Bab 10

1261 Kata
Lima hari mengajar, Yasmin mulai hafal dengan satu per satu nama muridnya. Salah satunya Syila—gadis kecil yang ceria dan paling dekat dengan Yasmin. Walau banyak bicara, tingkah lucunya sering kali membuat Yasmin gemas. Ting-ting-ting! Bel pulang sekolah berbunyi. Para murid berbaris dan keluar bergantian sambil menyalami tangan Yasmin dengan sopan. Sekarang giliran Syila yang berbaris paling akhir. Ia menggendong tas ungunya dan memeluk pinggang Yasmin. “Bunda Yasmin, Syila pulang dulu, ya!” Lembut, tangan kiri Yasmin menyentuh kepala Syila dan mengusapnya beberapa kali. “Iya, hati-hati di jalan, ya, Sayang. Syila dijemput sama siapa?” “Papa yang jemput, Bunda. Itu mobilnya!” Jari telunjuk kecil Syila menunjuk ke arah depan pintu gerbang sekolah. “Ya, sudah, jalan yang pelan, ya, Sayang. Jangan lari-lari!” Syila pun keluar kelas dan berlari kecil menghampiri papanya yang sudah berdiri di samping mobil. “Pa! Papa!” Lutut Bram langsung menekuk saat Syila semakin dekat ke arahnya. Ia memeluk putrinya. Ya, nama ayah salah satu murid Yasmin itu bernama Bram. “Ya, Sayang?” “Papa tahu nggak? Bunda Yasmin itu cantiiiik banget! Syila pengen punya Mama kayak Bunda Yasmin!” Dengan gaya polosnya, Syila bercerita antusias. Bram tersenyum samar. “Memangnya Syila tahu wajah Bunda Yasmin?” “Tahu dong, Pa! Kan, Bunda suka lepas cadar waktu salat sama kita-kita. Papa lihat deh, dari matanya aja udah cantik banget!” Dahi Bram mengernyit ringan. “Memangnya Bunda Yasmin mau sama Papa?” “Pasti mau-lah, Pa! Papa, kan, ganteng banget! Bunda Yasmin juga cantik. Cocok! Bunda Yasmin juga sayang banget sama kami.” Bram hanya tertawa kecil sambil mendengar celotehan putrinya. Ia mencubit pelan pipi gadis kecil itu. “Oke, nanti Papa pikirkan. Kalau memang ada jalannya, pasti bisa.” Tidak lama setelahnya, Yasmin keluar dari ruang kelas sambil membawa map dan menenteng tas kecilnya. Ia terkejut melihat Syila yang ternyata belum pulang. “Eh, Syila belum pulang?” Syila menunjuk papanya. “Belum, Bunda. Kenalin, Bunda, ini Papa Syila.” Di balik cadar itu, bibir Yasmin tersenyum singkat lalu menundukkan pandangan saat berhadapan dengan Bram. “Pak.” Yasmin menyapa sambil mengangguk sopan. Nadanya terdengar begitu ramah. “Bu Yasmin.” Bram membalas singkat sapaan dari guru putrinya. Sejenak, ia memperhatikan wajah Yasmin dan menangkap kebenaran dari ucapan anaknya. Dari sepasang mata yang indah teduh dan lembut itu saja, ia bisa merasakan Yasmin memang punya pesona yang berbeda dari wanita lain. “Kalau begitu, Bunda izin pulang duluan, ya, Syila,” kata Yasmin, lalu menoleh ke arah Bram. “Mari, Pak, saya duluan.” “Iya, Bu. Silakan.” Usai mendapat jawaban Bram, Yasmin melangkah pergi, meninggalkan gerbang sekolah. Belum sampai di pertigaan jalan, suara klakson nyaring membuat langkah Yasmin terhenti. Sebuah mobil mewah yang tidak lagi asing bagi Yasmin berhenti di depannya. Jendela terbuka, memperlihatkan wajah dingin Hans di balik kemudi. “Masuk!” Perintah otoriter itu membuat Yasmin memilih untuk menurut. Walau memang kedatangan sang suami yang tiba-tiba membuat wanita itu bertanya-tanya. Yasmin menghela napas lalu memasang seat belt-nya. Tidak ada sedikit pun percakapan selama mobil itu maju perlahan. “Julukan p e n g g o d a memang tepat buat kamu, Yasmin. Kamu memang p e n g g o d a. Bahkan saat muka kamu sudah hancur, tetap saja kamu mencari mangsa.” Deg! Tiap kali Hans berbicara, selalu saja membuat perasaan Yasmin luka. Ia menatap ke luar jendela dan memilih mengabaikan ucapan sang suami. “Jangan terlalu senang! Saya jemput kamu atas permintaan Davina, bukan murni keinginan saya.” Lalu, apa peduli Yasmin? Lama-lama ia terbiasa dengan sikap Hans yang terlampau dingin dan ketus. Wanita itu tetap diam. Matanya menatap kosong ke jalanan. Hans meremas setirnya kuat. Ia meradang ketika mengingat betul bagaimana interaksi Yasmin tadi dengan pria asing