Alasya menghela napas panjang seraya menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan kedua tangan terbentang ke samping dan kedua kaki yang tergeletak di lantai. Karena kasur Alasya tidak menggunakan spring box, jadi kaki Alasya sangat mudah untuk tergeletak di lantai.
“Sudah lama aku tidak menghadiri pesta. Rasanya lelah sekali,” gumam Alasya. Namun, tetap tak melunturkan senyum dari bibirnya.
Alasya pun sangat yakin kalau chat di grupnya pasti benar-benar sangat penuh. Meski begitu, Alasya sedang malas untuk membuka grup dan ikut menanggapi chat mereka. Sekarang, yang ia butuhkan hanya istirahat.
Alasya lalu memejamkan kedua matanya dan mencoba untuk tertidur. Namun, ia benar-benar tidak tahan untuk membuka grup chat dan melihat kumpulan pujian yang ditujukan untuknya di sana.
Tanpa menunggu lama, Alasya segera mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya kemudian bergegas membuka satu-satunya grup chat yang ada di ponselnya.
Di ponsel Alasya, bisa dibilang memiliki kehidupan yang sangat sepi seperti pemiliknya. Bahkan orang yang mengetahui nomor ponselnya bisa dihitung dengan jari. Dan orang-orang itu adalah Ayah, Ibu, dan Danish. Sangat sedikit, bukan? Karena itu, sangat mudah untuk menebak panggilan yang masuk ke dalam ponsel Alasya.
Kembali lagi, Alasya seketika mengulas senyum begitu membuka grup chat-nya. Pasalnya, begitu ia membuka grup chat, yang bisa ia temukan hanya pujian untuknya dan perayaan atas keberhasilan misi mereka malam ini yang berjalan dengan lancar.
Selain itu, ada juga Blue Hat dan Green Fly yang terus bertanya bagaimana perasaannya, apa mereka harus mengadakan pesta perayaan atau tidak, dan sebagainya. Namun, Alasya hanya membacanya tanpa berniat membalas. Tanpa ia balas pun, mereka sudah bisa menebak jawaban yang akan ia berikan.
Setelah puas membaca pujian untuknya grup chat, Alasya pun me-non-aktifkan ponselnya lalu memejamkan mata. Akhirnya, ia bisa tidur nyenyak dengan berbagai pujian yang telah ia baca.
Tiga detik.
Lima detik.
Sepuluh detik.
Kruyuuuk...
Alasya kembali membuka mata ketika mendengar perutnya berbunyi. Ia lantas meraba perutnya yang terasa lapar.
“Haish! Sialann! Aku lapar lagi,” rutuk Alasya.
“Sudahlah. Lupakan saja. Nanti juga hilang sendiri saat aku sudah tidur,” gumamnya kemudian kembali mencoba memejamkan mata untuk tidur. Namun, belum cukup satu menit, Alasya kembali membuka matanya.
“Tahu begini, tadi aku bungkus saja beberapa kue dari sana,” decak Alasya.
Dengan kesal, Alasya kembali turun dari kasur lalu melangkah menuju dapur untuk menyeduh segelas kopi. Alasya merasa, segelas kopi pun cukup untuk mengganjal perutnya.
Tidak. Sebenarnya, bukan itu alasannya. Tapi, karena Alasya tidak memiliki persediaan makanan atau pun bahan makanan di penthouse-nya. Kondisi perutnya pun tidak memungkinkan untuk menunggu makanan yang dipesan.
Jadi, Alasya memutuskan untuk hanya menyeduh kopi sebagai pengganjal perutnya malam ini. Padahal, ia sudah merasa begitu lelah dan sangat ingin beristirahat.
Beberapa saat kemudian, akhirnya kopi Alasya telah jadi. Pembuatannya tidak membutuhkan waktu lama berkat jasa mesin kopi instan.
Alasya pun membawa kopinya menuju balkon. Sontak, kencangnya angin malam menerpa kulit Alasya yang cukup terbuka. Karena, ia masih belum mengganti pakaian yang ia kenakan ke pesta tadi.
