Eps. 7 Ayo Pulang

1302 Kata
Elang sudah mencoba untuk bersabar, namun Dara menguji kesabarannya. Dia pikir Dara peka, ternyata dugaannya keliru—keliru besar! Wanita itu tetap berdiri mematung di sana mengagumi setiap inci tubuhnya, membuatnya merasa tidak nyaman. Dara tersentak. “M-maaf, silakan ganti baju. Aku juga akan ganti baju.” Gugup Dara berbalik cepat setelah menarik pandangan dari tubuh menawan Elang dengan berat hati. Dia melangkah dengan hentakan cukup keras saking gugupnya, mengambil baju ganti dari lemari dan membawanya masuk ke kamar mandi dalam yang ada persis di samping kamar. Terdengar suara sentakan kuat pintu yang disentak bukan karena kemarahan diusir, tapi karena kegugupan yang kian menguasai hati Dara. Dia tidak bermaksud mengambil kesempatan dengan melihat Elang ganti baju, tapi semua itu terjadi secara alami. Matanya refleks terkunci mengamati setiap inci tubuh kokoh Elang. Kini tubuh Dara luruh di lantai. Dinginnya lantai menyapa kulitnya yang menyentuh permukaannya yang kering, menyebarkan sensasi dingin merayap ke sekujur tubuhnya. Jantungnya masih menghentak tak karuan setelah beberapa saat berhenti berdetak melihat langsung tubuh Elang. Sejenak dia sandarkan kepala ke pintu kamar mandi untuk meredam jantungnya yang masih berdenyut hebat. Beberapa kali dia membuang napas perlahan. Setelah tenang, baru Dara bisa berpikir. Perlahan dia bangkit lalu membuka resleting bajunya. Sial! Resletingnya macet di tengah. Sekeras apapun dia menariknya resleting itu tak bergerak dan diam di sana. Bagaimana ini? Dara terus mencoba menarik resleting hingga tangannya merah dan lelah. Dia pun berhenti menariknya kemudian meringkuk kembali di lantai dengan memeluk kedua kakinya. Dingin kembali merayap ke tubuhnya. Kali ini dia hanya bisa diam pasrah. Mungkin juga dia akan tidur di sini nanti karena tidak yakin bisa tidur bersama Elang—di kasur yang sama meski dia dengan entengnya bilang akan berbagai ranjang dengan pria itu. Dia benamkan kepalanya pada lutut sembari terus memeluknya erat. Sementara di luar kamar mandi, Elang sudah selesai ganti baju. Pria itu mengenakan kaos dalaman tipis dan celana pendek yang memerlihatkan bulu halus tumbuh di bagian betisnya. Dalam kesehariannya Elang memang berpakaian begitu saat menjelang tidur. Dia duduk di tepi ranjang. Tatapan matanya menumbuk kelopak mawar yang ada di bawah jemari tangannya—lembut, wangi serta menggoda—mengingatkan kembali pada malam pertama pernikahannya. Malam pertama dengan istrinya dulu sangat panas dan bergelora. Namun bayangan sang istri yang melukai reputasi dan harga dirinya dengan lebih memilih pria lain timbang dirinya, kembali datang membayang seperti pisau tajam yang menyayat hatinya. Elang meremas kelopak mawar indah di bawah jemarinya dengan keras hingga kelopak itu remat di tangannya. Sekilas matanya memerah dalam kilatan kemarahan. Namun, secepat kilat Elang bisa menepis rasa itu dan menguasai diri. Setengah jam berlalu. Di kubikal yang terasa sepi ini Elang mengedarkan pandangan mengunci pada pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat. Dia merasa aneh saja kenapa Dara belum keluar dari sana sejak tadi? Padahal seharusnya bila hanya ganti baju saja cukup sepuluh menit selesai. Ada apa? Bahkan dari kamar mandi yang tertutup itu tidak terdengar sedikit pun suara dari dalamnya, membuatnya curiga sekaligus penasaran. “Apa kamu di dalam baik-baik saja?” tanyanya dengan nada rendah penuh dengan kecemasan. Matanya menelisik pintu bercat putih yang masih tertutup rapat. Tidak ada respons. Elang beranjak cepat dari duduknya, bergeser ke kamar mandi. Dia curiga sesuatu terjadi di dalam sana. Mungkinkah Dara pingsan? Dia mencoba membuka pintu, namun pintu dikunci dari dalam. Apakah dia harus mendobraknya? Dia mencoba memanggil kembali, namun masih tidak ada respons dari Dara. “Fix! Dia pingsan,” gumam Elang menyimpulkan. Dia pun segera bertindak dan membuka paksa pintu. Dengan sedikit sentakan kuat, pintu itu berhasil dibuka. Pelan dia mendorong pintu lebih lebar, terlihat di dalamnya Dara meringkuk memeluk kaki dengan punggung setengah terbuka yang membuatnya tersentak. Ada apa dengan baju pengantin itu? Kenapa tidak dilepas sekalian dan hanya terbuka separuh? Dia pun menemukan akar permasalahan. Resleting itu macet. Tapi ... kenapa Dara hanya diam saja dan tidak meminta bantuan padanya, malahan sampai tertidur begini? “Dara,” panggilnya pelan sembari menyentuh lembut bahu Dara. Sentuhan lembut yang terasa hangat itu mampu membuat Dara yang kedinginan tersadar, dirambati perasaan hangat yang menyebar ke seluruh tubuh. Dia tersentak kala melihat Elang berdiri menjulang di belakangnya. “Kamu bisa masuk ke sini?” pekiknya dengan mata bergejolak penuh kilatan. “Kenapa kamu tertidur di sini? Apa kamu perlu bantuan untuk membuka baju?” Mata Dara kian membola dengan riak tajam. Bagaimana Elang bisa tahu dirinya butuh bantuan? Dia bahkan baru sadar ketiduran di kamar mandi ini. “Ya, resleting baju ini macet.” Dara tidak bilang butuh bantuannya, namun Elang kemudian berjongkok tanpa dikomando di belakang Dara, memegang resleting dan menariknya cepat turun ke bawah. Resleting terbuka lebar, memperlihatkan punggung mulus dan putih Dara. Elang memaku sejenak. Tubuhnya menegang melihat punggung halus Dara. Sudah berapa lama dia tidak menyentuh wanita setelah perceraiannya dengan sang istri? Darahnya berdesir halus ditunggangi dengan gejolak membara yang membangkitkan bagian lain di tubuhnya di bawah sana yang sudah lama membeku dalam kedinginan. Elang segera menarik pandangan sebelum tubuhnya bereaksi lebih hebat lagi daripada ini. “Sudah. Kamu bisa ganti baju sekarang.” Dia cepat keluar dari kamar mandi dan menutup pintu dengan sedikit membanting disertai mata yang berkilat. Dara tersentak mendengar suara dentingan pintu yang dibanting. 'Apa maksudnya membantuku namun kemudian seolah marah padaku?' Dara segera melepas baju pengantin dan menggantinya dengan piyama panjang, keluar dari kamar mandi. Di kasur, Elang sudah berbaring miring memunggungi kamar mandi. Tidak ada suara dan membuat suasana kubikal hening ini kian mencekam. Dara tidak tahu Elang sudah tidur atau belum, tidak ada suara dengkuran atau pun suara pria itu bicara. Dia hanya meghela napas berat. Pernikahan ini lebih dingin dari malam terdingin yang pernah ada. Dengan perasaan berat, Dara kemudian berbaring di kasur di samping Elang. Dia miring memunggungi pria itu hingga terlelap. Sesaat kemudian Elang membalik tubuhnya. Pria itu belum tidur sejak tadi. Dia merasa tidak nyaman saja berada di kasur yang sama dengan Dara, juga menahan nafsunya. Tatapannya melembut kala menatap wanita yang sudah berubah status menjadi istrinya kini berubah posisi terlentang dalam kondisi tidur. ––– “Kamu mau ke mana?” tanya Dara keesokan paginya melihat Elang menata koper rapi di kamar. Ada dua koper yang ditata Elang dan kini berjajar rapi di sudut ruangan. “Aku mau kembali ke rumah setelah ini. Sebaiknya kamu juga bersiap ikut denganku. Aku nggak bisa tinggal di sini untuk menjalani kehidupan normalku. Ada ayah dan ibumu yang setiap saat mengawasiku. Aku nggak mungkin bisa terus bermain drama di depan mereka. Takut bila lupa, kelepasan dan ketahuan,” jelas Elang dengan nada rendah namun menghantam keras da-da Dara. Baru tinggal sehari di rumah ini sudah mengajaknya kembali ke rumah. Ini menurutnya tidak wajar sama sekali! “Bagaimana dengan ayah dan ibu? Apa mereka sudah tahu?” Keputusan ini begitu mendadak bagi Dara. Harusnya mereka diskusi terlebih dulu. Ini menyangkut hidupnya, masa depannya yang tidak bisa sembarang diputuskan. “Aku akan bilang pada mereka dan berpamitan setelah ini. Kamu sebaiknya bersiap,” ulang Elang dengan nada lebih tegas dari sebelumnya. Dia lebih nyaman tinggal di rumahnya sendiri yang sepi daripada di rumah Dara. Dara membeku. Apa Elang se-keras ini dalam mengambil suatu keputusan? Tidakkah dirinya dilibatkan serta dalam setiap pengambilan keputusan? “Kamu yakin, secepat ini kita harus pindah? Baru sehari kita menikah tidakkah sebaiknya menunggu sampai tiga atau tujuh hari baru pindah ke rumahmu?” tawar Dara. Ini terlalu cepat baginya. Dia belum siap dengan keadaan ini. Semua masih coba dia susun rapi. “Ya, semakin cepat kita pindah, semakin baik,” balas Elang dengan nada rendah namun tidak bisa dibantah seolah itu adalah titah mutlak. Dara hanya terdiam tanpa kata lalu mengikuti Elang keluar dari kamar. Di depan kamar sana ada Rasmi. Wanita itu tersenyum melihat pasangan pengantin baru yang bangun di pagi hari dengan muka berseri. Pandangannya kemudian jatuh pada koper yang ada di tangan Elang. “Elang, kamu mau kemana?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN