Sore ini setelah selesai dengan seluruh urusan kerjanya, tanpa ragu Alina melajukan mobilnya menuju kantor Bara. Sejak ia tahu bahwa Bara sudah pulang, ia belum bertemu pria itu sama sekali, bukan karena tak ingin, tapi Bara tidak memberinya info apapun, bahkan untuk bertemu Bara kali ini ia malah bertanya pada sekretaris Bara untuk memastikan apakah Bara sudah ke kantor dan apa sekarang masih ada disana.
Sejak kepergian Bara ke luar negeri waktu itu, komunikasi Alina dan Bara memang sedikit memburuk. Bukan berarti benar-benar hilang, hanya saja tidak sesering dan seintens sebelumnya.
Dengan langkah yakin dan berusaha tampak normal Alina kini sudah memasuki kantor Bara dan mengarah ke ruangan Bara. Sebelum itu kebetulan Alina bertemu dengan sekretaris Bara yang baru saja keluar dari ruangan Bara.
"Eh Mbak Alina sudah datang," sapa wanita itu pada Alina dengan ramah.
Alina tersenyum, "apa Mas Bara masih di dalam?"
"Katanya sih barusan mau pulang. Mungkin sekarang Pak Bara lagi beres-beres, mbak masuk aja."
Mendengar itu Alina mengangguk senang dan dengan bersemangat memasuki ruangan Bara.
Seperti kata sekretaris Bara sebelumnya, Bara tampak memang sedang merapikan barang-barangnya untuk pulang karena ini memang sudah sore bahkan beberapa karyawan tadi tampak sudah mulai meninggalkan kantor untuk pulang. Bara yang mendengar pintu terbuka langsung melihat kaget Alina yang kini berjalan ke arahnya, "Alina? Kenapa kamu tiba-tiba kesini?"
"Karena aku mau ketemu sama mas, bahkan mas nggak ngabarin kalau mas udah pulang." jawab Alina sambil melihat Bara dengan tatapan datar lalu tersenyum simpul.
"Maaf."
Jawaban pendek Bara membuat Alina mengerutkan dahinya, "mas masih marah?"
Bara hanya diam sambil melanjutkan kegiatannya tadi yang sedang merapikan beberapa kertas di atas mejanya.
Alina semakin mendekati Bara karena pria itu terus mencuekinya seolah kini ia tidak tahu kalau ada orang lain di dalam ruangannya, "Mas Bara..."
"Jika alasanmu datang kesini hanya untuk bermain-main, lebih baik kamu pergi karena mas sedang tidak ingin."
"Bermain??" bingung Alina tidak paham apa yang Bara maksud.
Bara melirik Alina sekilas dan meraih jasnya lalu bergerak hendak pergi meninggalkan ruangan namun ditahan oleh Alina yang kini menghadang dengan berdiri tepat di depan Bara, "mas kamu kenapa sih?"
"Mas yang harusnya bertanya kamu kenapa Alina!" nada bicara Bara kini tiba-tiba meninggi dengan tatapan kesal pada Alina.
"Ada apa? Aku nggak ngerti mas..."
"Apa karena Sakya sudah datang kembali?"
Tubuh Alina langsung membeku mendengar penuturan tiba-tiba Bara yang membahas tentang Sakya.
"Enak ya jadi Sakya, pergi gitu aja dan datang seenaknya mengacaukan segalanya. Sedangkan semua yang udah mas lakuin nggak ada artinya sama sekali bagi kamu karena tertutup oleh kegilaan kamu pada Sakya."
"Mas jangan bicara seperti itu, lagipula tahu dari mana mas tentang Sakya?"
Tanpa membuka mulut Bara mampu memberikan jawaban yang membuat Alina membelalakkan mata tak percaya. Bara menunjukkan sebuah foto dari ponselnya berupa gambar Alina dan Sakya beberapa waktu lalu.
"Wanita itu..." Alina bergumam sendiri menyadari itu adalah foto yang persis sama dengan foto yang diambil seorang perempuan yang mengancamnya di kafe beberapa waktu lalu. Ia jamin kalau wanita itu sendiri yang mengirimkan foto tersebut pada Bara.
