Aqlan sudah pulang ke kantor, ia hanya menjemput Syafi dan mengantarkan ke appartement barunya. Appartement yang di beli Aqlan padanya. Aqlan mengancam, jika ia tidak mau tinggal di appartement ini, maka setiap saat jika Aqlan menginginkan tubuhnya Aqlan akan melakukannya. Ia tidak akan pedulia lagi dengan permohonan Syafi.
Entah mengapa otaknya saat itu langsung berpikir jika ini pertanda baik, jika Aqlan tidak akan memaksa dirinya untuk memuaskan nafsunya. Akhirnya di sinilah Syafi sekarang, menidurkan tubuhnya di atas tempat tidur, dengan satu tangannya yang ia letakkan di atas keningnya. "Dia datang ke sini enggak ya, kalau enggak gua harus pulang. Gua enggak mau cari perkara, tapi, kalau enggak pulang pun dia mungkin enggak akan sadar kalau gua enggak pulang," ucap Syafi yang menatap langit-langit kamarnya.
Syafi langsung terduduk kemudian melihat kopernya yang ada di depan lemari pakaiannya. Syafi segera turun dari tenpat tidurnya dan berlari ke arah kopernya. Ia membuka kopernya dan melihat isi barang-barangnya. Ia meletakkan satu persatu pakaiannya ke lantai agar ia tidak kesulitan untuk merapikannya. Matanya membulat ketika menemukan baju syar'i di dalam kopernya. "Apa dia udah tahu?" tanya Syafi seraya menatap pakaiannya.
"Enggak, dia enggak mungkin tahu. Kalau dia tahu, enggak mungkin gua di bawa ke sini," ucap Syafi lagi mencoba untuk berfikir positif.
Syafi segera memasukkan pakaiannya ke dalam lemari. Menyembunyikan pakaian syar'inya di tempat yang tidak akan di lihat oleh Aqlan. Ia tidak mau sampai Aqlan mengetahui identitasnya sebagai Rina. Entah, ia merasa jika Aqlan mengetahui identitasnya, dirinya akan semakin kesulitan untuk lepas dari Aqlan.
Waktu berlalu begitu saja, sudah pukul enam sore tetapi Aqlan tidak datang. Syafi pun kini mengambil pakaian syar'inya karena ia harus pulang. Ia meninggalkan handphonenya di rumah, jadi tidak tahu apakah Aqlan menghubunginya. Tapi, itu tidak mungkin juga sih. Mana mungkin Aqlan peduli dengan dirinya jika tidak ada di rumah.
Namun, langkahnya terhenti untuk memasukkan pakaiannya ke dalam tasnya. "Ini kesempatan gua untuk enggak pulang," ucap Syafi.
"Aqlan juga enggak akan cariin gua," ucap Syafi dan ia pun meletakkan kembali pakaiannya ke dalam lemari. Ia tidak jadi pulang, toh sudah seharusnya juga ia tinggal di sini. Orang tuanya dan orang tua Aqlan tidak berada di dekat mereka. Jadi, tidak tinggal bersamapun tidak akan jadi masalah.
Di rumah Aqlan, Aqlan baru saja sampai di rumah. Kini ia sedang membersihkan tubuhnya. Selesai dengan membersihkan tubuhnya, ia pun berjalan ke arah ruang televisi hanya untuk bermain ponselnya. Ia melihat pekerjaan dari tablet yang ia pegang saat ini. Asisten rumah tangganya datang menghampiri Aqlan.
"Permisi pak, makan malam sudah siap," ucap asiten rumah tangganya yang berusia dua puluhan itu bernama Vanya Kalana.
"Ya," jawab Aqlan dengan nada suara dinginnya.
Ia pun berdiri dari duduknya, kemudian berjalan ke arah dapur seraya membawa tabletnya. Di meja makan hanya ada satu piring tersedia di sana membuat Aqlan mengernyitkan dahinya. "Kenapa hanya ada satu piring?" tanya Aqlan seraya menatap dua asisten rumah tangganya yang berada di dapur.
"Bu Rina dari kemarin tidak pulang, pak," jawab wanita paruh baya berusia tiga puluh enam tahun yang bernama Srilawati Kenanga.
"Apa!" ucap Aqlan seraya berdiri dari duduknya.
"Kenapa kalian tidak mengatakannya pada saya?" tanya Aqlan menatap marah Bu Sri dan Vanya.
"Bapak kemarin tidak pulang, dan paginya bapak buru-buru pergi. Jadi, kami tidak sempat memberi tahu bapak tentang bu Rina yang tidak pulang," jawab Bu Sri.
"Kalian punya handphone kan? Seharusnya kalian menelpon saya jika Rina tidak pulang!" marah Aqlan.
"Maaf, pak," ucap bu Sri kemudian di ikuti oleh Vanya.
