Rasa Sakit

1055 Kata
Mereka tidak bisa pulang ke pondok, Aqlan mengancam akan melakukan malam pertama jika Rina atau Sayfi memaksa pulang ke pondok. Aqlan menyuruh Rina tidur di tempat tidur sedangkan dirinya di sofa. Rina menatap langit-langit kamar hotel yang sedang ia tempati. Rasanya ia ingin sekali melepaskan cadarnya, tetapi ia tidak ingin Aqlan menerjangnya. Bukan merasa Aqlan memuja tubuhnya, hanya saja sebulanan ini intensitas hubungan ranjang mereka yang membuat ia berfikir Aqlan akan semakin menginginkan tubuhnya. Rina menghidupkan handphonenya yang sedari kemarin ia matikan, untung saja handphonenya dalam mode silent sehingga tidak membuat Aqlan terbangun. Tidak lama handphone hidup dan siap di operasikan banyak sekali pesan bahkan panggilan yang tidak terjawab masuk ke handphonenya. Hampir semua pesan itu berasal dari Aqlan. Ada satu pesan masuk dari nomor yang tidak ia kenali. Ketika ia membuka pesannya, ternyata itu dari sang adik. "Selamat menempuh hidup baru mbak, laki-laki itu lebih cocok untuk mbak di bandingkan untukku." "Laki-laki yang sudah banyak memakai wanita tidak cocok untukku. Jadi, aku kasih dia ke mbak. Karena sudah seharusnya mbak yang jadi istrinya." "Dia di jodohkan denganku karena Abah dan Umi hanya menganggap aku lah anak mereka." "Tapi, aku sayang mbak. Jadi, aku kembalikan jodoh yang memang seharusnya untuk mbak tetap untuk mbak." "Sayang mbak, Terra pamit ya. Terra akan kembali setelah mbak dan dia menikah lebih dari setengah tahun atau setahun. Karena jika kurang dari enam bulan, Abah dan Umi pasti minta pembatalan nikah dan maksa aku lagi untuk nikah sama dia." "Aku sayang mereka, tapi bolehkan egois untuk siapa suami yang aku inginkan?" "Laki-laki yang di jodohkan ke aku sudah pernah main sama banyak perempuan. Sedangkan aku belum pernah, seharusnya aku berhak dapetin pria yang setara denganku. Dan dia lebih cocok sama mbak, aku yakin mbak juga udah enggak perawan." Rina mencengkram handphonenya begitu erat, semua pesan sang adik belum ia baca tetapi ia suda malas membacanya. Rasanya ia ingin sekali memaki adiknya itu. Ketikan adiknya sungguh jahat sekali. Ia tahu, adiknya bukan orang yang suka berbasa-basi. Kata-katanya sangat pedas, tetapi ia selalu patuh pada ke dua orang tuanya. Namun, untuk masalah suami, ternyata adiknya ingin yang sesuai dengan dirinya. Tapi, apakah ketikannya itu pantas ia kirim ke kakak kandungnya. Apa se jelek itu penilaian sang adik pada dirinya hanya karena penampilannya yang terbuka. Padahal mau seterbuka apapun penampilan seseorang yang memiliki hak atas tubuh mereka itu diri mereka sendiri. Memang benar dirinya sekarang sudah tidak perawan, tetapi semua itu terjadi karena bosnya yang mabuk bukan karena dirinya yang mudah di ajak bermain ranjang dengan pria random atau pria yang menjadi kekasihnya. Buktinya, sampai detik ini dirinya belum memiliki kekasih sama sekali. Bukan hanya dirinya yang memang belum menemukan pasangan yang pas di hati, tetapi dirinya terlalu memikirkan lingkungan di sekitarnya. Kehidupan rumah tangga yang menurutnya rumit, membuatnya enggan untuk menjalin hubungan. Dirinya juga ingin menjalin hubungan yang pasti-pasti saja, tidak mau mengalami kegagalan. Belum lagi, dari dirinya juga yang memang belum siap untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Apa yang ia lakukan saat ini hanya untuk Uminya saja. Mau seperti apa kata-kata Uminya, yang membuatnya terkadang sakit hati ia akan menerimanya. Kecuali, kata-kata uminya sudah benar-benar menyakitinya, mungkin dirinya tidak akan mempedulikan Uminya lagi. Sedangkan dengan Abahnya, ia sama sekali sudah tidak peduli lagi. Apa yang abahnya katakan, semua hanya bagaikan angin lewat saja. Lukanya tidak akan pernah sembuh sampai detik ini. Sulit untuk mengabaikan apa yang sudah pernah abahnya lakukan. Semua bermula saat dirinya masih baru duduk di bangku SMA kelas dua. Ia baru saja pulang sekolah sedangkan sang adik saat itu masih di pondok karena belum selesai kelasnya. Baru juga ia mengucapkan salam, abahnya itu menampar uminya hanya karena Umi yang menentang pernikahan abahnya. Walau umi dan abahnya taat agama, bukan berarti umi dan abahnya hidup harmonis dengan bekal ilmu agama yang mereka miliki. Abah ingin memiliki seorang anak laki-laki makanya ia ingin menikah lagi. Tapi, umi sendiri tetaplah seorang wanita yang tidak mampu untuk berbagi suami dengan orang lain. Di agam memang di perbolehkan asalkan bisa adil, dan ganjaran untuk seorang istri yang dengan lapang dad* mau di madu pun sangatlah mulia. Namun, uminya tetaplah seorang wanita yang ingin menjadi satu-satunya pasangan dunia akhirat dengan suaminya. Itu sebabnya dirinya tidak ingin memiliki madu lagi. Anak perempuan ataupun laki-laki itu sama saja, tapi abahnya tetap ingin memiliki keturuanan seorang laki-laki. Ketika abahnya menikah lagi, di situlah kebencian Rina timbul. Di depan orang banyak, abahnya terlihat begitu penuh kasih sayang pada keluarganya. Namun nyatanya apa, semua hanya di depan saja. Benci dan kecewa menjadi satu kesatuan dalam hati Rina hingga ia memilih menjalani kehidupan tanpa mengikuti jejak kedua orang tuanya yang berkuliah di Qairo dan juga Yaman. Ia tidak mau mempelajari agam lebih dalam lagi, karena menurutnya untuk apa mempelajari agama tinggi-tinggi kalau pada dasarnya setinggi apapun pengetahuan agama tidak akan membuat orang bisa menahan nafsu breng***nya. Baginya apa yang Abahnya lakukan itu kelakuan yang sangat breng***. Tanpa sadar, mungkin inilah penyebab Rina belum siapa menikah. Walau hatinya sering berkata dia tidak bermasalah sama sekali dengan sikap Abahnya, tetapi nyatanya tanpa ia sadari dia belum tertarik menikah karena apa yang Abahnya lakukan. Setelah menikah lagi, Abahnya sama sekali tidak memiliki anak laki-laki. Istri kedua abahnya tidak bisa memiliki anak karena memiliki rahim yang lemah. Istri terkahir abahnya bisa memiliki anak, tetapi anak perempuan juga. Selain itu, istri ketiga abahnya meninggal setelah melahirkan anak pertamanya itu. Mungkin karena tidak di restui dengan ikhlas oleh uminya, pernikahan kedua dan ketiga Abahnya tidak membuat dirinya mendapatkan apa yang ia inginkan. Hembusan napas berat Rina hembuskan. Otaknya penuh, hatinya bergemuruh ingin marah dan mengungkapkan isi hatinya. Namun apalah daya, ia tidak mampu mengungkapkan keluh kesahnya. Sikap Uminya yang marah-marah padanya ia akui itu sebagi rasa kecewan Uminya terhadap pilihan dirinya. Ia yakin, Uminya ingin membuktikan jika anak perempuan pun bisa membanggakan untuk orang tuanya. Namun nyatanya, ia tidak bisa membuat banga Uminya, tetapi apa yang ia lakukan semua untuk membalas perlakuan Abahnya. Ia ingin membuktikan ke Abahnya lewat pilihannya sendiri dan ia pun ingin Abahnya di gunjing karena pilihan dirinya yang tidak sejalan dengan kedua orang tuanya. Rina memejamkan matanya guna meredahkan rasa sakit di hatinya. Namun, air mata tidak bisa ia tahan. Setetes air mata pun meluncur dari sudut matanya. Mungkin masalah hidupnya terlalu sepele jika orang lihat, tetapi setiap orang punya batasan rasa sakit. Hal sepele bagi orang lain, tidak se-sepele untuk Rina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN