"Apa lihat-lihat?" Kesal Starla yang langsung saja membuat Gibran tertawa mendengarnya.
Tak tahu kenapa, Starla terlihat lucu saat marah seperti itu.
"Dari tadi aku nungguin piring kotor kok, sana lanjutin lagi biar aku yang cuci piringnya." Jawab Gibran seraya mengambil alih piring milik Starla dan berlalu begitu saja untuk kembali ke dapur.
Kenzo terdiam saat melihat tawa Gibran yang terlihat berbeda sekali dari biasanya, dirinya memang tak terlalu dekat dengan Gibran tapi dia tahu kalau Gibran memanglah butuh orang yang tepat untuk menemani hari-harinya. Meskipun begitu, Kenzo tak pernah sekalipun berpikir jika wanita itu adalah Starla, pujaan hatinya.
"Ayo kita bicara di luar,"
Suara Kenzo yang terdengar membuat Starla menoleh dan menatap kesal ke arah Kenzo, dirinya benar-benar sangat kesal pada laki-laki itu, karena gara-gara dia imagenya di depan Gibran sedikit berkurang. Starla pun mengikuti langkah Kenzo meskipun dirinya sedang kesal.
Gibran yang mendengar Kenzo mengajak Starla keluar tentu saja berpikir jika Kenzo akan mengajak Starla untuk pulang, dengan cepat Gibran meletakkan piringnya dan menyusul ke depan.
Langkah Gibran terhenti saat melihat tas dan juga sepatu Starla yang tertinggal, dengan cekatan Gibran mengambil semuanya karena dirinya berpikir Starla melupakan semua itu.
Gibran menatap ke arah Starla dan Kenzo yang ada di depan pintu, melihat keduanya yang masih berbincang membuat Gibran sedikit canggung.
"Gue cuma mau ngasih ini kok, takutnya ketinggalan." Kata Gibran yang langsung saja berjalan mendekat dan menyerahkan semua itu pada Kenzo.
Gibran berjalan ke arah rak sepatutnya dan mengambil sandal jepit yang ia punya, tentu saja Gibran juga membantu Starla untuk memakainya.
"Kamu ngusir aku?" Tanya Starla yang langsung saja membuat Gibran terdiam dan mendongakkan kepalanya menatap ke atas, melihat wajah Starla yang terlihat kesal.
"Kamu bukannya mau pulang bareng Kenzo?" Tanya Gibran dengan polosnya.
Kenzo tertawa keras saat mendengarnya, tentu saja kali ini tatapannya menatap penuh ejekan ke arah Starla.
"Gibran, kamu sebenarnya orang apa manusia sih? Kesel aku." Ceplos Starla yang lagi-lagi mengundang tawa Kenzo.
"Gue kasih tahu ya, Lo sama dia itu nggak cocok, Lo suka main ke bar dia anti banget sama bar, Lo suka berisik dia enggak, banyak banget perbedaannya." Sela Kenzo memberitahu Starla.
"Kagak percaya, dia yang duitnya banyak mana mungkin nggak pernah ke bar." Balas Starla tak percaya.
"Coba Lo tanya sendiri." Kata Kenzo seraya menatap ke arah Gibran.
"Udah-udah, kalian kalau mau pulang hati-hati ya, aku mau istirahat sebentar lagi mau temenin nenek jalan-jalan." Kata Gibran yang langsung saja membalikkan badan dan pergi begitu saja.
Tak ada hal yang memalukan dari apa yang ia lakukan, hanya saja di usianya yang sudah sangat dewasa, memanglah sedikit ketinggalan jaman karena tak pernah mengunjungi tempat seperti itu.
"Aku pulang nanti, mau di antar Gibran, kamu pulang dulu ya, Bye." Kata Starla yang langsung saja pergi mengikuti jejak kaki Gibran.
Sebenarnya dirinya benar-benar penasaran dengan jawaban Gibran, jujur saja dirinya tak percaya jika laki-laki itu tak pernah sekalipun mengunjungi bar, padahal dari semua cerita yang ia dengar, laki-laki itu memiliki cukup banyak masalah.
Starla menghentikan langkahnya saat melihat Gibran tengah bertelpon dengan seseorang yang di panggil dengan sebutan nenek.
