Ceklek! Suara pintu berderit lembut saat dibuka. Putri sulung Yasmin berdiri di ambang, wajahnya menekuk—antara canggung dan gelisah. “Sayang? Sejak kapan kamu di situ?” Nada Yasmin terdengar hati-hati. Ia berusaha tetap berpikir positif, menjaga raut wajahnya agar tidak menampakkan kegugupan sedikit pun. Namun, sorot matanya sempat melirik ke arah Hans, yang berdiri beberapa langkah di belakang dengan postur tenang namun penuh wibawa dingin. Pria itu bersedekap d.a.da, tubuhnya tegak lurus seperti menahan emosi. Tatapannya tajam—tidak pernah benar-benar bersahabat ketika tertuju pada sosok gadis SMA tersebut. “Baru saja, Bia,” jawab Kania pelan, suaranya bergetar halus di ujung. Kania menjawab takut. Ia langsung menunduk ketika tidak sengaja melihat raut tidak senang dari sang papa.

