Syafi sudah di pindahkan ke ruang rawat, Aqlan ingin mencari rumah sakit yang lebih baik lagi. Namun, sudahlah, kondisi Syafi juga belum membaik. Bahkan sampai detik ini Syafi belum sadarkan diri. Wajah Syafi sudah tidak merah lagi, hanya bibirnya saja yang masih kering hingga pecah-pecah. Panas tinggi hingga mencapai empat puluh derajat celcius yang di alami Syafi membuatnya hampir kehilangan nyawa. Karena dokter berkata, panas tinggi yang di alami Syafi bisa membuat pembuluh darah pecah.
Aqlan masih setia duduk di samping tempat tidur Syafi yang memejamkan matanya. Ia menatap wajah pucat, bibir kering milik Syafi. "Kenapa kamu malah menyakiti diri kamu? Apa salahnya dengan semua ini? Bukankah ini adalah hal yang sudah biasa?" tanya Aqlan yang tangannya menggenggam satu tangan Syafi yang bebas tanpa infus.
"Mi ..." lirih Syafi dengan suara yang begitu pelan. Aqlan saja sampai tidak terlalu mendengar gumaman Syafi.
"Mi, maafin Rina," ucap Syafi lagi dan gumamannya tidak jelas sama sekali di pendengaran Aqlan.
Aqlan berdiri dari duduknya, kemudian ia mendekatkan telinganya ke bibir Syafi. "Mi ..." panggil Syafi lagi, setelah itu tidak ada gumaman lagi dari bibir Syafi.
Aqlan menegakkan tubuhnya dan menatap Syafi dengan tatapan entah apa. "Siapa yang dia panggil?" tanya Aqlan.
Pukul sebelas siang, akhirnya Syafi membuka matanya. Ia menatap langit-langit kamar yang ia tempati sekarang. Matanya kini mengedar ke sekitarnya dan akhirnya ia menemukan tiang infus. Menghembuskan napas lelah, akhirnya ia tumbang juga. Satu tangannya yang bebas tanpa infus kini ia letakkan di atas keningnya. Ia lelah dengan semuanya, sampai semalam ia berpikir untuk tidur di bawah guyuran shower demi menenagkan segala kekacauan yang ada dalam otaknya.
Otaknya seperti bertengkar tidak ada yang mau mengalah satu sama lainnya. Satu mencoba tetap tenang, satunya lagi berseru kamu bodoh, kamu berdosa, kamu tidak pantas untuk di ampuni. Apalagi tentang dirinya yang sudah membuat kedua orang tuanya kecewa terutama uminya. Suara pintu terbuka membuat Syafi kini meletakkan tangannya ke posisi lurus kemudian menoleh ke arah pintu.
Ternyata bosnya yang masuk dengan wajah yang sudah segar. Sepertinya, bosnya itu baru saja membersihkan tubuhnya. "Semoga kalau dia pulang, dia enggak sadar gua enggak pulang ke rumah," ucap Syafi dalam hatinya.
Aqlan yang melihat Syafi sudah sadar, segera berlari menghampiri tempat tidur Syafi. "Kamu butuh sesuatu?" tanya Aqlan yang raut wajahnya susah di jelaskan oleh Syafi. Antara kahwatir, senang atau entahlah. Syafi tidak bisa mendeskripsikan wajah bosnya saat ini.
"Kenapa bapak bawa saya ke rumah sakit? Apa saya mencoba bunuh diri?" tanya Syafi seraya menatap Aqlan yang wajahnya sekarang terlihat marah.
"Iya, kamu mau bunuh diri!" ucap Aqlan dengan nada suara penuh penekanan.
"Kamu mau menjadikan aku tersangka, hah!" marah Aqlan dengan suara meninggi.
"Maaf pak, tadi malam saya hanya mendinginkan kepala saya saja yang penuh," jawab Syafi.
"Saya sama sekali enggak bermaksud buat jadikan bapak tersangka jika saya mati." lanjut Syafi berucap. "Tadi malam saya hanya mencoba menghilangkan lelah saja. Saya lelah dengan hidup saya. Apa salah saya sampai harus menjadi pemuas nafsu bapak. Namun, tetap hanya satu jawabannya, mungkin ini balasan saya karena sudah membuat kedua orang tua saya kecewa. Menjadi anak yang tidak menuruti orang tuanya, terutama ibu saya. Ibu saya pasti sangat kecewa dengan saya. Itu sebabnya saya di hukum Tuhan seperti ini. Menjadi wanita lemah yang tidak bisa mengatakan jika bosnya menjadikan dirinya sebagai wanita pemuas nafsunya," jelas Syafi.
Aqlan terdiam dengan ucapan Syafi. Ucapan Syafi membuatnya sadar dengan perlakuannya pada Syafi. Ia tahu Syafi sering menolak, tetapi ia pikir penolakan Syafi hanya karena Syafi yang sok jual mahal. Namun, semua itu adalah bentuk dari perlawanannya untuk melawan takdir yang tergariskan padanya.
"Aku akan panggil dokter," ucap Aqlan kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari sana tanpa merespon ucapan Syafi.
Syafi menghembuskan nafasnya lelah, ia menatap ke samping tempat tidurnya, di mana ada tombol untuk memanggil dokter atau pun perawat. Namun, bosnya itu sepertinya ingin menghindar. Ia memilih untuk mengungkapkan isi hatinya di bandingkan berusaha pergi tetapi tidak bisa pergi. Jadi, kenapa tidak, ia mencoba untuk mengatakan apa yang sedang dirinya rasakan saat ini itu pada bosnya.
Ia hanya ingin semuanya selesai, apalagi Aqlan juga sudah menikah. Memang wanita yang di nikahi Aqlan adalah dirinya. Bahkan surat-surat nikahnya saja sampai atas nama dirinya. Kekuatan abahnya untuk mengurus surat-surat nikah jangan di tanya. Dirinya memiliki kenalan pegawai KUA sehingga semua mudah untuk dirinya. Bahkan Aqlan mungkin tidak menyadari foto di buku nikahnya saja foto dirinya. Hanya dalam waktu seminggu, data-data untuk buku nikah saja bisa di ubah dengan nama dirinya.
Hari berlalu, Syafi sudah di ijinkan pulang. Syafi bertanya-tanya kemana lagi bosnya ini membawanya pergi. "Pak, bapak mau membawa saya kemana?" tanya Syafi yang sudah menghidupkan sinyal bahaya di otaknya.
"Membawamu pulang ," jawab Aqlan yang pandangannya fokus pada jalanan.
"Tapi ini bukan jalanan pulang ke appartement saya, pak," ucap Syafi.
"Diam!" bentak Aqlan membuat Syafi terdiam.
Syafi tidak berbicara lagi, ia hanya diam seraya menatap jalanan yang macet. Mau bagaimana lagi, apa yang bisa ia harapkan dari dirinya yang mengungkapkan apa yang ia rasakan. Ternyata bosnya tidak luluh hanya dengan ucapannya. Hembusan nafas lelah itu Syafi hembuskan dan di dengar jelas oleh Aqlan. Namun, Aqlan tidak bergeming sama sekali. Ia tetap fokus dengan jalanan yang macet di depannya.
Mobil terus melaju hingga mereka tiba di basement. Aqlan sudah keluar terlebih dahulu. Syafi masih terdiam di dalam mobil seraya lingkungan sekitar basement. Pintu mobil terbuka membuat Syafi terkejut.
"Ayo turun," ucap Aqlan seraya mengulurkan tangannya pada Syafi.
Syafi diam seraya menatap uluran tangan Aqlan. Tanpa menunggu lama, Aqlan mengambil tangan Syafi dan menggenggamnya. "Ayo," ajak Aqlan seraya menarik tangan Syafi.
Syafi pun turun dari mobil dan ia pun mengikuti langkah Aqlan. Beda, iya. Rasanya sangat berbeda sekali perlakuan Aqlan padanya. Walau tangannya di tarik, tapi tidak kasar seperti biasanya. Ia seperti hati-hati melakukannya.
Bahagia, ya. Ia akui perlakuan Aqlan membuatnya bahagia. Bukankah dengan ini bisa jadi pertanda jika Aqlan akan memberikan ruang lebih luas padanya. Bahkan Aqlan tidak akan memaksa jika dirinya tidak mau berhubungan dengannya.
"Mulai sekarang kamu akan tinggal di sini," ucap Aqlan ketika mereka sudah masuk ke dalam appartement.
"Tapi saya sudah ada ..."
"Kamu hanya sewa di sana, sedangkan di sini kamu tidak perlu sewa. Uang kerjamu bisa kamu simpan!" tegas Aqlan.
"Pak, nanti kalau karyawan tahu mereka akan ..."
"Berhenti ovt Syafi!" tegas Aqlan.
"Tidak akan saya biarkan mulut sampah mereka itu bergosip tentangmu!" tegas Aqlan dan raut wajahnya yang marah.