“Nilai C lagi?!” Suara Hans menggema dari ruang tengah, keras dan tajam melesak ke telinga Kania. Di tangan kanannya tergenggam lembar hasil ujian Kania yang sudah diremas. “Kamu itu sekolah buat apa, hah?! Tiap bulan bayar les mahal, tapi hasilnya begini terus!” Kania berdiri di depan papanya. Kepala menunduk, jari-jari tangannya saling menggenggam erat. Ia tidak pernah menyangka sore ini akan berakhir tidak tenang. Nilai C di kertas itu seperti surat vonis. Kania tidak tahu, bagaimana caranya harus menjelaskan alasan sebenarnya nilai itu didapat. Namun, ia menarik napasnya dalam lalu mulai membuka suara di tengah rasa gugupnya. “Maaf, Pa ... tapi nilai itu—“ “Alasan! Selalu ada alasan!” potong Hans cepat. “Kamu pikir di dunia ini orang bisa sukses cuma karena minta maaf?” Yasmin

