Tuduhan yang dilayangkan Hans ternyata tidak berhenti. Sampai di rumah pun, Kania langsung diminta menghadap ke pria tersebut. Langkah gadis itu berat saat menuju ke ruang kerja papanya. Ia mengetuk pelan tiga kali, memberi jeda di setiap ketukan. Wajahnya menunduk. Begitu mendapat sahutan dari dalam, tangan gemetar Kania menyentuh gagang pintu itu pelan. Ia mendorongnya hati-hati hingga pintu itu terbuka lebar. Kakinya melangkah ragu. Ia menutup pintu tersebut hati-hati, seperti menjaga dari suara yang bisa saja timbul tanpa sengaja. Ini kali keduanya ia masuk ke ruang yang didominasi warna hitam, setelah sepuluh tahun silam dan berakhir diamuk papanya karena memainkan laptop kerja sampai ketumpahan air minum. “Papa.” Bibir itu bergetar saat memanggil pria yang duduk di kursi pu

