Eps. 6 Malam Pertama Yang Dingin

1400 Kata
Dara dan Elang saling tatap. Apa yang diminta ayahnya terlalu mendadak. Menikah dalam waktu satu minggu? Apakah bisa? Mengingat yang harus dipersiapkan banyak sekali. Meski ... mereka juga dituntut oleh warga untuk segera menikah. “A-ayah, setidaknya berikan kami waktu untuk berpikir. Kami butuh waktu untuk mempersiapkannya. Semua butuh persiapan,” jawab Dara menatap jelaga mata Elang yang semakin gelap. Entah, pria itu terlihat tenang dan minim ekspresi, meski dia dalam keadaan didesak seperti ini. “Untuk masalah itu kalian berdua tak perlu risau. Karena mendadak, tak perlu mengadakan resepsi pernikahan besar. Cukup resepsi itu dihadiri oleh keluarga dan teman terdekat saja,” usul Rasmi setelah memikirkan solusi terbaik. “Tapi, Bu--” “Dara kamu tahu seperti apa kondisi kesehatan Ibu. Jadi, kamu nggak bisa menundanya lebih lama lagi.” Selalu alasan itu yang dijadikan pedang untuk menusuk dirinya hingga dia tidak bisa menyerang balik selain menerimanya. Selalu seperti ini! Dara lemah, teramat lemah dengan ancaman itu. Lepas dari Dev, dia tidak sepenuhnya terbebas dari sebuah pernikahan. Rasmi kecewa berat dengan batalnya perjodohan Dara. Namun setelah Elang membeberkan bagaimana hubungannya dengan Dara, ini adalah kesempatan yang bagus sekali. Bila dia melewatkan ini, mungkin Dara baru akan menemukan kembali seorang pria dalam waktu yang tidak singkat. Sedangkan dia ingin segera melihat putrinya menikah. Dara meremas ujung roknya semakin kuat. Ibunya terus mendesak dengan berbagai cara. Awalnya dia takut bila Rasmi tidak akan setuju pada Elang, bagusnya wanita itu setuju. Tapi nahasnya kenapa sekarang dia harus didesak begini? Menikah dalam waktu seminggu? Ini gila sekali! Menikah dalam waktu sebulan pun banyak persiapan yang mesti dilakukan. Bagaimana dengan waktu satu minggu? Apa yang bisa dilakukannya? “Baik, minggu depan kalian berdua akan menikah,” ujar Rasmi di ujung pembicaraan, menutup apa yang sudah dia ajukan. Rasmi terlihat senang, impiannya melihat Dara menikah akhirnya terwujud. Sedangkan Dara hanya bisa menggigit bibir bawah dengan perasaan tak menentu. Dan Elang ... dia menahan gelisah hatinya. Yang dia inginkan menikah di bawah tangan tanpa ketahuan oleh siapapun, tapi sekarang mau tidak mau dia harus menikah resmi. Ini benar-benar di luar rencana dan kemauannya. ––– “Aku cuti selama satu minggu dimulai besok,” kata Dara pada rekan kerjanya berpamitan, sembari berkemas dan membereskan semua pekerjaan yang harus diselesaikan. Pekerjaannya di sini sudah selesai, tapi rasanya apa yang di rumah dan akan dimulainya besok terasa sangat berat sekali baginya. Menikah berarti dia tidak sendiri lagi. Selain belum siap, dia diharuskan hidup bersama Elang—pria yang masih misterius dan menyimpan banyak kejutan mengejutkan baginya. Dara mengambil cuti pernikahan selama seminggu. Dia ambil mepet saja dengan tanggal pernikahan. Setiap hari dia menghitung hari seperti seseorang yang akan menunggu waktu di penjara karena suatu kesalahan yang dibuat. “Ya, Dara nikmati cutimu semaksimal mungkin. Masalah pekerjaan di sini jangan kamu jadikan beban pikiran. Selamat cuti ... kami akan datang ke pernikahan ke pernikahanmu besok,” jawab beberapa teman Dara dengan senyum hangat membingkai wajah. Namun bagi Dara senyuman itu seperti senyuman selamat tinggal pada hari-hari yang tenang—hari kebebasannya yang menunjukkan bila statusnya mulai besok akan berubah dan berbeda dari mereka—para lajang sejati. Setiap langkah Dara yang membawanya ke rumah semakin terasa berat. Terlebih setelah melihat penataan dekorasi rumah untuk acara besok. Karena pesta pernikahan hanya mengundang kerabat dan saudara saja, maka acaranya diadakan di rumah. Dari teras rumah sudah dihias sedemikian rupa. Ada bunga dari kertas crepe beraneka warna dipadu bunga hidup yang ditata di atas pintu dan sisi dinding lainnya. Bagian dalam rumah juga dihias elegan dengan hiasan bunga gantung berwarna putih. Sedangkan di bagian kamar—ditata mewah. Banyak kelopak mawar bertaburan di lantai juga di atas seprai yang semakin membuat da-da Dara kian sesak. Dia pun duduk di tepi ranjang, menyentuh beberapa helai mawar merah yang bertabur di sana. “Besok aku akan tidur di sini dan menghabiskan malam bersama Elang?” gumam Dara dengan putus asa. Suaranya bergetar, serak dan tercekat. Tubuhnya berguncang hebat hanya dengan membayangkannya saja. Berat. Dia pun seketika menegakkan tubuhnya dan keluar dari kamar ini. Dia tidak bisa tidur di sana malam ini. Daripada dia terus dihantui oleh bayangan Elang, lebih baik dia pindah di kamar lain. ––– Satu hari kemudian, pernikahan itu berlangsung sederhana di rumah. Hanya pesta kecil, beberapa tamu undangan, saksi resmi, dan keluarga inti. Dara mengenakan gaun putih sederhana, sementara Elang tetap dengan setelan formal militer. Saat prosesi berlangsung, Dara tidak bisa menahan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya. Ia tahu bahwa ini hanya pernikahan kontrak seperti yang ditetapkan Elang tanpa sepengetahuan Rasmi, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Elang yang membuatnya merasa gugup. “Apakah Anda, Elang Wira Hakim, bersedia menikahi Dara Hanum Gatya?” suara petugas mencairkan keheningan. “Saya bersedia,” jawab Elang tanpa ragu. Dara menelan ludah. Ia merasa tangannya gemetar. Ketika giliran pertanyaan itu diarahkan padanya, ia hampir tidak bisa mengeluarkan suara. “Saya… saya bersedia.” Itu saja. Dalam hitungan menit, mereka resmi menjadi suami istri. Rasmi tersenyum puas melihat prosesi ijab kabul pernikahan berjalan dengan lancar. Dara kini sudah berubah status—menjadi seorang istri, bukan lagi seorang wanita lajang yang bebas seperti selama ini. Berbeda dengan Dara yang nampak tegang sejak tadi, begitu pula dengan Elang yang juga merasakan ketegangan di tengah pernikahan ini. Tamu undangan dari pihak Dara yang terasa asing baginya membuatnya merasa semakin tertekan. “Selamat atas pernikahannya, Kapten.” Beberapa teman dekat Elang datang, bersalaman. Bisa dirasakan tangan Elang terasa dingin meski wajah pria itu terlihat tenang. “Semoga pernikahan ini lancar tidak seperti sebelumnya. Jangan gugup di malam pertama dan jatuhkan istri dalam hitungan detik di ranjang. Kamu pasti bisa, karena kamu sudah berpengalaman sebelumnya,” bisiknya lirih sembari mendekatkan bibir ke telinga Elang. Malam pertama? Sekujur tubuh Elang meremang. Malam itu tidak pernah ada dalam rencananya bersama Dara. Seandainya mereka tahu bila semua ini hanyalah pernikahan paksa dan formalitas saja. Tapi ... ketika dibahas, membuat darahnya berdesir. Bayangan indah malam pertama serasa memenuhi dadanya. Elang mereguk saliva dengan berat hanya dengan membayangkannya saja. Namun, semua bayangan indah itu langsung ditepisnya. Berulang kali dia mengingatkan bila pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan— yang akan berakhir dalam beberapa bulan. “Terima kasih,” jawab Elang rendah dengan suara basnya. Dia hanya menjabat tangan temannya saja tanpa berkata lagi, menyembunyikan kegugupannya di balik ketenangan sejati. Acara pernikahan selesai. Lelah. Itu yang dirasakan setelah menyambut tamu yang tidak terlalu banyak—teman dekat dan saudara. Sekarang mereka berdua turun dari pelaminan dan bergeser ke kamar pengantin. Pintu kamar pengantin dibuka. Wangi mawar bercampur aroma minyak esensial menyapa indra. Taburan bunga mawar di kamar menambah sensasi hidup kamar pengantin yang terasa panas pada pernikahan mereka yang dingin. Elang dan Dara saling tatap dalam keheningan. Di depan yang lain mereka bisa memainkan drama manis pernikahan. Tapi ... di saat hanya ada mereka berdua di kamar, bisakah mereka melanjutkan drama itu? Tidak bisa! “Kita bisa berbagi ranjang di sini.” Suara Dara memecah keheningan. Dia tahu Elang tidak terbiasa tidur berdua seperti ini hanya dari sorot matanya—sorot mata penuh penolakan yang menolak dirinya berada dengannya di kamar ini. Hal yang sama juga dia rasakan. Bila bisa dia ingin tidur di kamar lain. Tapi apa pantas dilihat pengantin baru tidur pisah kamar? Pasti yang lain akan menangkap keanehan di antara mereka. “Ya, tapi sebelum itu aku mau ganti baju dulu,”jawab Elang datar. Tanpa menunggu jawaban dari Dara, ia pun melepas setelan militer yang masih melekat di tubuhnya—gerah dan mengganggu di depan Dara. Dia ingin meminta Dara pergi dari hadapannya. Tapi ... ini kamar wanita itu. Tidak mungkin dia mengusirnya pergi dan hanya menunggu kesadarannya saja untuk menyingkir sementara selama dia menanggalkan pakaian. Elang menanggalkan satu per satu baju yang melekat di tubuhnya menampilan otot tubuhnya yang maskulin dan da-da bidangnya yang lebar serta hangat di balik bulu tipis yang tumbuh di sana. Dara yang melihat pemandanhan indah di depannya mereguk saliva dengan berat. Semua ini tidak pernah ada dalam bayang pikiran sebelumnya. Membayangkanya saja tidak pernah. Tapi ... tubuh menawan Elang mampu membuat darahnya berdesir. Berat mengalihkan tatapan dari sana. Bagaimanapun juga ia adalah wanita dewasa normal. Netra Dara masih mengunci pandangan pada tubuh Elang. Pria itu kini membuka resleting celana. Tercetak jelas dari balik resleting sesuatu yang kokoh dan besar dibaliknya yang membuat Dara panas-dingin melihatnya. Keringat dingin menetes. “Apa kamu akan terus melihatku sampai aku melepas celana ini?” Suara Elang berat dan tajam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN