Eps. 8 Jangan Memasak Disini

1403 Kata
Dara menatap Elang tanpa kata. Dia ingin menjelaskan kepada Rasmi, tapi tidak sanggup dari mana dia harus menjelaskan? Haruskah dia bilang ingin menikmati malam pengantin eksklusif? Rasanya itu terdengar memalukan juga bodoh sekali! Elang menatap lurus ke dalam mata ibu mertuanya. “Ibu, kami mau pindah. Aku ingin membawa Dara ke rumahku dengan alasan pekerjaan. Meski cuti tetapi aku harus tetap siaga bila sewaktu-waktu dibutuhkan. Maaf, bukan berarti aku tidak betah di sini, tapi ini murni menyangkut kedinasan.” Setiap kata yang Elang ucapkan penuh makna dan tujuan. Rasmi diam sejenak mencoba mencerna perkataan menantunya. Dia tahu tentara memang tidak lepas dari tugas meski itu di hari libur sekali pun. Di sisi lain dia juga berat melepas kepergian Dara. Tapi ... mungkin ini adalah konsekuensi yang harus dia tanggung setelah memaksa pernikahan ini dilangsungkan lebih cepat dari waktu seharusnya. Napasnya berat dan matanya berkedip lebih cepat. “Baik, bila kalian berdua menghendaki seperti itu. Kalian bisa pindah. Tapi Ibu harap kalian sering berkunjung ke mari,” balasnya berat hati dan mencoba menerima. “Terima kasih, Ibu atas pengertian dan kemudahannya. Kami janji akan sering berkunjung kemari.” Elang mengukir senyum di wajah—hal yang jarang Dara lihat. Sejak pertama kali bertemu Elang sampai detik ini baru dia melihat pria itu tersenyum. Tidak lebar, tapi cukup manis membingkai wajah— sebuah pemandangan langka. Entah, senyum itu rasanya menghangatkan hatinya yang kelu. “Kamu mau berangkat sekarang?” imbuh Rasmi. “Ya, Bu. Aku agak buru-buru.” Yang Elang katakan memang benar adanya, bukan semata dusta. Dia memang ada tugas. Sebagai kapten, dia diserahi tugas untuk memantau anggotanya, juga tugas lain. “Jangan keluar dari rumah sekarang setidaknya nanti agak siang.” Elang menatap Dara sekilas. Dalam tatapan itu mengandung sebuah permohonan yang dia tahu tanpa diucap. Entah, apa alasannya, Elang pun mencoba untuk membantu. “Ya, Bu.” Dara merasa lega, Elang bersedia membantu dan mengikuti perkataan ibunya. Setidaknya ibunya yang kini menahan amarah tidak akan meledak sekarang. Dara bisa melihat kilatan marah di mata Rasmi yang tertahan. ––– “Bu, kami berangkat dulu,” pamit Elang di depan pintu. Rasmi mengantar Dara dan Elang sampai ke teras dengan langkah pelan dan bantuan kruk. Dia tidak menyangka saja secepat ini Dara akan pergi setelah menikah dari rumahnya. Ada rasa tidak rela menyelip di da-da, namun dia tahu apa kewajiban seorang wanita setelah menikah—mengikuti perintah suami dan dia tidak bisa menahannya meski ingin. Dengan berat hati dia melepas kepergian Dara. “Bu, kami akan sering berkunjung kemari,” imbuh Dara menambahkan dengan sorot mata tak terdefinisikan—antara berat hati, sedih, bebas juga tertekan. Sejenak dia memeluk ibunya selama beberapa saat kemudian berjalan bersama Elang masuk ke Maserati yang sudah siap di teras dengan dua koper di tangan yang kemudian berpindah di bagasi. Rasmi bersama suami kemudian melambaikan tangan pada Dara yang sudah duduk di samping Elang. Mereka berdua membalas lambaian tangan orang tua Dara. Mobil melaju pelan meninggalkan rumah Dara, meninggalkan Risma dan suami yang masih menatap Maserati putih milik Elang. “Dara pergi, Yah. Rumah ini akan terasa sepi tanpanya,” lontar Rasmi dengan sorot mata kosong. “Bila sudah menikah semua akan seperti itu, Bu. Sudah waktunya. Dara sudah dewasa. Kita doakan saja pernikahan mereka berjalan lancar dan abadi sampai nanti seperti kita.” ** Maserati yang membawa Dara dan Elang tiba di rumah. Selama dalam perjalanan mereka berdua juga tidak bicara. Suasana hening sejak tadi. “Turun.” Suara Elang membuka pintu, memecah keheningan. Dara yang dari tadi diam dengan pikiran melayang terbang ke angkasa, tersentak kaget dengan perkataan Elang. “Kita sudah sampai?” pekiknya pelan. Dara menatap sejenak rumah di depannya sebelum turun. Dia merasa lega sudah terlepas dari belenggu Rasmi yang biasa mendesaknya tak hanya dalam hal perjodohan tapi dalam hal lainnya juga. Namun terlepas dari itu kini dia masuk ke rumah yang menurutnya mirip seperti kuburan—selalu sepi, bahkan pemiliknya pun selalu diam—irit bicara. Rasanya dia seperti mayat hidup bila tinggal di rumah ini, tapi ... adakah pilihan lain untuknya? Dari arah lain Pak RT kebetulan lewat sehabis mengunjungi salah satu warga yang dikabarkan sakit. Dia pun berhenti setelah melihat Elang dan Dara. “Pak