Kening Kania berkerut heran. Sosok dalam foto polaroid itu tampak begitu familier. Pria berbaju polo di bawah cahaya lampu kekuningan itu terlihat samar, seperti kenangan yang nyaris terlupakan. Wajahnya sedikit mengabur, mungkin karena lembar foto yang telah lama disimpan dan sering tersentuh waktu. Namun, ada sesuatu pada garis senyum dan sorot matanya yang terasa akrab—terlalu akrab untuk diabaikan. “Mirip Papa,” gumam Kania lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri. Kepala gadis itu sedikit miring, matanya menyipit menelusuri setiap detail foto itu. “Tapi, masa iya Miss Erika punya foto Papa waktu muda? Emangnya mereka saling kenal?” Nada suaranya pelan, tapi sarat kebingungan. Ada getar kecil di ujung kalimatnya, seperti seseorang yang takut menemukan sesuatu yang tak ing

