.
Nyatanya, tak ada sidang apapun yang terjadi, karena mamanya tiba-tiba saja berubah pikiran, mamanya malah terus mendesaknya untuk segera membawa wanita pilihannya, takut-takut kalau nanti wanita itu hilang dan di ambil orang.
Saat ini Gibran ada di kamarnya, sedari tadi tatapannya tertuju ke arah ponselnya, menunggu kabar dari Starla yang entah sejak kapan sudah ia harapkan. Mengingat wanita itu, Gibran merasa ada sesuatu yang berbeda. Dirinya yang berasal dari keluarga berada dan banyak orang yang menyayanginya, berbeda dengan Starla yang merasakan sakit luar dalam karena perlakuan orang tuanya.
Suara ponsel yang berbunyi membuat Gibran segera mengambil ponselnya, dirinya mendengus pelan saat melihat nama Kenzo yang tertera di atas layarnya.
Setelah mengambil napas cukup panjang, Gibran pun mulai menggeser layar hijau yang ada di ponselnya dan terdengarlah suara Kenzo yang hampir sama cerewetnya dengan mamanya.
"Starla sudah sampai rumah." Kata Kenzo yang akhirnya memberitahu Gibran.
"Kenapa bilang ke gue?" Tanya Gibran dengan suara pelan.
"Gue juga nggak mau bilang, tapi Starla yang minta." Balas Kenzo dengan sewot, mana mungkin dirinya rela membagikan kabar wanita idamannya pada laki-laki lain.
"Ah, syukur deh." Kata Gibran dengan suara pelan.
Keduanya pun kembali terdiam, sedikit canggung memang, apalagi jika sudah menyangkut Starla, tentu saja Gibran masih memikirkan Kenzo, karena selama ini Kenzo sudah menerapkan dirinya dengan baik untuk menjadi kakaknya, hanya saja sikapnya yang sedikit mengesalkan membuat Gibran sering mengacuhkannya.
Gibran ingat betul waktu kepulangannya pertama kali dari luar negeri, pertama kali yang ia tuju saat itu adalah makam kedua orang tuanya, dan di sana Gibran menemukan Kenzo yang tengah membersihkan makam bundanya sembari menceritakan soal kehidupannya dengan mamanya, di mana Kenzo mulai menyesali perbuatannya yang sering marah-marah dan tak menerima keadaan mamanya itu.
"Starla orangnya ceroboh, dia juga sering jatuh dan membuat dirinya sendiri kesakitan." Kata Kenzo tiba-tiba.
Gibran kembali pada dunianya setelah mendengar kata-kata yang di ucapkan oleh Kenzo.
"Gue bukannya nggak mau ngalah, tapi gue mau Lo punya pendamping yang pas, yang bisa jaga Lo dengan baik, bukan malah ngerepotin seperti Starla." Lanjut Kenzo lagi.
Gibran terdiam, ia tahu dirinya memang membutuhkan wanita yang bisa menenangkannya saat dirinya ada di masa yang sedikit memprihatinkan.
"Gue nggak suka sama Starla." Kata Gibran tanpa sadar.
"Dan gue juga tahu, kalau gue cukup memprihatinkan, gue akan menikah sama wanita yang mau mengerti keadaanku dan juga yang mampu menenangkanku di saat hari itu tiba setiap tahunnya." Lanjut Gibran lagi yang langsung saja membuat Kenzo terdiam.
"Biar gue nggak ngerepotin Lo setiap tahunnya, biar keluarga gue juga nggak panik lagi mikirin bayi besar yang seperti gue ini." Lanjut Gibran lagi dengan mata berkaca-kaca.
"Sebenarnya gue nggak mau bahas hal ini Bran, tapi Lo sudah seperti adek gue sendiri, jika suatu saat wanita yang akan gue nikahi itu adalah wanita yang pantas buat kamu, gue rela ngelepasin dia, asal dia mampu buat Lo nyaman." Kata Kenzo yang langsung saja membuat Gibran terdiam.
Ia tahu, Kenzo memang sesayang itu padanya, Kenzo juga pernah mengatakan jika dirinya itu sudah di anggap sebagai adik kandung, karena laki-laki itu juga sangat menghormati bundanya, melebihi dirinya yang bahkan sampai sekarang tak mampu untuk menerima semua kenyataan yang ada.
"Dua Minggu lagi hari peringatan kematian bunda, jangan kemana-mana dan jangan minum apapun yang bikin kamu di rawat berhari-hari di rumah sakit, kamu harus ingat kalau rumah sakit adalah hal pertama yang kamu benci." Kata Kenzo mengingatkan Gibran.
"Akan gue usahakan." Balas Gibran dengan ragu.
Tentu saja, dirinya tak berani menjawabnya dengan lantang, karena di hari itu bagaikan sebuah siksaan untuknya, memikirkan bagaimana bundanya yang tergeletak dengan darah di mana-mana, memikirkan bagaimana bundanya yang mengucapkan janji untuk tak meninggalkannya dan banyak lagi yang ia pikirkan saat hari itu tiba.
"Dalam waktu dekat ini, jangan menatap tanggalan, agar semua terlewat begitu saja." Titah Kenzo lagi.
"Aku matikan," lanjut Kenzo seraya mematikan sambungan telponnya.
Gibran terdiam di tempatnya, matanya menatap ke arah tanggal yang tertera di layar ponselnya, ternyata tak ada dua Minggu dari sekarang.
Gibran memejamkan matanya dan meletakkan ponselnya kembali, hingga suara dering chat yang terdengar kembali membuat laki-laki itu membuka matanya dan meraih ponselnya.
"Aku sampai rumah dengan selamat, terima kasih sudah mau di repotkan."
Pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya membuat Gibran tersenyum tipis.