Ia lalu meletakkan sebelah lengannya di pagar pembatas. Sementara tangan yang membawa cangkir kopi, hanya ia tumpukan di atas sana.
Mata Alasya pun memandangi indahnya kota Washington di malam hari dengan lampu yang terlihat berkelip-kelip di antara bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. Tak lupa dengan bulan yang bersinar terang malam ini, juga bintang-bintang yang dengan setia menemaninya.
“Sepertinya, kalian benar-benar tidak bisa terpisahkan,” gumam Alasya seraya menatap bulan dan bintang yang menghiasi langit malam. Ia lalu meneguk kopinya yang masih panas dengan asap mengepul yang ikut diterpa oleh angin.
“Tapi, aku sama sekali tidak iri dengan kalian. Kenapa? Karena, sendiri pun aku juga sudah bahagia,” ujarnya kemudian memeletkan lidah pada bulan dan bintang.
Selama beberapa saat, Alasya berdiri di balkon memandangi kota Washington di malam hari sembari menghabiskan kopinya hingga tandas. Dan begitu kopinya habis, Alasya pun bergegas masuk ke dalam untuk melanjutkan tujuan utamanya.
Tanpa mengganti pakaiannya, Alasya merebahkan tubuhnya di kasur dan mulai memejamkan mata dengan perut yang terasa damai.
-------
Aldebaran melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung apartemen-nya seusai pulang dari pesta tadi yang berakhir dengan kekacauan.
Setelah daftar nama-nama koruptor tadi tersebar, para pejabat tersebut langsung pulang begitu saja. Tak terkecuali Ali yang langsung pergi dari sana dengan perasaan gusar. Ia bahkan tak berani bertanya pada pria itu. Melirik padanya pun segan. Hingga membuat suasana di dalam mobil tampak lebih dingin.
Aldebaran baru bisa menghela napas lega setelah pamit pergi pada Ali, karena pekerjaannya telah selesai. Walaupun pria paruh baya itu tidak membalas ucapannya sama sekali, karena masih marah setelah insiden di pesta tadi.
Aldebaran lantas menggeleng-gelengkan kepala untuk berusaha melupakan kejadian tadi. Itu sama sekali bukan urusannya. Jadi, ia tak perlu memikirkannya terlalu lama.
“Apa aku harus memberitahu Heri tentang kejadian tadi?” gumam Aldebaran. “Ya. Aku pikir dia harus tahu. Bagaimanapun juga, dia adalah penanggung jawab utamanya. Jadi, dia berhak tahu apa yang terjadi selama pesta tadi.”
Tanpa menunggu lama, Aldebaran mengeluarkan ponsel dari saku jasnya kemudian menelepon Heri. Tak berapa setelahnya, pria itu menjawab panggilan Aldebaran.
“Halo,” sapa Heri.
“Halo. Kau sibuk?” tanya Aldebaran.
“Tidak terlalu. Cukup untuk bicara denganmu,” jawab Heri. “Ada apa? Bagaimana dengan pestanya? Apa semuanya berjalan dengan lancar?” tanyanya.
“Ya. Semuanya berjalan dengan lancar, sampai ...,” ujar Aldebaran sengaja menjeda ucapannya.
“Sampai apa?” tanya Heri penasaran. Aldebaran lantas menghela napas lalu menceritakan semuanya pada Heri.
“APA?!” seru Heri yang membuat Aldebaran menjauhkan ponsel dari telinganya. “Itu ... kau ... kau serius?! Nama Pak Ali ada di daftar itu?”
“Tentu saja. Makanya, Pak Ali dan semua tamu langsung pulang sebelum pestanya berakhir. Saat di mobil pun, dia terlihat sangat marah,” ucap Aldebaran. Ia pun bisa mendengar helaan napas panjang di seberang telepon.
“Baiklah. Aku akan menghubungimu lagi nanti,” ucap Heri kemudian sambungan telepon mereka pun berakhir begitu saja.
Setelahnya, Aldebaran kembali menyimpan ponsel ke dalam saku jasnya kemudian membuka pintu apartemen-nya.
