Dara menoleh pada suara halus namun menusuk dari arah belakangnya. Terlihat Elang dengan rambut basahnya menatapnya dengan sorot berkobar.
Dara mereguk saliva melihat kobaran api di mata Elang. Apakah dia melakukan kesalahan? Apakah memasak adalah hal yang dilarang di sini?
“Aku masak makan malam untuk kita. Aku nggak tahu seleramu seperti apa. Tapi, masakanku nggak buruk amat. Ayo, makan,” ajaknya dengan menampilkan wajah se-tenang mungkin dan bersikap biasa meksi ada guntur dalam dadanya akibat sorot mata Elang.
Jelaga hitam Elang semakin menggelap menatap intens Dara dalam kuncian horor yang sangat menakutkan.
“Sudah lama dapur ini tidak mengepulkan asap. Aku memang tidak menggunakan dapur untuk memasak. Sebaiknya kamu jangan pernah memasak lagi.” Ucapannya halus, namun setiap katanya menusuk dan mampu menghancurkan dinding pertahanan Dara.
Mata Dara bergetar mendengar larangan penuh ancaman ini tanpa tahu alasan pastinya. Dia hanya memasak, apa yang salah dengan itu? Masakan itu bukan untuk dirinya saja tapi juga untuk Elang. Kenapa kemurahan hatinya dipermasalahkan?
“Apakah kamu tidak menyukai apa yang ku masak hari ini? Atau kamu mau makan apa? Di kulkas nggak ada bahan. Hanya ini yang ada. Mungkin besok aku akan memenuhi kulkas dengan bahan makanan.” Dara mencoba untuk tetap menampilkan sebuah ketenangan di depan Elang.
“Bukan menu masakan yang salah. Aku bukan tipe pria pemilih seperti yang kamu sebut.”
“Lantas apa masalahnya di sini?”
“Kamu,” ucapnya berat dengan penuh penekanan.
Satu kata dari Elang mampu menghantam da-da Dara dan meninggalkan ngilu di sana, memukulnya keras. Matanya bergetar. Senyum yang terkembang layu sudah. Dia tidak tahu apa kesalahannya.
“Aku nggak boleh memasak di sini? Meski itu untuk mengisi perutku? Aku terbiasa masak di rumah. Dan ... aku tau kamu juga belum makan. Bila ini suatu kesalahan, maka aku nggak bisa menerimanya.” Dara membela diri dalam bantahan lembut.
Bahunya menegang seiring dengan wajahnya yang ikut menegang dalam kekecewaan. Tangannya yang memegang piring ia tarik dan mengepal di sisi tubuh. Matanya memerah.
Elang bisa melihat itu bila Dara hampir menangis karenanya. 'Salahkah aku bicara demikian padanya? Apa ini menyakitinya?'
“Sebenarnya ... aroma masakan di dapur ini membawa pengaruh buruk padaku, pada masa lalu yang ingin kulupakan.” Elang mencoba menjelaskan apa yang ada di hatinya tanpa ada maksud untuk melukai Dara.
Dara menautkan sepasang alis nya setelah berhasil menahan air mata yang hampir tumpah. Perkataan Elang melukai egonya. Hanya memasak saja—tapi dilarang. Kini dia jadi penasaran.
“Masa lalu? Seperti apa masa lalumu? Dan ... aku nggak boleh masak lagi di sini?”
Elang tidak memberikan jawaban yang membuat pikiran Dara semakin diselimuti kabut penasaran.
Melihat kekecewaan yang sempat mampir di wajah Dara, membuat Elang tidak se-tega itu melarangnya.
“Kamu boleh masak untuk dirimu. Kamu nggak perlu masak untuk aku.” Elang pergi setelah berkata demikian.
Dara menatap punggung lebar Elang yang terus menjauh darinya dengan seribu tanya dan perasaan tak menentu.
Dara duduk setelah termenung cukup lama. Kata 'masa lalu' yang baru saja diucapkan Elang masih terus berputar dan menggantung di pikirannya. “Ada apa dengan masa lalunya? Apakah se-parah itu masa lalunya berkaitan dengan masakan?”
Dara masih tidak mengerti Bagaimana masa lalu Elang. Tapi menurutnya masa lalu itu pasti menyakitkan dan ... ada luka di sana yang belum sembuh hingga kini, meski dia tidak tahu apa masalah intinya.
Suara berisik di perut Dara kembali terdengar. Kali ini dia tidak bisa mengabaikan suara itu karena perih semakin menguasai. Dia pun memilih untuk menyantap hidangan yang ada di depannya dan mengesampingkan sejenak pikiran tentang Elang.
Dua jam setelahnya.
Dara sudah berpindah ke kamar selesai makan. Sebenarnya dia tidak ingin masuk ke kamar dulu dan ingin berada di ruang tengah menonton televisi atau lainnya seperti yang biasa dilakukan di rumah. Namun di rumah ini begitu sepi—sampai suara detak jam pun terdengar jelas di telinga.
Elang juga tidak ada di ruangan, entah ke mana dia—yang jelas pintu kamarnya tertutup rapat. Mungkin tidur, mungkin juga ada aktivitas lain. Hanya kesepian yang kini semakin melanda Dara di kubikal berukuran sedang ini.
Dara belum mengantuk. Tidak ada aktivitas yang bisa dilakukan di sini seperti di rumah. Lantas, dia pun mengambil ponsel yang baru saja dikeluarkan dari dalam tas.
Dia membuka aplikasi drama korea—menonton drama bisa mengisi waktunya. Mungkin saja setelah lelah menonton drama dia akan tertidur. Selain itu bisa untuk mengusir rasa sepinya.
Video drama diputar.
Suasana sepi dan hening pun di ruangan mulai mencair dengan tayangan film yang sudah berputar. Volume suaranya Dara setel sedang. Namun di ruangan sepi ini terdengar cukup nyaring menembus dinding yang memisahkan kamarnya dengan Elang, masuk ke dinding kamar Elang.
Pria itu sedang rebahan di kasur. Matanya menelisik tidak tenang langit-langit di atasnya. Tatapannya menerawang jauh menembus kubikal yang menghimpitnya ini.
Sejak tadi dia bolak-balik mengganti posisi tidur namun belum bisa tidur juga hingga kini. Banyak hal yang mampir di pikiran dan mengganggunya—termasuk Dara.
Dia sudah lama hidup tenang di rumah ini sendiri setelah mengubur masa lalunya yang kelam bersama mantan istri. Kenangan buruk itu kembali datang membayang yang membuatnya masih trauma dengan wanita.
“Suara apa itu?” pekiknya tersadar dari lamunan.
Elang mendengar suara gaduh yang bersumber dari kamar sebelah. Suara itu terdengar berisik sekali di telinganya. Dia terbiasa dengan keadaan sepi. Dan suara itu kini terasa menusuk telinga dan berdengung di sana.
Elang mendesah pelan, turun dari ranjang, bergeser ke sisi dinding di mana sumber suara berasal, menempelkan telinga di sana. Dia mendengar jelas suara percakapan dari balik dinding itu juga suara Dara tertawa.
'Apa yang dia lakukan di dalam sana? Dia menonton film? Ck! Berisik sekali!' gerutunya pelan.
Elang mau memberitahu Dara untuk memelankan volume. Namun dia sebelumnya wanita itu hampir menangis karena dirinya. Bila dia beritahu lagi tidakkah Dara akan menangis sungguhan?
Elang kembali lagi ke kasur, kali ini duduk dengan mengangkat kedua tangannya dan menutup telinga untuk meredam suara yang masih bising berdengung di otaknya.
Namun, tetap saja suara itu mampu menerobos tangannya dan kembali menusuk indra pendengarnya.
Dengan terpaksa dia pun keluar dari kamar menuju ke kamar Dara. Anehnya ketika tiba di sana suara berisik tadi hilang begitu saja. Ia mendorong pintu terbuka, terlihat di sana Dara terlentang dengan posisi mata terpejam. Ponsel di sampingnya berbunyi—sebuah notifikasi peringatan dengan nyala lampu berkedip beberapa kali.
Elang memeriksa itu dan ternyata ponsel hampir mati kehabisan daya. 'Jadi ... dia tidak mematikan film tapi mati sendiri dan baterainya hampir habis?'
Dengan berat hati dia mendekat, dia tidak sedingin dan sekejam yang ditampakkan lalu mengambil ponsel kemudian mengecasnya.
Pelan dia menutup kembali pintu kamar Dara. Sekarang kantuknya hilang berganti dengan perih pada perut yang dirasakan. Suaranya berisik. Sejak tadi, dia belum makan malam. Banyaknya pikiran yang berseliweran membuatnya lupa makan juga merasa tidak lapar.
Kini Elang tidak tahan lagi merasakan perih yang semakin meremas perutnya dari dalam. Dia pun menuju ke dapur mencari apa yang bisa dimakan. Tatapannya kemudian jatuh pada masakan Dara di meja—daging bumbu lapis.
Indahnya mendecak pelan melihat itu. Karena semakin melilit rasanya dan semakin tidak bisa ditahan, maka ia pun duduk mengambil seporsi makan, memakannya dengan cepat.
———
Hangatnya cahaya pagi yang menerobos masuk melewati tirai tipis menyapa kelopak mata Dara yang ringan sampai kesadarannya terjaga.
“Sudah pagi.” Hal pertama yang diingatnya adalah ponsel. Seingatnya dia menaruh benda pipih itu di sampingnya. Dia juga baru sadar bila semalam ketiduran menonton drakor di tengah film yang masih berputar.
Anehnya, ponselnya itu tidak ada di kasur. Lantas kemana? Netranya menjelajah ke seisi ruangan. Tatapannya kemudian terkunci pada ponsel yang saat ini sedang dicas di sebuah meja. “Siapa yang mengecas ponsel ku? Apa aku bisa tidur sambil mengecasnya?” decaknya berpikir.
Dugaanya kemudian mengarah pada Elang. Tapi benarkah itu Elang masuk ke kamarnya? Apa itu bukan pelanggaran namanya? Dia saja melarang Dara masuk, tapi dia masuk seenaknya menerobos ke kamar Dara.
Dara akan tanyakan itu pada Elang nanti. Sekarang, dia akan masak di dapur.
“Masakanku habis?” Dara memeriksa daging yang semalam dimasaknya, berniat untuk menghangatkannya karena masih banyak—cukup untuk sarapan pagi dan makan siang, namun wadah itu kini kosong. “Siapa yang menghabiskan sisanya?”