"Jangan menelpon ataupun membalas." Suara chat yang kembali masuk menghentikan gerakan tangan Gibran yang ingin membalaskan sesuatu.
Gibran pun menurut dan kembali meletakkan ponselnya, hari ini dirinya cukup lelah dan memilih untuk memejamkan matanya.
Di ruang tengah, Krystal dan juga Tasya sedang duduk di sana. Krystal berbicara dan mulai melarang Tasya agar tak perlu ikut campur mengenai permasalahan wanita yang akan menjadi jodohnya Gibran nantinya.
"Kita fokus sama keadaan Gibran dulu, bunda yakin pasti anak itu akan menempatkan dirinya dengan baik, kasih dia waktu dulu." Kata Krystal yang langsung saja membuat Tasya terdiam.
"Bund, Tasya benar-benar bukan mama yang baik untuk Gibran, di bandingkan dengan kak Alisya, Tasya benar-benar tak mampu menyamakannya." Balas Tasya yang langsung saja membuat Krystal terdiam.
"Sebentar lagi hari itu tiba, Tasya takut terjadi apa-apa sama Gibran, bagaimana jika Gibran mencoba bunuh diri lagi? Tasya benar-benar takut bund." Kata Tasya yang tanpa sadar mengeluarkan air matanya.
Krystal terdiam cukup lama, ia yakin cucunya tak akan berbuat seperti itu lagi.
"Bunda juga khawatir, yang harus kita lakukan hanyalah percaya pada anak itu, jangan buat dia tertekan hingga kembali depresi." Balas Krystal dengan tenang.
"Bunda yakin, suatu saat anak itu akan baik-baik saja jika menemukan wanita yang cocok, bunda sudah berpikir akan memberikan apapun untuk wanita itu agar mau bersama Gibran, sekalipun itu nyawa bunda sendiri." Lanjut Krystal yang langsung saja membuat Tasya mendekat dan memeluk bundanya dengan erat. Sebanyak itulah rasa cinta bundanya pada Gibran.
Starla terdiam di atas kamar kontrakannya, sedari tadi matanya menatap ke arah ponselnya dengan kesal, tak mungkin juga kan kalau Gibran menurut begitu saja dan tak membalas pesannya? Benar-benar menyebalkan jika di pikirkan.
"Ah, bocah kaya itu, kenapa juga harus anak itu yang kaya? Kalau Kenzo kan lebih mudah buat di miliki." Gumam Starla mulai lagi, melupakan bagaimana sikap ayahnya beberapa jam yang lalu.
"Semangat Starla, semangat, jangan menyerah, semua demi kebaikan kamu sendiri." Katanya lagi untuk memberi semangat dirinya sendiri, jangan lupakan tatapan sinis yang ia arahkan ke ponselnya karena kesal.
Starla pun memilih memejamkan matanya dan memasuki alam mimpinya dengan tenang, tak seperti kehidupannya yang kacau balau dan sangat menyakitkan.
Dua hari kemudian, Starla menaiki taksi untuk datang ke kantor milik Gibran, tentu saja untuk menandatangani kontrak yang belum sempat ia tanda tangani, apalagi tadi pagi dirinya juga mendapatkan notif transferan yang cukup besar. Jangan lupakan pesan singkat Gibran yang mengatakan jika gajinya sudah di transfer, ah benar-benar sangat memalukan, dirinya yang sudah menghancurkan malah di beri gaji yang cukup banyak, melebihi gaji yang di janjikan oleh Kenzo yang sampai sekarang tak ada kabarnya itu.
"Terima kasih pak." Kata Starla seraya mengulurkan uang pada supir taksi setelah sampai pada tujuannya.
Sekali lagi, Starla menatap ke atas gedung bertingkat yang ada di depannya, ia baru menyadari jika perusahaan ini cukup terkenal di kalangan pengusaha-pengusaha kelas atas, mengingat bagaimana dirinya yang mencari informasi lewat internet tempo hari.
Starla mulai melangkahkan kakinya menuju pintu masuk perusahaan itu, tatapannya ia arahkan pada beberapa karyawan yang tengah berjalan ke sana ke mari dengan membawa berkas yang ada di tangannya.
Langkah Starla akhirnya sampai di meja resepsionis, dan menanyakan keberadaan Gibran untuk membuat janji temu.
"Maaf mbak, hari ini pak Gibran ada jadwal penerbangan ke Amerika, dan sebentar lagi akan pergi, jadi mohon maaf." Kata seorang resepsionis itu dengan nada yang sopan.
Suara langkah kaki yang terdengar mendominasi tempat itu membuat Starla menoleh, menatap ke arah Gibran yang tengah berjalan sembari mengecek file yang ada di tangannya.
"Ares, untuk tempatnya apa sudah di tentukan? Tolong kamu hubungi pihak yang ada di Amerika, aku nggak mau membuat Kakek menunggu lama nanti." Kata Gibran yang tentu saja langsung membuat Sekertaris laki-lakinya itu mulai mengeluarkan ponselnya dan melaksanakan hal yang di perintahkan oleh bosnya.
Starla masih terdiam di tempatnya, dirinya tiba-tiba saja merasa terpesona akan penampilan bocah tampan yang cukup berkuasa itu, hingga langkah itu semakin menjauh dari tempatnya.
"Kalau gitu saya permisi ya, saya akan kembali lagi nanti." Kata Starla yang langsung saja ikut pamit undur diri setelah melihat Gibran menaiki mobil yang sudah terparkir rapi di depan kantornya.
Starla mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu di layar ponselnya.
"Hati-hati di jalan." Tulis Starla dan menekan tombol send agar pesannya terkirim pada Gibran yang mungkin saja tak akan tertarik dengan pesannya, mengingat bagaimana sibuknya laki-laki itu tadi.
Tbc