Aldebaran melepas tasnya lalu meletakkannya di atas sofa. Setelah itu, ia melangkahkan kaki menuju kulkas lalu mengambil sebotol air minum dari dalam sana. Tanpa menunggu lama, ia pun langsung meneguk air tersebut.
Di tengah-tengah Aldebaran meneguk air, tiba-tiba ia kembali mengingat wanita berambut pendek yang terlihat mencurigakan di pesta tadi.
“Aku sangat penasaran. Sebenarnya, siapa wanita itu?” gumam Aldebaran dengan kening mengerut.
“Apa jangan-jangan ... dia dalang di balik insiden malam ini?” tebaknya.
“Benar. Aku yakin, wanita itu pasti memiliki hubungan dengan apa yang terjadi malam ini. Jika tidak, dia tidak mungkin begitu tenang di tengah kekacauan tadi,” tukas Aldebaran dengan sangat yakin.
Ting tong!
Ting tong!
Ting tong!
Suara bel yang berbunyi lantas membuyarkan lamunan Aldebaran. Dengan cepat, ia pun meletakkan botol airnya di atas meja kemudian melangkah keluar untuk membuka pintu. Aldebaran lantas mengulas senyum tipis ketika melihat Maria berdiri di hadapannya.
“Bantu aku mengerjakan tugas,” ujar Maria seraya mengangkat bukunya di depan wajah yang membuat Aldebaran menggelengkan kepala.
“Masuklah,” pinta Aldebaran mempersilakan Maria untuk masuk.
Sembari berseru riang, Maria bergegas masuk ke dalam apartemen Aldebaran. Yang lagi-lagi membuat pria itu menggelengkan kepala.
“Dari mana kau tahu kalau aku sudah pulang?” tanya Aldebaran.
“Petugas di bawah memberitahuku. Aku sudah menitip pesan pada mereka untuk mengabariku kalau kau sudah pulang,” jawab Maria. Aldebaran pun tak heran lagi. Pasalnya, ini bukan pertama kalinya Maria melakukan hal tersebut.
“Kenapa kau selalu mengerjakan tugas di malam hari?” tanya Aldebaran.
“Karena, materinya baru bisa masuk ke dalam otakku saat malam hari. Siang hari waktunya tidur,” jawab Maria seraya duduk di lantai dan meletakkan bukunya di atas meja.
“Lalu, pagi hari?” tanya Aldebaran.
“Pagi hari waktunya bermain,” jawab Maria.
“Dasar. Kau benar-benar sangat pintar mencari alasan,” cibir Aldebaran yang membuat Maria cengengesan.
“Sebentar lagi kau akan ujian. Berhentilah bermain dan ganti waktumu untuk bermain,” ujar Aldebaran kemudian duduk di samping Maria.
“Duh! Sudah kubilang kalau materinya hanya bisa masuk ke otakku saat malam hari. Jadi, selain malam hari, aku tidak bisa belajar,” decak Maria.
“Bukan tidak bisa, tapi kau yang tidak mau,” cibir Aldebaran yang lagi-lagi membuat Maria cengengesan. “Tunggu. Kalau pagi hari waktu untuk bermain, lalu apa yang kau lakukan di sekolah? Kau tidak mengikuti pelajaran?” tanyanya.
“Tentu saja aku masuk kelas. Tapi, gurunya sangat membosankan dan hanya membuatku mengantuk. Dari pada tidur di kelas, aku lebih sering bermain bersama teman sebangkuku,” ungkap Maria.
“Dasar kau,” decak Aldebaran seraya memukul kepala Maria menggunakan buku yang membuat gadis itu mengeluh sakit.
“Aw!”
“Mulai sekarang, berusahalah untuk mendengarkan penjelasan gurumu. Semembosankan apa pun itu, kau tetap harus belajar. Percuma kau mengikuti kelas kalau tidak mendengarkan materinya,” omel Aldebaran.
“Iya, iya. Dasar cerewet,” gerutu Maria.
“Kau-”
“Kau mau mengajarku atau tidak?” potong Maria yang membuat Aldebaran menghela napas.
“Halaman berapa?” tanya Aldebaran mengalah.
-------
Love you guys~