"Sampai kapan Alina? Apa yang akan kamu lakukan? Bahkan kamu hanya diam dan tak ingin bicara apapun pada mas saat Sakya kembali datang. Kenapa?"
"Aku sedang mencari waktu yang tepat untuk membicarakannya dengan mas..."
Bara tersenyum miring, "benarkah? Bukankah kamu hanya ingin sedang mencari cara untuk menjauhi mas demi kembali bersama Sakya?"
"Mas Bara jangan bicara seperti itu. Aku benar-benar sedang mencari cara untuk memberi tahu hal ini sama mas, tapi aku ga nyangka mas malah..." Alina tak bisa melanjutkan kalimatnya karena sudah terlanjur mendapatkan tatapan mengerikan dari Bara.
"Setiap orang punya batas kesabaran dan bisa lelah." Bara menatap Alina yang membuat gadis itu merasa takut sekaligus bersalah.
"Tapi aku ga mau kita berakhir dengan buruk. Kita sudah kenal lama, mas adalah orang yang begitu berharga untukku."
"Apa seperti ini caramu memperlakukan seseorang yang kamu anggap berharga?"
Alina sudah tidak punya jawaban apapun lagi atas ucapan Bara. Ia hanya bisa terdiam menatap kakinya dan kaki Bara yang masih saling berhadapan dengan pandangan yang kabur. Ia tak bisa menahan air mata yang tiba-tiba saja ingin mengalir.
Bara menghela napas panjang sambil kini berjalan meninggalkan Alina sendirian, namun langkahnya terhenti saat ia sudah membuka pintu ruangannya, ia kembali menoleh ke belakang dan mendapati Alina masih menunduk tidak bergerak sama sekali. Bara bisa jamin kalau kini Alina pasti sedang menangis. Ia sudah kenal Alina sejak lama dan juga sangat dekat, sehingga dugaannya sudah pasti benar.
Dengan langkah besar dan cepat Bara kembali berbalik mendekati Alina lagi dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya yang berhasil membuat tangis Alina yang tertahan menjadi pecah. Alina memeluk Bara kuat sambil menangis tersedu-sedu.
"Aku tahu memang aku yang salah, tapi bukankah sebelumnya aku sudah coba minta mas pergi?" Alina mencoba bicara walau belum bisa menghentikan air matanya.
"Dan saat sekarang kamu masih ingin mencari kesalahan mas?"
"Nggak gitu.., aku hanya..."
"Kenapa kamu nggak bisa lupain Sakya dan terus ingin bersamanya walau ada mas yang selalu ada dan mau lakukan apapun untukmu?"
Alina menggeleng, "aku nggak tahu. Aku nggak tahu kenapa.., padahal aku tahu kalau nggak ada apapun yang kurang dari Mas Bara."
"Sekarang Sakya sudah kembali, artinya mas nggak ada kesempatan lagi kan?"
"Mas Bara..."
Bara kini memegang kedua pundak Alina dan menatap gadis itu dengan tatapan yang dalam, "mulai dari sekarang belajarlah untuk fokus pada pilihanmu dan bisa terima konsekuensinya."
Alina mulai menenangkan diri sambil terus diam menyimak apapun yang akan Bara katakan padanya.
"Mas juga akan belajar menerima kenyataan kalau bagaimanapun berusaha, hati kamu nggak akan pernah berubah. Jika kamu memilih Sakya maka kamu harus relakan untuk menjaga jarak antara kita."
"Tapi hubungan kita akan tetap seperti di awal kan?"
"Seperti di awal?" Bara angkat bahu dengan wajah enggan, "dari awal kamu dan mas tidak punya konsep yang sama melihat hubungan antara kita. Jujur ini akan sangat sulit untuk mas, mas harap kamu paham dengan jarak yang mas maksud."
Alina menatap Bara dengan sedih, terlebih saat tangan Bara mulai menjauh darinya. Menjaga jarak dengan Bara? Tentu ini juga sulit bagi Alina yang selama ini menganggap Bara adalah kakak lelaki yang bisa diandalkan dan tempat mengadu masalah apapun yang siap untuk membantu dengan segala kehebatannya. Itulah kenapa Alina menyebut Bara sebagai seseorang yang begitu berharga.
