Gibran keluar dari ruangan meeting dengan senyum tipisnya, mengingat bagaimana kisahnya dengan Ara dulu tentu saja dirinya merasa sedikit geli. Gibran melirik ke arah jam tangannya, tiba-tiba saja dirinya mengingat wanita yang ada di dalam ruangannya, pikirannya mulai bertanya-tanya apakah wanita itu sudah makan siang? Atau wanita itu sudah mengobati lukanya? Pertanyaan-pertanyaan lain pun semakin memenuhi kepalanya, hingga akhirnya dirinya memutuskan untuk mempercepat langkahnya dan langsung berjalan ke arah lift. Biasanya dirinya akan meminta Ares untuk membelikan makanan untuknya tapi kali ini dirinya turun sendiri untuk membelikan makanan untuk dirinya dan juga wanita yang sangat menyedihkan itu.
Starla memakan makanan yang tadi di kirimkan oleh Ken, di banding siapapun yang ia kenal saat ini, Ken tetep lah menjadi yang terbaik, laki-laki itu juga tak pernah perhitungan soal uang pada dirinya. Awalnya laki-laki itu memang mengatakan hutang tapi laki-laki itu juga tak pernah sekalipun menagih padanya, Ken akan menerima jika di beri dan tetap biasa saja meskipun hutangnya belum di bayar dalam waktu panjang.
Gibran kembali setelah beberapa menit, tangannya bergerak mengambil kunci cadangan yang tadi ia simpan di dalam saku celananya, dengan sekali putar pintu pun terkunci, Gibran melangkahkan kakinya ke arah Starla yang masih ada di sekitar sofa dan memakan sesuatu?
"Kamu sudah pesan makanan?" Tanya Gibran yang langsung saja membuat Starla mendongak dan menatap ke arah Gibran yang berdiri di depannya dengan membawa sesuatu di tangannya.
"Tadi Ken kembali dan ngasih makanan, sebenarnya aku yang minta, soalnya dari pagi belum sarapan." Jawab Starla yang langsung saja membuat Gibran terdiam dan meletakkan bawaannya di atas meja.
Starla menggeser tubuhnya agar Gibran bisa duduk di sampingnya, tapi siapa sangka jika Gibran memilih duduk di seberangnya dengan adanya meja sebagai penghalang keduanya?
Gibran mengeluarkan semua makanan yang tadi di belinya, sedikit lebih banyak hingga memenuhi meja kecil yang ada di depannya itu.
"Kamu beli semua ini sendiri? Untuk di makan sendiri?" Tanya Starla yang langsung saja membuat Gibran menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sana cuci tangan," perintah Starla yang langsung saja di turuti oleh Gibran, tentu saja sebelum makan dirinya akan cuci tangan dulu.
Starla membuka bungkus nasi dan menatanya dengan baik, dia pun mengambil bungkusan nasi yang lainnya dan tersenyum tipis saat menatapnya, untung saja dirinya tukang makan alias perutnya tak pernah merasa kenyang saat melihat makanan sebanyak ini.
Gibran kembali dan menatap ke arah meja, di mana makanannya tertata lebih rapi, hingga akhirnya dirinya menatap ke arah Starla yang tersenyum ke arahnya seperti biasa, sepertinya wanita itu memang suka tersenyum.
"Ayo makan, sebenarnya aku suka makan banyak jadi kalau nggak keberatan aku bantu habiskan." Kata Starla yang langsung saja membuat Gibran tersenyum dan mengangguk pelan.
Gibran duduk dan mulai menyantap makanannya, berbeda dengan Starla yang saat ini tengah fokus mengamati Gibran yang terlihat lucu saat makan, karena laki-laki itu terlihat sangat fokus sama makanannya sendiri.
"Type ideal kamu seperti apa?" Tanya Starla tanpa basa-basi.
Gibran hanya melirik sebentar dan mengabaikan, untuk apa dirinya menjawab? Sudah pasti type idealnya bukanlah wanita yang ada di depannya itu, dan terlebih lagi, rumah mamanya nggak akan tenang kalau ada mamanya dan wanita seperti ini di dalam rumah.
"Ah, nanti aku akan tanya lagi kalau udah cantik." Putus Starla dan memilih untuk memakan makanannya.
Gibran terdiam, sesekali menatap ke arah wanita yang makan dengan lahap itu, sebenarnya Gibran curiga jika wanita itu pasti juga jarang makan jika ada di rumah, melihat bagaimana porsi makannya saat ini.
Setelah beberapa menit, makanan pun tandas di dalam perut Gibran dan Starla, tak tersisa apapun kecuali tulang ayam yang dagingnya sudah habis di eksekusi Starla.
"Kamu nggak takut gemuk ya?" Tanya Gibran dengan pelan, tentu saja dirinya penasaran, hampir semua wanita akan menjaga tubuhnya dengan diet dan wanita ini malah memakan semua makanan yang hampir keseluruhannya mengandung lemak.
"Buat apa takut gemuk, bundaku badannya hampir sama kayak aku, jadi meskipun aku makan banyak nggak akan gemuk." Jawab Starla dengan enteng.
Lihat saja Starla yang saat ini bersandar ke belakang dan mengelus perutnya yang mungkin terasa begah karena makanan yang tadi masuk ke dalam perutnya.
"Tapi tetep aja, kamu di rumah juga makan sebanyak itu?" Tanya Gibran lagi, dirinya benar-benar sangat penasaran, tapi rasa penasaran seperti ini jarang sekali ia perlihatkan pada siapapun, tapi kali ini tak tahu kenapa dirinya begitu peduli.
"Kok kayak nggak adil ya, kamu tanya-tanya soal aku fine-fine aja, tapi kenapa aku nggak?" Tanya Starla balik.
Gibran hanya tersenyum kecil saat mendengarnya. Sepertinya memang agak sedikit ada masalah.
Suara pintu yang terbuka sedikit keras membuat Gibran dan Starla menoleh, menatap ke arah wanita yang kemarin mengaku tak sanggup menampung uang putranya lagi.
"Jadi bener kata Ares, kenapa nggak bilang mama kalah kamu udah punya pacar?" Kata Tasya yang langsung saja membuat Gibran menghela nafasnya berat.
Jika sudah seperti ini sepertinya agak berat untuk di atasi, ah dirinya benar-benar kesal pada Ares yang ternyata menjadi kaki tangan bundanya untuk mengawasi semua gerak-geriknya.
"Dia bukan pacar Gibran, dia salah satu model yang tadi di bawa oleh Ken." Jawab Gibran tenang, tentu saja dirinya menjelaskan dengan berdiri dan berjalan ke arah bundanya.
Tasya sedikit muram saat mendengarnya, tatapannya ia tujukan pada Starla yang memang terlihat biasa saja, toh kemarin sudah ketemu.
"Orang sejelek itu kamu jadikan model? Mama nggak salah dengar?" Tanya Tasya sedikit meninggikan suaranya karena tak percaya pada putranya yang memilih wanita bermuka buruk rupa itu.
"Tante jangan sembarangan dong, aku ini sebenarnya cantik kalau nggak dalam keadaan seperti ini." Balas Starla tak terima, tentu saja ia marah karena fisik yang ia bangga-banggakan selama ini di hina sedemikian rupa.
"Coba kamu ngaca dulu, aduh bisa-bisanya orang sejelek kamu jadi model." Cibir Tasya lagi seraya mengobrak-abrik tasnya untuk mencari cermin kecantikan yang biasa ia bawa kemana-mana.
"Mah, jangan seperti ini ayo pulang." Kata Gibran seraya menahan tangan mamanya untuk mengeluarkan kaca dari dalam tasnya.
Tasya terdiam dan menatap ke arah putranya dengan seksama, tak mungkin juga wanita bar-bar seperti itu menjadi type ideal putranya, tapi melihat Gibran yang menahan dirinya bisa saja putranya hanya tak ingin membuat keributan.
"Ara bilang kamu nolak waktu di ajak nikah." Kata Tasya yang langsung saja membuat Gibran terdiam.
Starla menatap ke arah Gibran dengan seksama, terlihat sekali jika laki-laki itu terlihat sedih setelah mendengar nama wanita yang baru saja di katakan, hingga akhirnya Starla mulai menebak-nebak sosok Ara di dalam hati laki-laki itu.
"Mama tahu alasannya, jangan seperti ini." Jawab Gibran yang seolah tak ingin menjelaskan lagi pada Tasya.
"Gibran mau sampai kapan? Sampai kapan kamu seperti ini, sudah mama katakan, kamu ini anak baik. Di dunia ini nggak ada yang namanya anak pembawa sial, jadi berhenti sampai di sini," balas Tasya yang langsung saja membuat Gibran berkaca-kaca, berbeda dengan Starla yang masih menyimak dengan tenang.
"Mama nggak tahu apapun yang Gibran pikirkan, jadi stop jodoh-jodohin Gibran, karena sampai kapanpun Gibran nggak akan menikah sama wanita yang terlihat suka dan mencintai Gibran." Kata Gibran dengan suara yang sedikit berbeda.
Tasya memejamkan matanya pelan saat mendengar langkah kaki putranya yang berjalan ke luar dan meninggalkan dirinya. Biasanya putranya itu tak pernah seperti ini, dan kali ini sepertinya dirinya sudah melukai hati putranya.
"Apa yang kulakukan." Gumam Tasya frustasi.
Starla masih terdiam, dirinya yang tahu sedikit hal tentang Gibran semakin pusing saat memikirkannya, kenapa laki-laki itu tak suka pada wanita yang mencintainya? Dan kenapa juga laki-laki itu menyebut dirinya pembawa sial? Semuanya seperti sebuah puzzle untuk Starla sendiri.
Starla menoleh ke arah orang tua Gibran yang berjalan keluar tanpa menegurnya lagi, sebenarnya awal masalahnya adalah dirinya, coba saja dirinya tak beradu mulut dengan wanita paruh baya itu, pasti Gibran tak akan seperti ini.
Starla menghembuskan nafasnya pelan dan menoleh ke arah meja, dua minuman yang ada di dalam cup masih utuh, membuat Starla ingat jika laki-laki itu belum meminum jusnya setelah selesai makan tadi.
Starla membawa dua minuman itu dan berjalan ke arah pintu, bisa amat jika mukanya yang jelek ini terekspos yang penting dirinya harus menemani pemilik perusahaan saat ini, tentu saja dirinya tak akan lupa dengan balas Budi, apalagi pemilik perusahaan ini sudah menyumbangkan banyak uang padanya.
"Permisi, bisa beritahu saya di mana perginya pak Gibran?" Tanya Starla pelan pada Ares.
"Ah, sepertinya dia tadi menuju gedung teratas." Jawab Ares yang langsung saja membuat Starla berterima kasih dan berjalan ke arah lift.
Ares mengusap wajahnya kasar, tentu saja bosnya marah padanya, tak mungkin juga bosnya memiliki selera buruk hingga menjadikan wanita buruk rupa itu sebagai pacar, dan lebih parahnya lagi dirinya sudah melaporkan semuanya pada Tasya, selaku orang tua Gibran.
Setelah sampai di ruang teratas, Starla masih harus menaiki tangga untuk mencari keberadaan Gibran, dirinya yang sudah terbiasa hidup dalam kesengsaraan kini merasa bertanya-tanya kenapa laki-laki yang memiliki segalanya bisa berpikir jika dirinya adalah anak pembawa sial.
Starla menatap ke arah Gibran yang duduk di depan sana dengan membelakanginya, melihat gerakan tubuhnya yang bergetar bisa saja laki-laki itu sedang menumpahkan air matanya saat ini.
"Sepertinya akan lebih baik kalau minum dulu." Kata Starla yang langsung saja membuat Gibran menggerakkan tangannya dan mengusap air matanya.
Starla menyodorkan minuman ke arah Gibran tanpa bertanya, Starla pun tak berniat untuk ikut campur terlalu banyak, apalagi laki-laki itu terlihat benar-benar sedih.
Gibran meminum minumannya dengan cepat, katakan saja dirinya cengeng dan tak tahu rasa terima kasih hingga akhirnya malah melukai mamanya sendiri, padahal selama ini dirinya sudah bersikap sangat baik agar tak menyakiti siapapun yang ada di dalam rumah itu, dan tentu saja dirinya tak ingin kehilangan semuanya.
Starla berdiri dan berjalan ke arah pinggir untuk melihat bagaimana keadaan dunia saat ini.
"Wah, benar-benar sangat padat ya." Gumam Starla seraya menghirup udara cukup banyak untuk menutupi rasa penasarannya.
"Jangan terlalu minggir," kata Gibran mengingatkan yang langsung saja membuat Starla menoleh dan tersenyum tipis.
"Masih jauh kok masih ada beberapa langkah lagi untuk sampai ke pinggir, coba aku hitung." Kata Starla yang langsung saja kembali menatap depan dan mulai melangkahkan kakinya.
Gibran langsung saja bangun dan menahan tangan Starla agar wanita itu tak melangkahkan kakinya lagi.
"BERHENTI MELAKUKAN HAL KEKANAKAN SEPERTI INI, KAMU KIRA NYAWA KAMU ADA BERAPA? KAMU PIKIR KAMU AKAN BAIK-BAIK SAJA JIKA JATUH KE BAWAH?" Teriak Gibran tiba-tiba, membuat Starla terdiam dan menatap ke arah raut wajah takut yang terpampang nyata di wajah laki-laki itu. Bahkan di sudut matanya pun terlihat basah, apa ada sesuatu hal yang membuat laki-laki itu ingat akan kenangan buruknya?
"Ayo turun, jangan ke sini lagi." Kata Gibran pelan seraya menggenggam tangan Starla cukup erat.
"Seandainya aku jatuh kamu akan menyalahkan diri kamu sendiri dan menganggap kalau kamu benar-benar anak pembawa sial?" Tanya Starla pelan.
Benar saja, langkah laki-laki itu langsung saja terhenti setelah mendengar pertanyaannya.
"Kamu nggak tahu apapun." Kata Gibran dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
"Karena aku nggak tahu, mangkanya aku ingin tahu." Balas Starla dengan berani.
Bukannya mendapat jawaban, Starla justru malah di tinggalkan di atas gedung ini sendirian, matanya pun sedikit memanas karena tadi terus menatap mata laki-laki itu yang terlihat sangat menyakitkan.
Starla menghembuskan nafasnya pelan dan kembali berbalik untuk menuju ke pinggir, apa yang sebenarnya di pikirkan oleh laki-laki itu.
Langkah Starla terhenti saat ada sebuah tangan yang menahannya, Starla menoleh dan menatap ke arah Gibran yang tengah menatapnya dengan tajam.
"Sebenarnya apa yang kamu suka dariku?" Tanya Gibran dengan sedikit tegas.
"Uang, apalagi?" Jawab Starla yang langsung saja membuat Gibran melepaskan tangannya dari lengan Starla.
"Selain itu?" Tanya Gibran lagi.
"Nggak ada, selama aku hidup yang ada di dalam pikiranku adalah uang, sayang sekali karena ku bukanlah orang berada yang bisa menamatkan kuliah." Jawab Starla lagi dengan enteng.
Gibran terdiam, tatapannya kali ini ia arahkan ke arah sepatunya yang sedikit kotor karena debu.
"Di dunia yang sangat besar ini, aku sangat menyesal karena memiliki darah yang sama dengannya, kenapa bunda harus jatuh cinta pada laki-laki sepertinya? Kenapa bunda harus mengandung anaknya, dan kenapa bunda melahirkanku?" Semua pertanyaan itu selalu saja memenuhi pikiranku.
"Saat ini, hidupku tak bisa di katakan baik-baik saja, hampir setiap hari mendengar omelan ibu tiri dan mendapatkan pukulan-pukulan pelan, tak ada satu orang pun yang menyayangi keberadaanku kecuali bunda kandungku." Lanjut Starla kembali duduk, diikuti oleh Gibran yang sedikit penasaran akan kelanjutannya.
"Aku tak pernah ingin mencintai laki-laki seperti bunda mencintai ayah." Lanjut Starla yang langsung saja membuat Gibran menoleh dan mulai menebak-nebak.
"Dulu, bundaku adalah simpanan seorang laki-laki yang cukup di hormati, dan karena cinta bunda, akupun hadir di antara keduanya, tapi ayah mulai meninggalkan bunda saat itu." Lanjut Starla lagi.
"Apa yang harus aku lakukan pada laki-laki berpangkat seperti itu?" Tanya Starla seraya menoleh ke arah Gibran yang terdiam saat melihat wajah wanita itu sudah basah karena air mata.
"Aku sudah memutuskan hidupku dan tak akan mencintai laki-laki manapun." Lanjut Starla yang langsung saja membuat Gibran sedikit terkejut saat mendengarnya.
Tbc