Sekali lagi, Aldebaran berdiri di depan cermin untuk memeriksa penampilannya. Hari ini, ia akan ikut menghadiri acara penting yang dihadiri oleh para petinggi dari belahan dunia lain.
Dan tentu saja hal itu membuat Aldebaran sedikit gugup. Walaupun ia sudah terbiasa dengan pekerjaannya sebagai interpreter, tapi tetap saja ada saat-saat tertentu di mana ia akan merasa gugup saat harus menghadiri acara penting seperti ini.
Aldebaran lantas menghela napas panjang kemudian beranjak dari depan cermin setelah memastikan kalau tak ada yang kurang dari penampilannya. Ia lalu melirik jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 4 sore.
Tanpa menunggu lama, Aldebaran bergegas mengambil tasnya yang berada di atas tempat tidur lalu keluar dari apartemen-nya. Ia harus pergi ke hotel tempat klien-nya menginap terlebih dahulu.
“Oh! Kau rapi sekali hari ini. Kau mau pergi ke mana?” tanya Maria yang baru saja pulang dan bingung melihat penampilan Aldebaran yang mengenakan setelan jas.
“Aku akan pergi bekerja,” jawab Aldebaran.
“Ah! Benar. Waktu itu kau bilang kalau kau seorang interpreter. Aku sempat melupakannya, karena kau aku tidak pernah melihatmu pergi bekerja seperti sekarang,” ujar Maria yang membuat Aldebaran terkekeh.
“Sepertinya kau juga lupa kalau aku hanya seorang freelancer,” ucap Aldebaran.
“Ah! Benar juga. Maaf, aku lupa,” ujar Maria yang lagi-lagi membuat Aldebaran terkekeh.
“Padahal kau belum setua itu untuk jadi pelupa,” goda Aldebaran.
“Ck! Pergi saja sana,” ketus Maria.
“Jahat sekali kau mengusirku,” ucap Aldebaran.
“Siapa suruh kau selalu mengejekku setiap ada kesempatan,” kesal Maria.
“Aku hanya bercanda,” ucap Aldebaran.
“Aku tahu,” ujar Maria.
“Kalau tahu, kenapa ma-”
“Walau tahu kau hanya bercanda, tetap saja aku kesal mendengarnya,” potong Maria yang kembali mengundang tawa Aldebaran.
“Tapi, kalau dilihat-lihat, kau tampan juga mengenakan baju seperti ini,” ucap Maria seraya meneliti Aldebaran dari atas sampai bawah.
“Tentu saja. Wajah tampanku tidak pernah berbohong,” ujar Aldebaran sembari mengulas senyum.
“Karena itulah aku menyukaimu,” ucap Maria yang membuat Aldebaran menggeleng-gelengkan kepala.
“Sudahlah. Kalau begitu, aku pergi dulu,” pamit Aldebaran kemudian beranjak dari sana.
“Hati-hati di jalan dan semangat!” seru Maria yang dibalas lambaian tangan oleh Aldebaran.
Setelah tiba di lobi apartemen, Aldebaran langsung mempercepat langkahnya menuju halte bus sebelum ia terlambat tiba di hotel. Meski begitu, setidaknya Aldebaran bisa bernapas sedikit lebih ringan setelah berbincang dengan Maria yang berhasil membuat kegugupanya berkurang.
Beberapa saat kemudian, akhirnya Aldebaran tiba di hotel yang dijanjikan. Tanpa menunggu lama, Aldebaran langsung berlari masuk ke dalam.
“Dari mana saja kau? Sudah kubilang untuk datang lebih awal,” omel seorang pria saat Aldebaran datang.
Heri Setiawan. Seorang pria asal Indonesia yang juga merupakan senior Aldebaran di kampus dulu dan memiliki profesi yang sama dengan Aldebaran. Karena itu, Heri langsung menghubungi Aldebaran yang kebetulan juga sedang berada di Washington saat mendapat kabar tentang pesta tersebut.
“Maaf. Tadi jalanan sedikit macet,” ucap Aldebaran.
“Ya, sudah. Masuklah. Pak Ali sudah menunggumu,” pinta Heri. “Aku akan pergi sekarang, karena masih punya urusan lain. Jadi, kuserahkan semuanya padamu. Dan ingat, jangan tinggalkan Pak Ali sedetik pun.”
“Iya. Kau tenang saja. Aku sudah mengingat semua yang kau ucapkan kemarin,” ucap Aldebaran.
“Bagus,” ujar Heri kemudian langsung beranjak dari sana.
Sepeninggal Heri, Aldebaran menghela napas panjang kemudian langsung masuk ke dalam sebuah kamar hotel yang telah dihuni oleh beberapa orang pengawal dan seorang pria berusia 50 tahunan.
“Oh! Aldebaran. Kau sudah datang,” sambut Ali seraya mengulas senyum.
“Maaf atas keterlambatan saya, Pak,” ucap Aldebaran sembari membungkukkan tubuhnya.
“Tidak apa-apa. Santai saja. Tidak perlu terburu-buru,” ujar Ali. “Lagi pula, aku yang harus meminta bantuanmu untuk malam ini.”
“Itu sudah jadi tugas saya, Pak,” ucap Aldebaran sopan yang membuat Ali terkekeh berat.
“Baiklah. Kalau begitu, ayo, pergi sekarang,” ajak Ali.
“Baik,” ucap Aldebaran.
Setelahnya, mereka pun beranjak dari kamar hotel tersebut lalu pergi menuju gedung tempat pesta yang akan mereka hadiri dilangsungkan.
Sepanjang jalan, suasana di dalam mobil Aldebaran dan Ali diisi dengan perbincangan tentang politik. Untungnya, Aldebaran tidak terlalu buta dengan topik tersebut hingga ia masih bisa membalas ucapan Ali dan mengemukakan pendapat atas pertanyaan pria paruh baya tersebut.
Sampai Ali tiba-tiba menanyakan sesuatu yang tak pernah Aldebaran bayangkan akan keluar dari mulut pria itu.
“Oh, iya. Aldebaran, apa kau sudah memiliki kekasih?” tanya Ali yang membuat Aldebaran canggung.
“Saya masih belum memikirkan hal itu untuk sekarang,” jawab Aldebaran.
Ali lantas menganggukkan kepala mendengar jawaban Aldebaran. “Pria muda sepertimu memang masih butuh banyak pengalaman. Perjalananmu masih panjang. Tidak perlu terburu-buru dalam urusan cinta.”
“Kau tahu? Saat seusiamu dulu, aku hanya fokus terhadap karir dan pekerjaanku. Mengesampingkan perasaan terhadap wanita yang kusukai saat itu. Bukannya aku bilang cinta sama sekali tidak penting. Karena, setiap orang pasti membutuhkan cinta. Tapi, apalah daya cinta jika orang tersebut tidak sanggup bertanggung jawab atas cinta tersebut,” tutur Ali.
“Dan lihat sekarang. Aku sudah mencapai kesuksesanku dalam segala hal. Kenapa aku bilang begitu? Pertama, aku sama sekali tidak pernah berniat untuk naik ke posisi yang lebih tinggi dari sekarang. Di posisi ini pun aku sudah cukup puas. Aku bukan tipe orang yang terlalu ambisius,” lanjutnya.
“Kedua, aku juga sudah bahagia dengan wanita yang kucintai dan saat ini telah menjadi istriku. Wanita itu adalah wanita yang sempat kusukai saat aku masih seusiamu dulu. Dan lucunya, ternyata sejak dulu istriku juga telah menyukaiku dan menungguku untuk menyatakan cinta padanya,” ujar Ali.
“Lihat, ‘kan? Cinta bisa menunggu. Tapi, karir? Tidak semua orang bisa mencapai posisiku saat ini. Cinta dan karir adalah dua hal yang sangat berbeda. Dan kembali lagi pada diri kita sendiri untuk memilih mana yang harus lebih diprioritaskan. Cinta atau karir,” tuturnya.
Aldebaran hanya bisa memasang senyum pahit mendengar penuturan Ali. Ucapan pria paruh baya itu tidak salah sama sekali. Sayangnya, Aldebaran sudah kehilangan kesempatan untuk memilih dari kedua hal itu. Karena, wanita yang ia cintai telah hidup bahagia bersama pria pilihannya.
Lamunan Aldebaran sontak buyar saat pria yang mobil yang mereka tumpangi berhenti. Ia lalu mengalihkan pandangannya keluar jendela dan melihat sebuah gedung yang cukup besar berdiri kokoh di hadapannya.
‘Ini tempatnya?’ batin Aldebaran menebak.
Sampai seseorang membukakan pintu untuknya dan Ali yang secara tak langsung menjawab pertanyaan Aldebaran. Tanpa membuang waktu, Aldebaran langsung keluar dari mobil bersama Ali.
Setelahnya, Aldebaran dan Ali langsung diarahkan untuk masuk ke dalam gedung kokoh yang Aldebaran lihat tadi. Tapi, tentu saja mereka harus menyerahkan undangan mereka terlebih dahulu untuk mengonfirmasi identitas mereka.
Namun, karena Aldebaran hanya seorang interpreter untuk Ali, jadi ia hanya perlu menunjukkan kartu identitasnya sebagai jaminan.
Begitu urusan di pintu masuk selesai, Aldebaran dan Ali pun dipersilakan masuk ke dalam ruangan bersama dua orang pengawal. Sementara dua orang pengawal lainnya hanya bisa menunggu di luar.
Sementara itu, mata Aldebaran sontak mengamati seisi ruangan tersebut. Ia pikir, suasana di dalam ruangan itu akan memiliki kesan klasik seperti tampilan luar gedungnya. Tapi ternyata, ruangan tersebut tetap mengusung tema modern seperti gedung-gedung lainnya. Memiliki interior yang mewah dan elegan.
Setelah puas mengamati ruangan tersebut, Aldebaran kembali memfokuskan perhatiannya pada Ali yang saat ini tengah menuju ke arah seorang pria bersetelan biru dongker. Mulai sekarang, perhatiannya tidak boleh teralihkan dan harus fokus pada pekerjaannya.
‘Semangat, Al,’ batin Aldebaran memberi semangat pada dirinya sendiri.
Aldebaran pun memulai debutnya sebagai interpreter di Washington DC. Sebisa mungkin, Aldebaran menajamkan telinga agar ia tak salah memberikan terjemahan pada Ali maupun sebaliknya.
Setiap kali mereka berpindah tempat, Aldebaran hanya bisa menyemangati diri sendiri dan mengingatkan dirinya untuk tetap fokus.
Sampai Aldebaran tiba-tiba menghentikan langahnya saat seorang wanita bergaun hitam melewati dirinya. Seorang wanita berambut pendek dengan aroma yang cukup khas di hidung Aldebaran.
Aldebaran lantas berbalik dan menatap wanita itu dari belakang selama beberapa saat. Wanita itu tampak sangat anggun dan sama sekali tak terlihat seperti seseorang yang memiliki posisi di pemerintahan.
Tak berapa lama setelahnya, Aldebaran langsung tersadar. Mengabaikan wanita itu, Aldebaran kembali mengalihkan tatapannya pada Ali yang berada tak jauh di hadapannya. Tanpa pikir panjang, ia pun langsung menghampiri Ali sebelum pria paruh baya itu menyadari kehilangannya.
“Fokus, Al. Kau datang ke sini untuk bekerja,” batin Aldebaran.
-------
Love you guys~