"Kamu sudah dewasa dan tentu bisa lakukan apapun tanpa bantuan orang lain. Kamu adalah Alina." Bara kini coba memberi semangat sambil tersenyum pada Alina yang menunjukkan wajah seolah tak bisa terima dengan kesepakatan ini.
"Kenapa harus seperti ini?"
"Sakya akan menjagamu dengan baik. Jika kamu memang mencintainya maka kamu harus yakin padanya."
Alina menatap Bara dengan tatapan tak percaya bagaimana bisa Bara masih bisa bicara seperti ini, padahal kini hatinya pasti juga masih dalam keadaan tak baik, "apa mas baik-baik saja?"
Bara tertawa pelan, "bagaimana mungkin mas akan baik-baik saja? Saat ini mas sedang patah hati, sudah berjuang bertahun-tahun dengan sabar tapi tak ada balasan apapun. Beberapa hari ini mungkin mas hanya akan meratapi nasib yang menyedihkan ini."
"Aku minta maaf."
Bara menghela napas sambil membuang pandangannya ke arah lain, "ini akan sangat sulit Alina. Jadi mas minta tolong agar kamu membantu mas untuk tidak menghubungi mas untuk beberapa waktu ke depan. Apa kamu mau membantu?"
Untuk sekarang Alina juga merasa sedih dan sulit untuk berpisah dengan Bara, tapi apa boleh buat, ia tak boleh terus egois dan mempersulit segalanya. Ia harus berjalan di jalan yang ia pilih dengan benar, "terima kasih atas segalanya."
Bara tersenyum mengangguk, "kamu bisa pulang sendiri kan?"
"Tentu..."
"Hati-hati." Bara mengangguk dan akhirnya benar-benar memutuskan meninggalkan Alina sendiri. Mungkin ini akan menjadi kali terakhir bagi Alina mendapatkan perhatian dari Bara.
"Seseorang yang nanti benar-benar akan bersama Mas Bara pastilah orang yang sangat spesial dan paling beruntung di dunia ini."
*
Melihat Alina yang sudah keluar dari ruangannya membuat kaki Bara terasa sangat lemah. Akhirnya ia dan Alina memutuskan untuk benar-benar berakhir, mau tak mau ia harus merelakan Alina bahagia dengan pria yang ia cintai walau harus mengorbankan perasaannya.
Pria itu kini bersandar di tepi meja sambil menghela napas lelah, ia tidak bisa bohong kalau kini ia merasa sangat sedih.
"Aku harus pulang sekarang," Bara memutuskan untuk menyudahi lamunan menyedihkannya. Ia kini bergerak mengumpulkan barang-barangnya, namun saat mengambil ponselnya ia langsung teringat dengan Syena.
Walau awalnya ragu, kini Bara menulis pesan untuk di kirim pada wanita itu.
.
.
Bara
Apa kita jadi bertemu malam ini?
.
Syena
Hah?
Bukankah tadi kamu bilang tidak bisa?
.
Bara
Kan itu tadi
.
Syena
Astaga Baraaaaaaaaa
Plin plan banget!
Kamu lagi mainin aku hah!?
.
Bara
Jadi kamu tidak mau?
Yasudah
.
Syena
Eitssss!! Jangan gitu doong
Ayo ketemu malam iniiiiii
Tapi aku belum siapin apapun
Tadinya udah mau nyiapin tapi kamu bilang tadi ga mau
Kita ketemu diluar aja
.
Bara
Dimana?
.
Syena
Eum..., ga tahu sih
Kita lihat nanti aja?
.
Bara
Nanti aku jemput saja kalau begitu
.
Syena
Hah!?? Serius!?
Kamu lagi kesambet ya??
.
Bara
Mau atau tidak?
.
Syena
Mau dooong!
Tapi emang kamu tahu dimana apartemenku?
.
Bara
Bagi alamatnya
.
Syena
Hokkkkeeeeyyyyyu!!!