itu. “Kamu pikir saya tidak dengar? Anak kecil itu terang-terangan bilang ke papanya kalau dia mau kamu jadi ibunya. Berarti kamu berhasil, ya? Bahkan, anak-anak saja bisa kamu sihir.” Apa pria itu cemburu? Ah, mustahil. Hans bahkan mengaku hanya mencintai Davina. Lantas, apa arti sikapnya sekarang? Yasmin mulai menaruh atensinya pada pria yang fokus dengan setirnya. “Terserah kamu mau bilang apa, Mas.” “Jangan munafik, Yasmin! Kamu senang, kan, kalau dibilang cantik?” ucap Hans, mengejek. “Anak itu mungkin nggak benar-benar lihat muka kamu yang hancur kena siraman air keras. Anak polos itu tidak tahu sajam kamu adalah wanita p e n g g o d a. Dan julukan itu sudah mendarah daging untuk kamu!” Yasmin menunduk. Ia menggigit bibir bawahnya. Diam adalah satu-satunya bentuk wanita itu mengalah dan menghindari konflik besar. “Pantas Davina memaksaku datang ke sekolah jemput kamu. See? Baru lima hari mengajar, kamu sudah buat rencana baru. Drama apa lagi yang mau kamu mainkan untuk merebut suami orang, huh? Kamu mau cari mangsan dengan m e n g g o d a papa dari anak muridmu itu, kan?” Yasmin tetap membisu sampai akhirnya mobil berhenti di depan rumah. Ia melepas sabuk pengaman dan kakinya melangkah menuruni mobil. “Terima kasih jemputannya, Mas. Lain kali tidak perlu melakukan ini kalau enggak ikhlas.” Hans melengos. Ia segera putar arah untuk kembali ke kantor. Namun, belum sempat mobil itu berjalan, ponselnya berdering. Senyum merekah seketika terbit saat melihat nama Davina tertera di layar. Wanita itu melakukan panggilan video. [“Assalamualaikum, Mas. Gimana? Yasmin sudah kamu jemput?”] Pria itu menampakkan wajah malas ketika ditanya perihal Yasmin. [“Walaikumsalam. Hm, sudah.”] [“Mana buktinya?”] Hans lantas mengarahkan kamera ponselnya pada bagian depan rumah. Yasmin masih di sana untuk membuka pintu. [“Nice, terima kasih banyak, Mas. Aku lanjut meeting lagi, ya. Kamu jangan terlalu banyak lembur, ya, Sayang. Assalamualaikum.”] [“Hm, walaikumsalam.”] Begitu panggilan berakhir, Hans langsung melanjutkan perjalanan ke kantor. * Di kantor Hans .... Pria itu duduk sambil memaku tatapannya pada layar laptop yang menyala. Meski begitu, fokusnya terganggu oleh gemeletuk emosinya sendiri. [“Bunda Yasmin cantik banget... Syila pengen punya Mama kayak Bunda Yasmin. Dia juga baiiik banget, Pa.”] Kepalanya benar-benar berisik. Kalimat itu berputar berulang kali layaknya kaset rusak. Tok-tok-tok! “Masuk!” Hans langsung mengubah posisinya menjadi duduk lebih tegap saat orang suruhannya masuk ke ruangan. “Bagaimana informasi yang saya minta? Sudah kamu dapat?” “Sudah, Pak. Berdasarkan informasi yang beredar, Bu Yasmin memang dulu gadis yang cantik, Tuan. Tapi—“ “Tapi, apa?” Hans terkesan buru-buru meminta penjelasan. “Bu Yasmin punya masalah dengan beberapa wanita yang merupakan tetangganya. Mereka marah karena Bu Yasmin dianggap m e n g g o d a suami para tetangganya. Sampai salah satu di antara mereka ada yang tidak terima. Dan Bu Yasmin disiram air keras sampai wajahnya cacat. Sejak saat itu, Bu Yasmin selalu pakai cadar.” Hans menyunggingkan senyum setelah mendengar penuturan panjang lebar dari Arman—orang suruhannya. “Terima kasih informasinya. Kamu boleh pergi sekarang.” Arman mengangguk lalu pamit undur diri dari sana. Sementara Hans termenung, memikirkan pernyataan buruk yang baru saja didengar. “Ternyata punya bakat p e n g g o d a dari dulu.” Pria itu lantas tertawa singkat. “Lucu sekali. Bahkan anak kecil pun bisa tertipu oleh pesona palsu kamu.” Wajah Hans mengendur, senyum setan itu mulai luntur ketika perasaannya mulai berkecamuk. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, ada rasa tidak nyaman saat melihat Yasmin berinteraksi dengan pria lain. Sebuah perasaan yang tidak bisa ia definisikan. Benci ... atau justru cemburu yang tanpa sadar benih cintanya telah tumbuh? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN