Cindy berdiri ragu di depan pintu rumah Elang, jemarinya mengepal di sisi tubuh. Langkah ini sudah berkali-kali dia tahan, tapi malam ini…entah mengapa hatinya terlalu penuh untuk tetap diam. Meski dia tahu kabar pertunangan Elang dan Karina sudah hampir pasti, namun bayangan tentang Elang terus saja hidup dalam pikirannya. Tanpa Alya, tanpa alasan lain—kecuali keinginannya sendiri—Cindy akhirnya datang. Dia tahu, mungkin tak akan diterima sehangat dulu. Tapi ada sedikit harapan kecil di sudut hatinya, berharap Elang masih menyisakan tempat untuk dirinya, meski hanya sedikit. Pintu terbuka setelah beberapa ketukan. Elang berdiri di ambang pintu, terkejut melihatnya. “Cindy?” Cindy mencoba tersenyum meski detak jantungnya tak tenang. “Aku cuma…lewat. Boleh bicara sebentar?” Elang menat