Aqlan mengambil handphonenya dan menelpon nomor Rina, tetapi nomornya tidak aktif sama sekali. Ia pun mencoba menelpon dengan panggilan biasa pun nomor Rina tidak aktif sama sekali. Aqlan menggenggam ponselnya erat dan rahangnya mengeras. Tanpa berucap, ia pun segera berjalan ke arah kamar untuk mengambil dompet dan kunci mobilnya.
Bogor, ia harus pergi ke bogor untuk mencari Rina. Ia pun segera melajukan mobilnya meninggalkan parkiran rumah. "Kemana gua harus cari dia, nomor handphonenya juga enggak aktif. Sialan, kamu Rina!" maki Aqlan.
Jika bukan karena orang tua Rina meminta tolong padanya agar menjaga Rina, ia tidak akan nekat mencari tahu keberadaan Rina saat ini. Ia mencoba menelpon lagi, tetapi tetap saja handphone Rina tidak aktif sama sekali. Aqlan menepikan mobilnya tidak jauh dari ia keluar rumah. "Aku belum pernah pergi ke daerah sana, dan pasti di sana juga daerahnya luas. Apa yang harus aku lakuin?" tanyanya entah pada siapa.
Sekertarisnya tidak tahu juga daerah Bogor, ia tidak mungkin mencari bersama Syafi karena Syafi baru saja keluar dari rumah sakit. Namun, tidak ada pilihan lain selain meminta tolong Syafi. Lama bergelut dengan segala pemikirannya, haruskah ia meminta tolong pada Syafi. Akhirnya, ia pun memilih meminta tolong pada Syafi. Ia pun mulai melajukan mobilnya menuju appartement Syafi.
Syafi yang sedang menonton drama terlonjak kaget ketika suara pintu appartemen terbuka. Ia pun segera berdiri dan siap-siap lari jika Aqlan melakukan yang tidak-tidak. "Pakai baju dan celana panjang, kamu ikut saya sekarang," ucap Aqlan .
"Mau kemana pak?" tanya Syafi bingung.
"Sudah ikut, saja!" tegas Aqlan tidak mau di bantah.
Syafi menurut tanpa bantahan, ia ke kamar mengambil jaket dan memakai celana jens. Kini mereka sudah di dalam mobil, kita mau kemana, pak?" tanya Syafi lagi.
"Ke Bogor," jawab Aqlan.
"Ngapain, pak?" tanya Syafi.
"Sepupu saya tidak pulang dua hari, dan saya harus mencarinya sebelum orang tuanya menelpon saya. Saya sudah menghubungi nomornya, tapi tidak aktif sama sekali," jawab Aqlan.
Syafi terdiam ketika tahu Aqlan mencarinya, ia pikir Aqlan tidak akan mencarinya. Namun ternyata, duagaannya salah. "Bapak sudah tahu, harus mencarinya ke mana? Karena kalau hanya pergi ke Bogor tanpa tahu tujuan, sampai besok pagi pun, bapak tidak akan bertemu dengannya," ucap Syafi.
"Saya tidak tahu dia berada di mana, terkahir ia bilang ke saya jika ia keterima kerja di Bogor," jawab Aqlan.
"Bogor luas pak, kalau hanya satu komplek perumahan elit saja kita bisa mencarinya. Tapi ini se daerah Bogor, enggak mudah, pak. Kenapa tidak menunggunya pulang atau handphonenya aktif?" tanya Syafi.
"Pesan saya dari kemarin pagi pun tidak ia buka sama sekali. Padahal pesannya sudah terkirim, itu berarti dia mau pergi kan, tidak mau kembali ke rumah?" tanya Aqlan seraya menoleh ke arah Syafi karena sekarang, mobil sedang berhenti di lampu merah.
"Kalau boleh tahu, apa bapak habis bertengkar dengannya? Sampai-sampai dia pergi dari rumah?" tanya Syafi seraya menatap Aqlan.
"Tidak, kami tidak bertengkar sama sekali. Memang sehari sebelumnya, dia minta tinggal terpisah dengan saya, dan saya menolaknya. Karena ayahnya menitipkannya pada saya. Saya mau pindah ke dekat tempat kerjanya dia tidak mau. Setelah itu, dia keluar kamar tanpa bicara lagi dengan saya," jawab Aqlan.
"Oh, kalau begitu biarkan saja dia pergi, pak. Bapak memang di titipkan oleh ayahnya untuk menjaga sepupu bapak. Tapi, kalau saran saya, ikuti saja apa mau dia. Bapak kasih syarat saja sama dia, kalau dia harus selalu kasih kabar bapak dan hidupkan lokasinya supaya bapak bisa pantau dia di mana," ucap Syafi.
"Apa dia mau?" tanya Aqlan yang kini sudah menepikan mobilnya.
"Bicarakan saja pak, dan bapak coba dengarkan saja apa permintaannya. Dan ingatkan padanya, supaya dirinya tidak membuat masalah jika tinggal terpisah dengan bapak," ucap Syafi seraya tersenyum.