"Iya nek, Gibran akan siap-siap buat jemput nenek." Balas Gibran yang akhirnya memilih untuk mematikan sambungan telponnya.
Dalam hati Starla benar-benar menyesal karena telah menyuruh Kenzo pergi terlebih dahulu, jika dirinya tahu kalau Gibran benar-benar memiliki janji dengan neneknya tentu saja dirinya akan ikut pergi bersama Kenzo.
"Tunggu bentar ya, nanti sebelum jemput nenek aku anterin kamu dulu." Kata Gibran seraya menatap ke arah Starla yang terlihat mematung di tempatnya.
Starla pun hanya bisa mengangguk dan kembali duduk di atas sofa untuk menunggu Gibran, dan tak ada 5 menit laki-laki itu sudah kembali dengan baju andalannya.
"Sudah?" Tanya Starla tak percaya. Demi Tuhan, Kenzo saja menghabiskan hampir setengah jam untuk berganti dan kenapa laki-laki di depannya sangat berbeda?
"Sudah, nenek sudah menunggu jadi tak terlalu baik jika membuat orang tua menunggu lama." Jawab Gibran seraya membenarkan jam tangannya.
"Kalau gitu aku naik taksi aja deh," balas Starla yang langsung saja di jawabi gelengan oleh Gibran.
"Udah terlanjur, ayo jalan." Ajak Gibran seraya menggandeng satu lengan Starla agar Starla mengikuti langkahnya.
Keduanya pun berjalan dengan bergandengan ke arah parkir, sebenarnya Gibran berniat membawa Starla untuk ikut dengannya, hanya saja dirinya tak tahu bagaimana harus bicara.
"Bran, kamu beneran nggak pernah datang ke bar?" Tanya Starla kembali mengingat hal yang membuatnya penasaran.
Gibran yang sedang menyalakan mesin mobilnya pun hanya menoleh dan mengangguk pelan, tentu saja dirinya akan jujur, pantang baginya untuk berbohong, apalagi dengan ajaran yang di berikan oleh orang tuanya.
"Sekalipun?" Tanya Starla kembali membuat Gibran mengangguk dan tersenyum tipis.
"Pantesan duit aman, bar nggak pernah main cewek juga enggak, benar-benar anak yang baik." Nilai Starla seraya menatap sinis ke arah Gibran.
Gibran pun hanya tersenyum tipis, tak tahu saja kalau tiap bulannya dirinya juga mengirimkan beberapa untuk panti yang dulu akan ia kunjungi bersama kedua orang tua kandungnya.
"Tiap bulannya, pendapatan selalu naik, dan mungkin emang rejeki anak-anak sih." Balas Gibran yang langsung saja membuat Starla menoleh.
"Bentar, kamu udah punya anak?" Tanya Starla yang langsung saja membuat Gibran menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Bukan, maksudku anak panti, dulu ada panti milik teman bunda dan tiap bulannya keluarga aku juga sering bagi penghasilan ke sana." Jelas Gibran yang langsung saja membuat Starla menganggukkan kepalanya pelan.
"Ini juga mau ke sana kok, nenek udah nunggu karena uangnya kemarin udah aku kirim ke nenek." Lanjut Gibran lagi.
"Seberapa banyak penghasilan kamu selama sebulan?" Tanya Starla dengan serius.
"Survei?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Starla melemparkan tasnya karena kesal.
"Bran, gue nggak sengaja, coba minggir dulu, kita obatin lukanya." Kata Starla yang langsung saja melihat darah yang keluar dari pipi Gibran setelah tasnya jatuh ke bawah.
"Luka kecil kok, nggak masalah." Balas Gibran seraya mengambil tisu dan mengusapnya dengan cepat.
Starla terdiam, dirinya sudah banyak sekali membuat ulah dan laki-laki itu masih saja bersikap lemah lembut padanya, bahkan dirinya tak pernah mendapatkan Omelan sedikitpun, dan hal itu membuat Starla merasa tak enak hati.
"Mau ikut ke panti?" Tanya Gibran seraya mengambil tas dan menyerahkannya kembali ke arah Starla.
"Boleh?" Tanya Starla yang langsung saja membuat Gibran mengangguk dengan cepat.
Perjalanan ke panti pun terasa begitu tenang saat Starla sibuk membenahi riasannya, hingga tanpa terasa mobil pun memasuki area panti bertepatan dengan polesan lipstik di bibir tipis milik Starla.
Gibran mematikan mesin mobilnya, tangannya bergerak melepas jasnya dan menyerahkannya ke arah Starla.
"Pakai itu aja, biar nggak terlalu terbuka, banyak anak-anak soalnya, nggak baik kalau mereka dewasa sebelum waktunya." Kata Gibran yang langsung saja membuat Starla mengangguk pelan.
Gibran turun terlebih dahulu dan berjalan ke samping untuk membukakan pintu Starla, Gibran pun menundukkan kepalanya untuk membantu Starla memakaikan heels yang sudah membuat kakinya lebam.
"Nanti jangan lari-lari ya, kalau mau main sama anak-anak sepatunya di lepas juga nggak masalah, jangan terlalu mikirin penampilan, yang paling penting itu kesehatan dan kenyamanan diri kita sendiri." Titah Gibran dengan suara lemah lembutnya.
"Sudah, ayo keluar." Kata Gibran seraya mengulurkan tangannya untuk membantu Starla turun dari mobil.
Starla pun hanya menurut, tatapannya sedikit terpesona dengan semua hal yang di lakukan oleh Gibran padanya.
Keduanya berjalan memasuki area halaman panti dengan Gibran yang berjalan di belakang Starla, terlihat sekali jika Gibran tengah sibuk mengutak-atik ponselnya dan menghubungi neneknya.
"Abang," teriakan anak-anak yang terdengar membuat Gibran terkejut dan menatap ke arah gerombolan anak-anak yang berlari menuju ke arahnya.
"Halo," sapa Gibran yang langsung saja duduk dan menyambut anak-anak yang datang.
"Hari ini Abang nggak bawa jajan, maaf ya." Kata Gibran dengan suara pelan.
"Nenek sudah bawa banyak, nenek bilang Abang akan datang mangkanya kita semua ke sini." Kata salah satu anak yang ada paling depan dan berada di dekat Gibran.
Gibran tersenyum tipis dan mencubit pelan pipi anak itu.
"Oh ya, hari ini Abang bawa teman, namanya kak Starla." Kata Gibran seraya mengenalkan Starla pada anak-anak panti.
"Kak Starla orang baik?" Tanya seorang anak perempuan yang jika di tebak berusia 5-6 tahunan.
"Coba tanya langsung." Jawab Gibran yang langsung saja membuat anak itu berlari dan menghampiri Starla.
"Kak Starla orang baik?" Tanya anak itu dengan menarik-narik dress yang di pakai Starla.
Starla pun duduk untuk menyamakan tingginya dengan anak itu, tangannya bergerak menyentuh kepalanya dan tersenyum tipis.
"Nama kamu siapa?" Tanya Starla yang langsung saja membuat anak itu tersenyum lebar.
"Vira, namaku Vira." Jawab anak itu sembari mengulurkan tangannya ke arah Starla.
"Halo, mulai sekarang kita temenan ya." Balas Starla yang langsung saja membuat Vira mengangguk dengan cepat.
Anak-anak yang lain pun mulai mendekati Starla dan memperkenalkan dirinya masing-masing, hingga akhirnya Starla tak sanggup lagi menahan kakinya yang tiba-tiba saja terasa sangat nyeri dan menyakitkan.
Starla pun terjatuh ke belakang, yang langsung saja membuat Gibran berdiri dan menghampiri Starla.
"Anak-anak, tolong mundur dulu ya." Pinta Gibran dengan suara pelan.
Gibran pun membantu Starla berdiri, dan dirinya kembali duduk untuk mengecek kaki Starla yang ternyata sudah membiru.
"Starla ngapain kamu di sini?"
Pertanyaan yang terdengar dari suara seseorang yang tak asing membuat Starla yang mulanya menatap ke arah Gibran kini menoleh ke arah laki-laki paruh baya yang tak jauh darinya.
Gibran pun ikut menoleh, tatapannya tertuju pada nenek dan juga ayah Starla yang ia ketahui tempo hari.
"Dia datang sama saya om, karena dia kerja di perusahaan saya." Jawab Gibran seraya berdiri dari duduknya dan sedikit maju untuk menggeser tubuh Starla agar sembunyi di belakangnya.
"Gibran, dia ini salah satu tokoh negara dan mau berdonasi dalam jangka waktu panjang." Jelas Krystal yang langsung saja membuat Gibran mengangguk dan berjalan ke depan untuk mengulurkan tangannya.
"Senang bertemu dengan anda." Kata Gibran dengan suara yang sangat ramah.
"Ah, senang juga bertemu pemuda mapan kayak kamu, kebetulan anak saya memang sangat mengagumi cucu anda." Kata ayah Starla pada Krystal.
"Benarkah? Kapan-kapan bisa di atur waktunya untuk makan bersama." Jawab Krystal tentu saja kembali membuktikan perjodohan untuk cucunya.
"Wah, benar-benar kabar bagus, nanti akan saya hubungi lagi, kalau begitu saya pamit ya." Kata Ayah Starla seraya menoleh menatap Starla dengan tatapan tajam.
"Starla ayo pulang," ajak ayah Starla yang langsung saja menarik tangan Starla dengan kasar.
Gibran pun mengejar dan menahan lengan ayah Starla, untuk memberitahu jika kaki putrinya sakit dan tak memungkinkan untuk jalan secepat itu, tapi semuanya sia-sia.
Krystal menghampiri cucunya yang terlihat sedikit khawatir pada wanita yang baru saja di bawa pergi oleh Bayu, tokoh negara yang baru saja datang untuk membicarakan niat baiknya.
"Kami kenal akrab sama wanita itu?" Tanya Krystal yang langsung saja membuat Gibran mengangguk dengan cepat.
"Dia anak dari politikus tadi." Jawab Gibran seraya menatap ke arah neneknya.
"Pak Bayu kan cuma punya satu anak perempuan." Kata Krystal yang langsung saja membuat Gibran terdiam, ia lupa jika Starla hanyalah anak haram yang tak akan pernah di akui di depan publik.
Bayu menyuruh supirnya berhenti saat di pinggir jalan setelah mobilnya berhasil menjauh dari panti.
Suara tamparan yang terdengar membuat supir memejamkan matanya, jika di hitung mungkin sudah banyak sekali nona keduanya itu mendapatkan amarah dari nyonya ataupun tuannya.
"Kamu mau hancurin reputasi ayah? Kenapa harus muncul di panti segala?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir Bayu membuat Starla terdiam, sedari tadi dirinya hanya memegangi pipinya yang mungkin saja ada bekas jari-jari ayahnya.
"Kenapa Starla nggak boleh keluar? Ayah pikir ayah bisa mengatur Starla hanya dengan darah kita? Enggak akan pernah." Jawab Starla yang tentu saja memilih turun dari mobil dan menangis dengan pelan.
Ia tahu, selama dirinya masih hidup, dirinya tak akan mampu menghindari amarah yang di luapkan oleh orang-orang di sekitarnya, kenapa dirinya harus memiliki darah yang sama jika di perlakukan sedemikian rupa?
Bayu hanya bisa menyesali perbuatannya, bahkan dirinya pun tak ada bedanya dengan istrinya yang sering sekali memukul putrinya jika marah.
"Ayo jalan, biarkan saja dia menenangkan diri." Kata Bayu yang langsung saja di turuti oleh supirnya.
Starla menghentikan langkahnya dan duduk di pinggiran jalan raya, dirinya benar-benar sudah sangat frustasi akan hidupnya, kenapa juga Tuhan malah mengirim iblis sebagai penolongnya?
Gibran yang memang datang untuk menjemput neneknya pun kini sedang perjalanan untuk pulang, tatapannya yang memang jeli langsung saja mengenali sosok Starla yang tengah duduk di samping jalan itu.
"Nek, sebentar ya." Kata Gibran yang langsung saja turun dan menghampiri Starla.
"Kenapa malah di sini?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Starla mendongak dan berdiri saat melihat siapa yang datang, dengan cepat Starla memeluk Gibran dan meluapkan semua tangisnya.
Gibran pun hanya terdiam dan tak berniat untuk bertanya, tangannya pun bergerak untuk mengelus-elus punggung wanita itu agar bisa tenang.
Berbeda dengan Krystal yang ada di dalam mobil, melihat cucunya yang tengah di peluk seorang wanita tentu saja dirinya senang, dan harus membagikan kabar gembira itu pada Tasya, selaku mama tiri Gibran lewat pesan singkat.
Tbc