Elang, Mbak Dara ... kalian berdua baru kelihatan. Bagaimana kabarnya ... maksud saya tentang pernikahan itu, beberapa warga menanyakan kepada saya.” Pak RT bukan bermaksud mengintimidasi, tapi hanya menyampaikan aspirasi warga terkait dengan sanksi yang dikenakan pada mereka. Elang dengan tenang menjelaskan. “Kami baru saja menikah, Pak RT. Berikut buktinya bila diperlukan. Mungkin bisa ditunjukkan pada warga.” Elang mengeluarkan buku nikah yang di bawanya dalam sebuah map. Dua akta nikah itu kemudian dia bawa ke depan muka Pak RT untuk membuktikan bila dia sudah bertanggung jawab pada Dara. Pak RT hanya membuka sekilas. Di sana tertera nama Elang dan Dara sebagai pasangan suami istri—sudah cukup baginya membaca itu lalu mengembalikannya kepada pemiliknya. “Saya ucapkan selamat atas pernikahan kalian berdua. Semoga samawa sampai nanti. Saya juga akan sampaikan kabar bahagia ini pada warga nanti.” Senyum puas berkembang di bibir Pak RT. “Ya, Pak.” Dara menjawab dengan perasaan tak menentu dan tatapan tak terdefinisikan. Karena orang inilah dia akhirnya menikah dengan Elang, terjebak dengannya. Ada rasa marah yang tersembunyi di sana, namun kelembutan hatinya menutupi semua itu. Elang dan Dara masuk ke rumah setelah kepergian Pak RT. Terdengar suara decit roda koper dengan lantai yang kemudian berhenti di dekat pintu. Elang menaruh sejenak kopernya di ruang tamu. Dia lantas mengambil koper milik Dara, menyeretnya kembali menjauh dari wanita itu menuju ke sebuah kamar—kamar lain yang berada tepat di samping kamarnya. “Ini kamarmu selama kamu tinggal di sini. Selama di sini kamu bebas melakukan apapun. Area kita terpisah, kamu jangan masuk ke area pribadiku,” jelas Elang membuat batasan di antara mereka terasa kian nyata. Dara mendekat dan berdiri di samping pria berotot kokoh ini. Dia hanya mengangguk sebagai respons. Kehidupan yang sebenarnya dengan Elang dimulai dari sekarang. Bahunya berguncang hebat dengan fakta ini, namun dia terus menguatkan hatinya. Elang menjelaskan bila Dara dilarang masuk ke kamarnya kecuali ada kepentingan mendesak. “Ya, akan aku pastikan itu aku nggak akan masuk ke area pribadimu,” balasnya dengan suara teguh, bertolak belakang dengan hatinya—yang tidak yakin bisa bertahan di sini sampai kapan. “Bagian lain rumah ini kamu sudah tahu, jadi aku nggak perlu memberitahu lagi.” “Ya.” Dara masuk ke kamar setelah Elang kembali menjelaskan beberapa hal padanya. Dia langsung duduk di ranjang yang ada di sana tanpa menutup pintu kamar—sengaja dibuka agar suasananya tidak terus menegang. Lelah. Takut menghadapi ini semua sendiri. Dia tidak tahu lagi hidup seperti apa yang menantinya. ––– “Astaga! Aku ketiduran. Jam berapa ini?” pekik Dara langsung duduk begitu membuka mata. Di sampingnya ada sebuah jendela. Dia singkap gorden untuk melihat ke luar. Langit semburat jingga di luar sana. Suasana di sekitar terlihat setengah gelap. Setelah menutup kembali tirai, Dara beranjak turun dari ranjang. Dia keluar dari kamar. Lampu di ruangan tengah rumah ini sudah menyala, namun suasana hening kembali menyelimuti. Terdengar suara riuh dari perut Dara. Dia baru ingat sejak siang tadi perutnya belum terisi apapun. Dia tidur dari siang dan baru bangun sekarang. Dia pun memutuskan untuk ke dapur dan memasak di sana. Mungkin Elang belum makan juga—sama seperti dirinya. “Dia suka sayur apa?” gumamnya lirih dan lebih seperti bisikan, hanya terdengar oleh Dara sendiri. “Entah, aku masak saja bahan yang ada. Semoga dia suka.” Dara menuju ke lemari es yang ada di dalam—di dekat pintu dapur. Tak ada sayuran di sana. Hanya ada telur dan daging. Dia pun memutuskan untuk mengambil daging dan mulai mengolahnya. Lapis daging buatan Dara matang. Uapnya mengepul di udara kala dia menatanya di meja makan. Aroma harum yang menggugah selera itu menusuk indra penciuman Elang yang baru saja keluar dari kamar mandi—berada di samping dapur persis. “Aroma apa ini?” Perut Elang yang kosong menuntunnya menuju ke sumber aroma. Langkahnya terhenti di depan dapur. 'Rupanya Dara memasak.' Tatapan Elang tidak bisa diterjemahkan. Aroma ini ... mengingatkan pada masa lalunya. Dimana saat itu setiap hari istrinya selalu memasak untuk dirinya. Saat itu terasa menyenangkan sekali. Namun sekarang melihat masakan di dapur ini membuatnya kembali berada di situasi buruk saat itu. Kembali dihadapkan pada kenangan terpahit dalam hidup. “Hentikan itu,” serunya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN